Ini cuma dua tiga SMS yang saya kutip dari curhat Deni kepada saya. Akibat menerima aksi teror tanpa kekerasan ini, Deni semakin hari semakin merasa hidupnya terpuruk. Hingga suatu waktu karena sudah tidak mampu menahannya sendirian curhat pada istrinya. Dan mereka berdua hanya bisa meratapi nasibnya. Pas kedua putra mereka berkunjung bersama mantu dan cucu-cucu Deni dan mereka ikut merasakan sakitnya kedua orang tuanya diperlakukan demikian.
Satu SMS ,terbukti sudah melukai Deni, istrinya, kedua putra mereka dan cucu-cucu mereka. Tapi apa yang dapat mereka lakukan? Melaporkan hal ini kepada suami si wanita yang adalah ponakan Deni? Mereka tidak tega, karena bisa bisa menyebabkan ponakannya berantem dengan istrinya karena telah memperlakukan mereka seperti itu.
Mau pindah? Pindah kemana? Kedua putra Deni hanya bekerja sebagai karyawan kecil dengan gaji 3 juta sebulan dan punya anak dan istri.
Memberi Saran kepada Deni
Dengan suara yang terbata-bata, Deni minta saran pada saya tapi jujur,  saya yang kata orang sudah banyak makan asam garam bahkan minum cuka dalam mengarungi kehidupan ini sungguh tidak dapat memberikan saran yang tepat kepada Deni. Saya hanya menyarankan dari pada harus makan hati terus bisa muntah darah, Sebaiknya  pindah ke  kamar kontrakan lain, biar kecil tapi tidak di teror terus tapi Deni semakn menangis karena tidak punya uang untuk pindah.
Kalau cuma bantu sesaat ya tentu bisa saja, tapi saya tidak mungkin mampu menanggung beban hidup orang lain. Sungguh tepat kalimat ini  my destiny is in my hand and your destiny is in your hands. Setulus apapun hati untuk menolong, mustahil kita dapat memikul beban hidup orang lain siapapun adanya.
Renungan Diri
Kejadian ini, sesungguhnya sama sekali tidak ada hubungan dengan saya secara pribadi. Deni hanya salah satu teman saya dan tidak ada hubungan kekeluargaan, tapi tiga bulan sudah berlalu, disaat saya duduk, pikiran saya langsung menerawang pada curhatan Deni.
Kami dapat merasakan perih dan pedih, terlukanya hati. Karena sudah pernah mengalaminya berkali-kali, ketika hidup kami terpuruk. Dimana waktu itu untuk bertamu saja hanya diterima dipintu pagar. Dan selama tujuh tahun lamanya kami tidak pernah mendapatkan undangan dari siapapun, termasuk dari kerabat kami.
Kisah hidup orang lain bisa kita tanggapi  dengan "bukan urusan saya", tapi tidak ada salahnya dijadikan renungan diri agar jangan sampai diri kita atau anak-anak kita terjebak arus hidup dan tanpa sadar melakukan teror kepada orang lain, baik yang menumpang dirumah kita maupun mungkin pernah kita bantu keluarganya.
Hukum Karma