Pengalaman yang dialami di masa kecil, akan terekam secara hampir sempurna dalam memory seorang anak. Bahkan akan mampu mengingat dan membayangkan hingga hal hal mendetail. Pengalaman yang direkam ini, akan disimpan di dalam data basenya dan kelak ketika sudah dewasa, akan mendominasi prilakunya.
Bila semasa kecil, seorang anak hidup dalam keluarga yang tanpa kasih sayang dan menjalani hari hari, dengan ketiadaan kasih sayang, maka kelak ketika dewasa, secara tanpa sadar akan mengekspresikan kepahitan hidup yang pernah dialami semasa kecilnya.
Anak ini, akan menjadi sosok yang gampang tersinggung dan sangat cepat menghukum orang lain, yang dianggapnya tidak sejalan dengan pemikiran atau keyakinannya. Sosok seperti ini,seakan sudah menutup pintu maafnya bagi siapapun yang menurutnya bersalah kepadanya. Rata-rata, tipe orang pemarah, pendendam dan gampang sekali membenci orang lain, adalah orang yang semasa kanak kanaknya dulu, hampir tidak pernah merasakan kasih sayang dalam keluarganya.
Maksud Orang Tua Menghukum Anak Untuk Berikan Efek Jera
Maksud orang tua, menghukum anak dengan keras, secara fisik, untuk memberikan efek jera, agar tidak lagi mengulangi kenakalannya. "Tetapi disinilah letak kekeliruan dari cara mendidik anak. Akibat didera secara phisik,anak mungkin saat itu tidak berani melawan,namun dalam hatinya sudah memendam rasa sakit hati. Karena merasa diperlakukan secara kejam.
Amarah dan rasa dendam ini, semakin lama semakin membara, seiring semakin seringnya ia di pukul dan didera orang tuanya. Tapi di dalam hatinya sudah tertanam niat untuk membalas rasa sakit hatinya, kepada siapa saja.
Rindu Anjingnya, Bukan Orang Tuanya
Ada mahasiswa yang pernah menumpang tinggal dirumah putri kami di Wollongong, Katakanlah namanya Rafki. Biasanya pada sekitar 5 bulan pertama berada jauh dari kampung halaman, jauh dari orang tua akan menghadirkan :"home sick" atau rindu rumah. Tapi ketika ditanyakan pada Rafki, katanya,sama sekali tidak rindu orang tuanya,melainkan rindu pada anjingnya, karena sejak kecil kalau ia dihukum orang tuanya dan dikurung dalam rumah, hanya anjingnya satu satunya yang menghibur dirinya. Perasaan ini terbawa dan terpatri hingga ia dewasa. Dalam hatinya adalah kerinduan terhadap anjing sahabatnya,
Kita mungkin menghakimi Rafki, sebagai anak durhaka, tapi bila mendengarkan kisahnya,bagaimana ia diperlakukan secara kejam sewaktu kecil, karena mencuri sepotong kue, maka kita tidak akan tega memvonisnya sebagai anak durhaka.
Di Wollongong, selama tinggal dirumah puteri kami, Rafki sama sekali tidak pernah tampak dikunjungi teman kuliahnya. Katanya :"saya lebih suka bersahabat dengan seekor anjing. Karena anjing tidak pernah menggigit orang yang menyayanginya. Tapi manusia bisa saja melakukannya"
Disiplin Bukan Berarti Menghajar
Menegakkan disiplin dengan tegas di dalam rumah tangga, tentu saja sangat perlu. Agar  disiplin yang sudah ditetapkan ditaati oleh setiap anggota keluarga. Akan tetapi cara menerapkan disiplin, tentu tidak dalam arti menghajar habis-habisan, bilamana salah satu anggota keluarga melanggar aturan yang sudah ditetapkan.
Karena bila hal ini dilakukan, akan berdampak buruk, bukan hanya bagi diri pribadi anak, tapi juga akan menyebabkan ia akan membalas perlakuan kasar dan menyakitkan pada orang lain, yang belum tentu bersalah. Tipe orang seperti ini,tidak mampu memaafkan orang lain.
Ayahnya Meninggal Anaknya Lega
Saya pernah melayat sahabat yang meninggal, sewaktu kami masih di Jakarta. Kalau lazimnya kita akan menjumpai wajah-wajah yang sedih dan sendu,karena orang yang dicintainya sudah pergi selama lamanya. Namun kaget menengok anak sahabat kami, yang sudah dewasa bukannya sedih tapi sibuk bercanda dengan para kerabat ayahnya yang datang melayat.
Hingga ada kerabatnya yang menegornya: "Anda koq tampai ceria, padahal yang meninggal ini kan ayah kandungmu?"
Tapi si anak yang sudah dewasa, hanya ketawa sambil berucap:"Kalau sudah tiba waktunya, siapapun akan meninggal" Semua mata menengok kearahnya, namun yang ditengok tampak cuek dan acuh tak acuh.
Bayangkan, kalau terhadap ayah kandungnya sendiri ia tega berlaku demikian, apalagi terhadap orang lain yang tidak ada hubungan darah dengan dirinya.
Semoga kisah kisah kecil ini, setidaknya menjadi masukan berharga bagi para orang tua. Jangan hanya berpikir dari satu sisi saja, yakni menegakkan disiplin, tapi jangan lupa, jiwa anak anak adalah ibarat kertas bersih. Bila kita tidak bertindak dengan bijak, maka sebagai orang tua yang seharusnya mengayomi dan mendidik anak anak, justru telah menodai hatinya, sehingga membentuk kepribadian yang labil dan tak berbelas kasih. Bila hal ini terjadi kelak, maka itu adalah hasil karya kita sebagai orang tua.
Hidup dalam Kasih Sayang
Kendati pernah hidup terpuruk selama tujuh tahun dan jatuh bangun dalam berusaha,serta selalu mendisplin putra putri kami, tapi karena semuanya kami lakukan dengan penuh kasih sayang dan tak sekali jua menyakiti mereka, maka buahnya kami nikmati di hari tua.
Kami bersyukur tak habis habisnya, putra putri kami teramat mencintai kami berdua. Tak sekali juga kami menadahkan tangan untuk meminta apapun, namun anak anak kami dengan penuh kasih sayang melimpahkan kami dengan segala macam cara
Saya tuliskan hal ini, bukan untuk  pencitraan atau membangun image, melainkan semata mata, memberikans sebuah masukan, bahwa mendidik anak dengan disiplin bukan berarti menghapuskan kasih sayang kita sebagai orang tua.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H