Tiba-tiba ada sesosok wajah yang dicat dengan warna abu abu sedang berdiri di samping kanan kendaraan yang saya kendarai. Saya bukan kaca dan menanyakan ada apa? Lelaki bertopeng cat ini menawarkan untuk membersihkan kaca mobil. Namun karena akan mengganggu orang lain, maka dengan halus saya tolak tawarannya.
“Om. Maaf berikanlah saya kesempatan untuk membersihkan kaca mobil. Terserah Om mau kasih berapa. Saya butuh untuk beli makanan anak dan istri dirumah…” katanya sopan.
Saya tertegun. Mendadak saya merasakan bagaimana perasaan lelaki yang sedang berdiri dan menanti penuh harapan, sekedar 5 ribuan dari saya. Saya ingat bahwa dulu saya juga pernah berada dalam kondisi seperti ini, kendati tidak pernah sampai mengamen di jalanan. Namun kalau untuk makan, harus utang sana sini, sudah sering saya lakukan. Saya ulurkan tangan saya kearah istri saya dan Lina sudah tahu, saya minta uang untuk diberikan kepada sesosok anak manusia yang ada berjarak sejengkal dari kami. Sama-sama makluk ciptaan Tuhan, namun beda garis tangan.
Pada waktu memberi, sangat terasa makna dari kata-kata:”Berbahagialah yang memberi daripada yang menerima. “ Bayangkan kalau saya yang menerima, berarti saya yang ada dibawah sana”
Mengamati pengamen, setidaknya membuka mata hati kita bahwa mereka juga sama dangan kita, namun garis tangan mengantarkan mereke ke sisi lain, untuk menjalani hidup.
16 Februari 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H