Wong Cilik Jadi Bemper Pejabat
Sejak dulu, “wong cilik” dijadikan semacam bemper oleh para pejabat.Setiap berbicara,selalu membawa bawa nama :” wong cilik”.Bahkan belakangan ini,semakin diperparah lagi dengan latahnya orang menggunakan kata sakti :”wong cilik” ini.Baik dalam upaya menaikkan gensi diri,maupun dalam berusaha melakukan gertakan kepada pihak yang berseberangan dengan dirinya.
Apa apa selalu dihubungi dengan :” demi memperjuangkan nasib wong cilik” atau “demi untuk membela wong cilik yang hidupnya terlantar” dan seterusnya dan seterusnya. Apakah benar mereka yang bersorak sorak tentang wong cilik ini, pernah secara nyata menengok dan mengulurkan tangan,membantu orang orang yang disebutkan sebagai “wong cilik ini?”
Kemana saja mereka,sewaktu terjadi tsunami di Aceh, gempa bumi di Padang,di Yogyakarta ,gunung Sinabung meletus,banjir besar di Jakarta, yang menenggelamkan Kampung Melayu dan begitu banyak bencana alam? Atau pernahkah mereka sungguh sungguh mau ,menghentikan mobil mewahnya dan turun untuk melonggok kehidupan dibawa kolong jembatan?
Tahukah mereka bahwa dikolong jembatan itu ada kehidupan? Bahwa yang hidup dibawa kolong tersebut ,bukan kodok atau belut ataupun biawak,tapi anak anak manusia, seperti kita semuanya. Pernahkah mereka membawakan agak sebungkus nasi rames atau sekardus mie instant ke gubuk gubuk pinggiran sungai ?
Menjadikan wong cilik,hanya sebagai bemper dalam membentengi diri,tanpa sekali jua ,turun dan mengulurkan tangan untuk meringankan penderitaan orang orang yang disebutkan sebagai :”wong cilik?”
Kalau belum pernah, tentu menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan kita semua, betapa begitu banyak pejabat kita, yang sudah berubah ujud,menjadi manusia tanpa rasa malu.
Hanya sekedar berkoar koar dimimbar ,untuk disoroti televisi dan dimuat diberbagai media cetak dan media online.Yang tujuannya tak lebih daripada mencari keuntungan diri pribadi,dengan mengunakan orang miskin sebagai perisai diri.
Tulisan ini tidak masuk ke rana politik,bukan karena takut dikritik,tapi hanya merupakan sebuah rasa keprihatinan, terhadap berbagai kepalsuan yang menjamur diberbagai kalangan pejabat .Apalah arti sebuah artikel kecil dari seorang Netizen,yang baru belajar menulis.Tapi setidaknya sebagai satu dari antara 240 juta orang Indonesia, saya sudah menyampaikan sebuah pandangan.
Mungkin saja tulisan ini,bagaikan setetes embun dipadang pasir,yang begitu jatuh,secara serta merta mongering diserap teriknya pasir,tidak mengapa.
catatan: semua foto adalah dokumentasi pribadi tjiptadinata effendi
Tjiptadinata Effendi, 03 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H