Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Miskin Juga Berhak untuk Rayakan Natal

15 Desember 2016   19:25 Diperbarui: 17 Desember 2016   03:06 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memotret Cara Warga Australia Rayakan Natal

Walaupun Hari Raya Natal masih 10 hari lagi, akan tetapi suasana Natal sudah dapat dirasakan sejak minggu lalu. Sebagian dari rumah warga sudah dihiasi dengan lampu-lampu aneka ragam warna. Belum tentu mereka beragama Kristen atau Katholik, tapi mereka merasa nyaman untuk ikut memeriahkan suasana Natal.

Gebyar diskon besar besaran  sudah di tayangkan di berbagai siaran telivisi serta memenuhi media cetak dan brosur yang dibagikan kerumah penduduk.

Bahkan di Crown Burswood, sejak bulan lalu sudah tampak bangunan menjulang tinggi yang dilengkapi buaian dengan ketinggian sekitar 25 meter. Mungkin merupakan salah satu acara yang paling mendebarkan bagi anak anak dan orang dewasa. Karena ayunannya diputar semakin lama semakin kencang. Jeritan histeris terdengar bukan hanya dari anak anak, tapi juga dari orang dewasa.

Sebelum mesin dinyalakan, persiapan dan keamanan setiap penumpang,diperiksa dengan sangat teliti oleh dua orang petugas. Karena tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun karena akan berakibat fatal. Bayangkan pada ketinggian 25 meter diayun dengan kecepatan tinggi. Bila salah satu kelengkapan secara ceroboh dipasang, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Karena itu butuh waktu sekitar 10 menit, check and recheck dari sudut safety-nya, baru ada isyarat mesin dinyalakan. Perlahan lahan ayunan naik makin lama makin tinggi dan  berputar semakin kencang,

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Merayakan Natal Bersama Keluarga

Hal yang menarik bukan hanya ayunan yang tingginya 25 meteran, tapi rata rata yang datang adalah satu keluarga besar. Tampak dari Opa dan Oma serta anak-anak bersama kedua orang tua mereka. Karena anak anak atau remaja yang tidak disertai orang tua mereka tidak diizinkan naik ke ayunan, walaupun sanggup membayar.

Bahkan khusus bagi yang makan malam bersama keluarga, akan diberikan hadiah satu botol Wine. Falsafah hidup "Family is the First" tampaknya tetap up-to-date untuk diterapkan sepanjang masa.

Selama lebih dari sepuluh tahun bergaul dan tinggal dalam keluarga Australia, acara pokok Natal adalah bersama keluarga. Bilamana acara bersama keluarga sudah selesai, maka anak anak baru diizinkan untuk merayakan Natal bersama teman teman mereka. Saya belum pernah menengok, suami dan istri serta anak anak merayakan Natal secara terpisah karena masing-masing ada acara tersendiri. Walaupun sudah menikah, namun khusus dalam acara Natal, maka  perayaan Natal keluarga selalu menjadi prioritas utama.

Bagi mereka "family is the first" tetap menjadi prioritas utama. Karena itu bilamana kita mengundang teman teman untuk makan bersama di salah satu restoran atau dirumah bersama kita, bila bertepatan dengan acara dalam keluarga mereka, maka pasti mereka akan mengatakan:"sorry."

Namun tentu saya tidak tahu sifat semua orang Australia, hanya berdasarkan pengamatan dari teman-teman yang cukup dekat bergaul dengan kami maupun dengan keluarga putra dan putri kami.

Crown Burswood sudah mempersiapkan sarana menarik jelang Natal, salah satunya adalah ayunan setingg 25 meter yang berputar semakin lama semakin kencang (Dokumentasi Pribadi)
Crown Burswood sudah mempersiapkan sarana menarik jelang Natal, salah satunya adalah ayunan setingg 25 meter yang berputar semakin lama semakin kencang (Dokumentasi Pribadi)
Hanya Sekedar Sebuah Masukan Saja

Ulasan singkat ini tentu bukan bermaksud mengatakan bahwa  orang Indonesia tidak mementingkan keluarga. Hanya saja, biasanya kalau anak sudah berkeluarga, maka mereka merayakan Natal diantara teman-teman mereka. Bahkan tidak sedikit mud- mudi di Indonesia sama sekali tidak pernah merayakan Natal bersama keluarga karena mereka sibuk dengan acara masing-masing, Maka orang tua dan Opa Oma harus cukup puas merayakan Natal di Gereja.

Bus antar jemput yang disediakan pemerintah. Bayar 5 dolar dan dapat makan sepuasnya (Dokumentasi pribadi)
Bus antar jemput yang disediakan pemerintah. Bayar 5 dolar dan dapat makan sepuasnya (Dokumentasi pribadi)
Kotak Sumbangan di Gereja, Diedarkan 2 Kali Dalam Masa Natal

Selama masa Advent atau masa Penantian, kotak sumbangan diedarkan dua kali selama Misa. Pertama untuk yang menyumbangkan dalam bentuk tunai yang terdiri dari lembaran 5-10 dolar dan uang koin.

Sedangkan kloter kedua khusus mengumpulkan sumbangan dalam amplop Natal yang jumlahnya lebih besar, bahkan banyak yang dalam bentuk cek. Sumbangan ini dihitung oleh beberapa orang umat yang di tunju . Jadi, Pastor sama sekali tidak ikut dalam urusan uang. Seluruh hasil sumbangan diumumkan dan ditempelkan secara tertulis di kertas Misa.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Orang Miskin Juga Berhak Rayakan Natal'

Di samping kado Natal yang di sumbangkan warga untuk orang orang yang dianggap pantas untuk menerimanya, juga dibagikan uang dalam bentuk tunai. "Orang miskin juga berhak untuk merayakan Natal bersama keluarga mereka. Dan kewajiban kita yang hidupnya sudah berkecukupan untuk mengulurkan tangan untuk membantu agar saudara saudara kita yang berkekurangan dapat juga merayakan Natal bersama keluarga mereka" Kata Pastor dalam kotbah Natalnya.

Selanjutnya, dalam menutup kotbahnya, Pastor mengingatkan bahwa mengucapkan "Merry Christmas". Memang bagus, tapi memberi bantuan dalam bentuk nyata, sehingga saudara-saudara kita dapat ikut merayakan Natal bersama keluarga mereka adalah yang terbaik, karena yang paling membahagiakan dalam merayakan Natal adalah ketika kita mampu menghadirkan kegembiraan Natal dalam keluarga kita, tapi juga menghadirkan kegembiraan dalam hidup orang orang miskin.

Bila memang keuangan mengijinkan untuk merayakan Natal di restoran mewah atau belanja besar-besaran di akhir tahun, tentu saja tidak ada salahnya. Akan tetapi juga tidak ada salahnya bilamana kita ingat, bahwa ada keluarga yang merindukan untuk dapat merayakan Natal, namun kondisi mereka tidak memungkinkan. Mereka sedang menunggu uluran tangan tangan kita.

Saya dan keluarga sudah merasakan selama 7 tahun, kami hanya dapat merayakan Natal di kedai kumuh, tanpa kue, tanpa pohon Natal. Hanya menyanyikan lagu Natal dengan penuh keprihatinan bersama putra kami, Tidak seorangpun yang mengulurkan tangan agar setidaknya putra kami dapat menimati sepotong kue Natal.

Peristiwa ini menjadi pelajaran pahit dan paling berharga dalam hidup kami bahwa  hidup berbagi itu sangat indah tanpa membedakan kepada siapa kita berbagi. Karena kasih itu tidak terbatas. Kasih itu memaafkan dan dan kasih itu penuh dengan belas kasih terhadap sesama, apapun sukunya, apapun agamanya. Karena kasih adalah tanpa sekat dan dinding pemisah.

Crown, Burswood 15 Desember, 2016

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun