Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Berbisnis dalam Lingkaran Setan Birokrasi Pemerintah

14 Desember 2016   22:52 Diperbarui: 15 Desember 2016   10:59 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, Bisnis berurusan dengan Birokrasi, ibarat masuk lingkaran setan. Bagaimana dengan saat ini?

30 Tahun lalu, berbisnis apapun yang melibatkan birokrasi pemerintahan maka kita ibarat masuk ke dalam lingkaran setan. Satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran maut ini, adalah berhenti berbisnis. Karena pada zaman itu, di tahun 80an, dikenal dengan slogan : "Yang Jujur, akan Terbujur". Maksudnya kalau mau berbisnis, tapi tidak mau mengikuti aturan main yang diterapkan oleh birokrasi, maka jangan harap bisnis kita akan mampu bertahan. Karena tanpa adanya tanda tangan pejabat, barang tidak dapat dikirim.

Dari mulai buka pintu kantor, maka permainan kotor tersebut sudah harus dilakoni. Saya berkantor di Jalan Niaga, kota Padang. Di belakang kantor, sekaligus menjadi gudang tempat penampungan dan produksi untuk ekspor. Setiap hari truk yang membawa hasil perkebunan, seperti biji kopi, kulit manis, cengkeh dan gambir, sudah antri di depan kantor, untuk membongkar muatannya. Begitu saya duduk di kantor, sekretaris saya melapor, ada petugas lalu lintas yang mau menghadap. Saya persilakan masuk dan yang bersangkutan mulai membacakan "operating prosedure", agar truk tetap boleh membongkar barang di sana.

"Maaf Boss, ada 3 truk parkir di sini, dan itu mengganggu pengguna lalu lintas lainnya. Jadi minta agar dipindahkan" kata petugas.
"Hmm... truk itu membawa barang untuk dijual kepada perusahaan saya pak, tolong saja diatur gimana baiknya ya" kata saya maklum.
"Siap Boss, akan saya atur". kata si petugas dengan sikap menghormat terhadap komandannya.

Sertifikat Mutu

Sebelum barang dapat diangkut untuk dibawa kepelabuhan, agar bisa dimuat di kapal yang akan membawanya keluar negeri, wajib harus ada sertifikat mutu. Petugas dari kantor sertifikat mutu datang dan memeriksa kualitas barang. Kemudian minta bertemu dengan saya, sambil membawa contoh kopi yang diambilnya dari tumpukan kopi. "Selamat pagi Boss. Hmm saya sudah periksa, menurut saya kualitasnya masih belum sesuai dengan mutu ekspor. Jadi harus diulangi lagi penyortirannya. Atau gimana baiknya menurut Boss?" kata si petugas.

Dan saya tidak kaget mendengarnya, karena sudah menjadi ritual perjalanan sebelum mendapatkan sertifikat mutu. Maka saya menjawab: "Barang sudah harus dikarungkan dan besok pagi sudah akan dibawa ke pelabuhan pak. Jadi tolong diatur, agar sertifikat mutunya diterbitkan hari ini, bisa kan?" Tanya saya.

"Siap Boss, Saya akan ke Kantor dan akan perintahkan staf saya untuk mempersiapkannya, saya sendiri siang ini akan mengantarkan dan menyerahkan kepada Boss" jawab petugas sangat sopan.

Berarti "sudah deal" tanpa perlu dirundingkan, deal yang bagaimana karena sudah tahu sama tahu.

Sudah Siap?

Beluuum... perjalanan masih panjaaang. Sesudah biji kopi dikarungkan dan sesuai kesepakatan, sertifikat mutu diantarkan siang itu juga, Hebat kan,? One day service dan diantarkan lagi, luar biasa pelayanan yang saya terima pada waktu itu. Tapi tentu kita sudah tahu sama tahu, bahwa tidak ada yang gratis.

Nah, ronde kedua adalah mendapatkan CVO atau Certificate of Origin. Artinya,bahwa barang yang akan diekpor adalah benar produk dari Indonesia, bukan didatangkan dari negara lain. Maka lagu yang sama juga didendangkan, dengan lirik berbeda, tapi nadanya sama, yakni :"Tolong diatur bagaimana baiknya"

Keesokan Harinya

Barang sudah siap digonikan dan sudah dimerk sesuai permintaan pembeli. Tiba di pelabuhan Teluk Bayur, ada telpon masuk. :"Selamat siang Boss. Maaf gudang penuh Bosss, jadi tidak bisa dimuat hari ini, Gimana Boss?" suara telpon dari Teluk Bayur,

Nah, kalau orang yang saraf tidak kuat dalam waktu singkat bisa sinting berhadapan dengan birokrasi kayak ginian. Tapi saya sudah ditempa hidup di pasar kumuh dan berhadapan dengan segala macam preman. Maka hal ginian, hal kecil buat saya. Maka saya hanya mengeluarkan kalimat sandi yang mujarab "Pak., barang saya perlu hari ini naik ke kapal. Tolong diatur ya, ntar siang mampir ke sini atau mau saya titip?"

"Oke Siap Boss. Nggak usah dititip boss, saya akan singgah kesana, sekalian sudah kangen nih" jawaban dari seberang sana.,

Gimana Sudah Selesai kan?

Beluuum! Sehabis makan siang, ada telpon lagi,bahwa semua barang sudah masuk gudang, Tapi tidak bisa dimuat ke kapal, karena container sudah dibooking orang lain. Jadi besok baru bisa diatur. Gimana Boss?"

"Pak, barang saya perlu hari ini naik kapal, agar letter of Creditnya bisa saya cairkan, saya butuh Bill of Lading, yang menyatakan bahwa barang saya sudah ada di kapal. Terserah caranya gimana".

Lagi lagi: "Siap Boss, akan saya atur dan Bill of lading akan saya antarkan sendiri, Boss ada di kantor kan?"

Deal lagi!

Nah, membaca tulisan ini saja sudah ada rasa mual kan? Apalagi saya yang menghadapinya sepanjang tahun. Sudah selesai? Beluuum.

Tapi agar tidak semakin membosankan, biarlah hingga di sini saja,saya berikan gambaran, mengapa saya katakan berbisnis yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan adalah ibarat masuk ke dalam lingkaran setan.

Bagaimana Kalau Tidak Dilayani?

Silakan saja, barang kita tidak akan diangkut dari gudang dengan alasan gudang pelabuhan penuh. Mau mengadu? kepada siapa? Sekali melapor atau mengadu ke atasan, maka jangan harap lagi bisa tetap berbisnis, semua kran untuk mendapatkan tanda tangan dan stempel dikunci. Mungkin dapat dipahami, mengapa saya memilih pensiun dari pada melanjutkan bisnis kami.

Bahkan ketika pindah ke Jakarta, ritual yang saya alami jauh lebih dahsyat. Barang yang masuk 10 unit, ditulis 20 unit. Begitu saya nyatakan keberatan, maka nama saya langsung diblacklist dan tidak boleh lagi masuk daftar rekanan.

"Kalau tidak mau ikut permainan, silakan jangan berbisnis dengan kami, take it or leave it," kata si pejabat. Maka saya memilih "leave it;"

Sengaja tulisan ini tidak menyebutkan instansi terkait, karena akibatnya bisa bisa saya "ditersangkakan" dengan tuduhan melakukan penistaan tehadap pejabat negara, Artikel ini dimaksudkan untuk menjadi masukan bagi yang merencanakan akan membangun usaha yang dalam operasionalnya akan melibatkan birokrasi, maka harus siap mental. Semoga pengalaman buruk yang saya alami dulu, kini sudah ditata rapi oleh aparat pemerintahan yang bersih. Sehingga setiap orang yang mau membuka usaha, tidak harus lagi terjerat oleh lingkaran setan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun