Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Itu Jangan Seperti Petasan

6 Februari 2016   11:41 Diperbarui: 6 Februari 2016   12:17 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Semua orang pasti sudah pernah melihat petasan atau malahan sudah pernah menyulutnya di waktu kecil. Baik ketika lebaran, maupun ketika menyambut tahun baru Imlek. Begitu disulut, maka petasan akan meledak-ledak, mencipratkan bunga bunga api ke udara. Namun hanya dalam waktu singkat, untuk kemudian diam, yang tersisa dari ledakan petasan tadi hanyalah sampah yang bertaburan, mengotori lantai atau rerumputan, di mana petasan tadi disulut.

Nah, banyak pelaku-pelaku cinta, mempraktekkan-” cinta petasan”. Begitu tersulut atau disulut, terus terbakar dan meledak ledak. Namun tidak mampu bertahan lama dan yang tersisa adalah penderitaan lahir batin.

Pasangan muda, banyak yang melupakan bahwa kodrat manusia sebagai pelaku cinta adalah suatu waktu akan menua. Dan bagi yang mentalnya tidak siap, maka cinta yang membara dan meledak ledak sebelumnya hanya akan menyisakan puing-puing.

Credo Cinta

Seharusnya cinta yang terpatri dalam diri sepasang anak manusia, tidak boleh ikut menjadi tua. Ibarat makanan, cinta itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, cinta itu bila tanpa dijaga dan dirawat sehingga menjadi basi.

  • Cinta harus tetap segar dan abadi,
  • Menghangatkan ketika kita kedinginan,
  • Menyejukkan ketika kita kepanasan,
  • Menjadi penghibur ketika kita kesepian,
  • Menguatkan ketika kita diambang putus asa,
  • Menyemangati ketika terpuruk,
  • Menjadi motivasi diri ketika kita dalam sekarat,
  • Menjadi alarm ketika kita terlena,
  • Menjadi obor ketika kita meraba dalam kegelapan,
  • Mengingatkan ketika kita lupa diri.

Hindari cinta yang seperti mercon dan bara Api meledak-ledak seketika untuk kemudian padam dan menyisakan sampah, membara dan menyala, namun begitu hujan turun, bara padam dan hanya menyisakan debu.

Hindari dan cegah, jangan sampai ada:

  • Kebohongan antara suami istri
  • Rahasia antara suami dan istri
  • Berdagang antara suam dan istri
  • Menghitung untung rugi antara suami dan istri
  • Saling Menghormati
  • Suami adalah kepala rumah tangga
  • Tapi bukan boss dirumah
  • Istri perlu merawat diri, tapi bukan barang pajangan

Jangan Libatkan Orang Lain dalam Kehidupan Pribadi

  • Kalau ada suatu yang tidak jelas,:
  • bicaralah dari hati kehati
  • Jangan menyimpan kemarahan
  • apalagi sampai  dibawa tidur

Ketika seorang pria dan wanita sepakat untuk menikah:

Maka sejak saat itu, mereka sudah membentuk keluarga sendiri. Apapun urusan mereka berdua,jangan melibatkan anggota keluarga dai pihak istri, maupun suami. Hidup itu tidak selalu mulus, terkadang harus menjalani jalanan terjal dan licin. Setiap saat, bila tidak hati-hati, bisa tergelincir dan berakibat fatal.

Masalah adalah petanda hidup."No problem, means life is ended" Bila sudah tidak ada lagi masalah, berarti kehidupan kita sudah selesai di dunia ini. Maka ketika masalah tiba, jangan menghindar. Hadapilah bersama-sama, karena dengan salng mendukung, maka segala beban, akan terasa ringan.

Pecahkanlah masalahnya antara suami dan istri saja dan hindari teman istri maupun teman suami masuk terlalu jauh dalam kehidiupan berkeluarga, karena berpotensi terjadinya petaka.

Suami digaet oleh teman sendiri atau sebaliknya istri digaet sahabat suami. Jangan lupa, terjadinya perselingkuhan, bukan karena pelakunya sejak awal memiliki niat untuk berselingkuh, melainkan karena kesempatan yang ”ditawarkan” kepada mereka.

Berhati-hati dan mawas diri sejak dini adalah jalan terbaik, agar jangan sampai terjadi penyesalan di belakang hari. Setiap orang harus menempuh ujian hidup masing-masing. Jangan  percayakan hidup dan masa depan kita kepada siapapun, kecuali pada pasangan hidup kita.

Bila orang yang hidupnya masih morat-marit dan bercerita bagaimana meraih sukses, tentu orang menjadi risih mendengarkannya. Atau bila seseorang yang baru mulai menulis, terus berceramah, bagaimana menulis yang baik dan benar. Termasuk bila orang yang angkuh, bercerita bagaimana seharusnya rendah hati.

Nah, hal yang memberanikan saya untuk menulis artikel ini adalah karena kami berdua, sudah berhasil lulus dalam ujian hidup berkeluarga selama 51 tahun. Karena itu tuilisan ini,  tidak merujuk pada tulisan siapapun,melainkan dipungut dari cuplikan perjalanan hidup kami yang pernah mengalami badai dan gelombang.

Dan kami  bersyukur, bahtera rumah tangga kami selamat dalam perjalanan selama 51 tahun dan semoga hingga akhir hayat kami.

Semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya untuk dipetik hikmahnya.

6 Februari, 2016

Tjiptadinta Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun