Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eks Pejuang, Jadi Pemulung dan Tidak Bertempat Tinggal

2 Oktober 2016   13:29 Diperbarui: 2 Oktober 2016   13:45 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keterangan foto: pak Bejo (nama sebenarnya).duduk dibawah pohon, 30 meter dari pintu gerbang Kathedral. Mengaku Eks Pejuang,kehilangan segalanya dan kini jadi Pemulung dan tidak memiliki tempat tinggal /foto : tjiptadinata effendi)

Pak Bejo, Eks Pejuang yang Jadi Pemulung

*Kami temui Pak Bejo, pria yang mengaku lahir tahun 1931 ini ,duduk melepaskan lelah di bawah pohon, yang berada sekitar 30 meteran dari pintu gerbang Gereja. Pak Bejo tidak mengemis. Ia tidak menadahkan tangan dan tidak menampilkan wajah memelas. Ternyata, menurut pengakuannya, Pak Bejo adalah eks dari Pejuang Kemerdekaan R.I.”

Pagi tadi  Jam 7.05 kami sudah turun dari lantai 27 BL, Mediterania Boulevard Apartement.Di Lobby sudah menunggu taksi yang akan mengantarkan kami ke Kathedral , untuk hadir dalam ibadah Minggu. Dengan asumsi ,kami tidak akan terlambat tiba, pada Misa yang akan dimulai pada jam 7.30 Akan tetapi, di Jakarta, prediksi atau asumsi itu tidak dapat dijadikan patokan, karena setiap saat bisa saja terjadi kemacetan,entah karena alasan apapun.

Dan pagi ini kembali kami membuktikannya. Ketika taksi yang membawa kami,hanya berjarak 1 Kilometer saja dari pintu gerbang gereja, ternyata terhalang oleh belasan bus wisata,yang memenuhi seluruh ruas jalan.

Mungkin pak Polisi lagi weekend atau sedang berlibur bersama keluarga. Karena lebih dari 20 menit kami menunggu di tengah jalan raya, untuk dapat merayap maju. Tak tampak ada petugas yang mengatur lalu lintas, sehingga semuanya amat tergantung pada kesadaran para pengemudi kendaraan. Mengapa  belasan bus wisata ini tidak berjalan beriringan, tapi malah seakan memblokir seluruh jalan, sungguh saya tidak tahu.

Terlambat

Karena sudah terlambat lebih kurang 10 menit,maka  kami minta pak Supir ,yang mengaku asal dari  Sumatera Utara dan bermarga Panjaitan, untuk meminggirkan kendaraannya, agar kami bisa turun berjalan kaki menuju ke gereja.

Begitu kami turun dari taksi, tampak sesosok pria tua ,dengan wajah kriput .duduk bersandar melepaskan lelah dibawah sebatang pohon. Ia bukan mengemis, Tak ada kaleng berisi recehan terletak didepannya. Dan menengok kami lewat, sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda,bahwa ia akan meminta sesuatu. Juga tidak menunjukkan wajah memelas yang minta dikasihani. Disampaingnya,tampak satu karung plastic, yang berisikan botol botol bekas di dalam karung  tersebut.

Karena kami lewat persis didepannya,maka kami mengucapkan selamat pagi dan permisi .Dibalas dengan ucapkan :’[i]Selamat pagi . Silakan” .Tertegun kami sejenak, menyaksikan kondisi orang tua ini. 

Sementara menengok kejam tangan,kami sudah terlambat. Namun kami menyempatkan diri ,berbicara sesaat. Walaupun orang tua ini tidak menadahkan tangan dan sama sekali tidak menampilkan wajah yang minta belas kasihan, seperti yang biasa ditunjukkan oleh para pengemis professional.tapi kami berpikir ,untuk berbagi sedikit perhatian, tidak harus menunggu orang menadahkan tangan atau minta minta.

“Namanya siapa pak?” tanya saya

“Bejo pak”jawabnya sopan

“Usianya berapa pak?”

“Saya lahir tahun 1931 pak”

“Alamatnya dimana pak Bejo?” tanya saya lagi

Mendengar pertanyaan saya ini,tampak pak Bejo tertegun, wajahnya merawang jauh dan sesaat menjawab dengan suara hampir tidak kedengaran :” Saya tinggal disepanjang jalan ini pak “ Bejo mencoba tersenyum.namun yang tampak adalah senyum yang penuh kegetiran hidup.

“Saya dulu ikut berjuang pak. Ketika saya kembali,saya sudah kehilangan semuanya.Saya tidak mempunyai tempat tinggal.” Katanya ,seperti bergumam pada diri sendiri.

“ Hmm Apa nggak dapat tunjangan dari pemerintah  pak Bejo?” kejar saya.

“Ada sih pak,tapi tidak cukup untuk hidup…”

Karena sudah terlambat ,maka saya sudahi pembicaraan singkat kami dan berharap ,setelah pulang dari gereja,dapat menyambung pembicaraan kami lagi.Mungkin ada kelanjutan yang dapat kami lakukan untuk meringankan beban hidupnya. Namun ,ketika Misa usai dan kami kembali ketempat pertemuan pagi tadi, Pak Bejo sudah raib entah kemana.

Hinggga kini ,masih terbayang oleh saya wajah orang tua yang sudah berusia 85 tahun, tapi hidup dari memulung botol plastic bekas. Dan menurut keterangannya, rumahnya berada dimana saja ada emper toko dimana ia dapat membaringkan tubuhnya, ketika malam tiba.

Apakah kelak hidupnya akan berakhir diemperan toko orang ataukah pak Bejo beruntung ,ditemukan oleh aparat pemerintah yang terkait dalam hal ini? Tentu hanya waktu yang dapat menjawabnya. Karena setulus apapun niat ,kita hanya  mampu meringankan beban hidup orang dan tidak akan mampu menanggung beban hidupnya.

Semoga pak Bejo ,beruntung bertemu dengan “orang pemerintahan” yang peduli pada nasib orang tua yang terlantar,sebagaimana diamanahkan oleh Undang Undang Dasar ,bahwa fakir miskin dan orang orang terlantar,dipelihara oleh Pemerintah.

Tjiptadinata Effendi


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun