Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan Seorang Warga Biasa terhadap Para Pemimpin Bangsa

26 Februari 2016   13:01 Diperbarui: 7 Juni 2016   14:43 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Mereka dan kita berbeda, tapi kita satu, bangsa Indonesia"]

[/caption]

Tulisan ini tidak berkiblat pada partai manapun dan juga jauh dari arena politik. Hanya semata mata merupakan tulisan dari seorang warga biasa yang mungkin saja tidak terbaca oleh para pemimpin, namun setidaknya, sebuah harapan sudah tersampaikan.

Setiap kali ada Pilkada atau Pemilu, maka  hampir setiap hari kita mendengarkan pidato dari para calon calon  pemimpin bangsa. Setelah kita dengarkan dengan seksama, membuat hati kita jadi miris. Apa yang disampaikan, baik sewaktu kampanye, maupun dalam pidato diberbagai forum, materi yang disampaikan tidak beranjak dari pencitraan diri, menonjolkan kehebatan partai masing masing.

Tanpa menyentuh sendi sendi yang seharusnya justru menjadi pola dasar atau fundamen  dalam berbangsa dan bernegara. Betapa mungkin seorang calon pemimpin bangsa, yang seharusnya menyampaikan rencana kedepan, malah hanya terpaku untuk menampilkan kehebatan diri dan partai? Dan tidak jarang, hanya membaca tes dari selembar kertas, yang bahkan mungkin ditulis oleh orang lain.

Sepatutnya, seorang Pemimpin  adalah seorang yang Visioner, yang memiliki pandangan kedepan, bagaimana menghantarkan masyarakat Indonesia , menjadi semakin baik dan makmur. Jangan hanya terpancang, pada program partai, yang belum tentu menggambarkan kepentingan nasional.

Seorang Pemimpin Diharapkan Berbicara dari Hati,Bukan Hasil Kajian Berbelit Belit

Seorang Pemimpin harus berbicara dari hati. Karena apa yang disampaikan dari hati, akan diterima oleh rakyat dengan hati yang terbuka dan mengisi seluruh relung jiwa yang terdalam. Menjadi Pemimpin tidak boleh munafik. Lain yang disampaikan, lain yang dilakukan. Seharusnya menyamakan kata dan perbuatan.

Pemimpin Hendaknya Memahami  Rakyat, Jangan Malah Minta Dipahami

71  tahun sudah kita merdeka. Tapi dimana mana  ada fakir miskin, orang orang tua renta terlantar ada dan ternistakan. Mereka juga manusia, sama dengan kita. Bukan tanpa harga diri, namun keras dan gersangnya hidup, memaksa mereka  menindih rasa harga dirinya. Menadahkan tangan, hanya untuk mendapatkan uang recehan. Dimana martabat dan harkat bangsa ini di campakkan?

Banyak Para Pemimpin bangsa ini, yang  sudah lupa atau tiba tiba mengalami amnesia yang parah, sehingga melupakan, bahwa orang orang tua itu sudah memberikan hidupnya bagi negara ini. Tanpa mereka kita tidak pernah ada di dunia ini.

Kenyataannya, kita memperlakukan mereka, seperti orang makan tebu,habis manis sepah dibuang. Merek  yang sudah memberikan hidupnya ,berbakti pada negara dan tidak sedikit yang ikut di medan perang, untuk menjaga wibawa bangsa dan negara ini.Hanya saja mungkin nama mereka tidak ada dalam daftar nama pejuang. Setelah tugas mereka selesai ,diusir dari rumah yang selama berpuluh tahun mereka diami. Masihkah sila Prikemanusiaan yang adil dan beradab, berlaku dinegeri tercinta ini atau  mungkin juga sudah pupus oleh perjalanan waktu?

Mungkin saja tulisan ini, adalah ibarat cuitan seekor burung pipit disemak semak yang tertimpa oleh gemuruhnya arus kehidupan sehingga tidak meninggalkan gaung apapun. Namun sebagai satu dari antara 240 juta bangsa Indonesia, setidaknya harapan sebagai anak bangsa yang nota bene adalah warga biasa, sudah tersampaikan.

Semoga kelak jangan  lagi ada  orang tua  yang terlunta lunta di jalan raya. Karena negara telah memenuhi  kewajibannya, yakni memelihara  orang orang terlantar.

Tidak akan ada lagi orang yang mati karena lapar atau karena tidak ada uang untuk berobat. Karena seluruh pengobatan saudara kita yang miskin dan terlantar,serta yang sudah pensiun, akan ditanggung pemerintah kita.

Secuil  harapan dari warga biasa.

26 Feb. 16

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun