Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudah Tahu Dendam Itu Bikin Sakit Hati, Mengapa Disimpan Terus?

10 Juli 2015   17:22 Diperbarui: 10 Juli 2015   17:39 1854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

"][

 

[caption caption="alangkah nikmatnya hidup tanpa dendam (foto: tjiptadinata effendi)

Sudah Tahu Dendam Itu Bikin Sakit Hati Kita, Mengapa Disimpan Teruus ?

Sudah tahu dendam itu bikin sakit hati kita, mengapa masih mau menimpannya ? Dendam itu selain dari menyiksa diri ,juga melukai hati dan untungnya tidak ada. Mengapa harus menyimpan dendam? Pertanyaan ini sangat sederhana. Begitu sederhananya ,sehingga banyak orang yang tidak pernah terpikirkan, untuk membuang dendam dari dirinya. Agar dengan demikian dapat menikmati hidup dengan tenang dan damai.

Tidak ada dendam ,tentu bukan berarti kita sudah mampu melupakan semua kejadian,yang pernah menimpa diri sendiri ataupun keluarga kita. Kalau saya mengatakan bahwa saya sudah melupakan semua kejadian yang menyakitkan ,yang pernah kami alami sepanjang perjalanan hidup kami.maka hal tersebut berarti :

  • Amnesia yang pernah saya alami kambuh lagi
  • Saya berbohong dengan pura pura lupa
  • Saya munafik,berpura pura baik,agar dipuji orang

Namun,tak satupun yang saya pilih diantara ketiganya.

Sejarah Tidak Boleh Dilupakan

Sebagaimana sejarah suatu bangsa tidak boleh dilupakan, begitu juga dengan sejarah hidup kita.Karena perlu untuk pembelajaran diri dan sekaligus pengingat diri, agar jangan pernah melakukannya pada orang lain.

Jangan Menyimpan Dendam     

Tidak pernah marah? Hanya pembohong yang bisa mengatakan demikian. Karena sebagai manusia biasa, setiap orang pasti pernah :

  • Kecewa
  • Merasa dikhianati
  • Sedih
  • Marah

Namun stop sampai disini, jangan biarkan ia bertumbuh dan membusuk menjadi dendam kesumat.

Teman Saya Tiap Hari Pingsan karena Dendam

Teman kami yang tinggal di Bandar Lampung mengeluh. Tiada hari tanpa pingsan. Sudah kedokter specialis semuanya baik. Ternyata ia sangat dendam pada saudara kandungnya sendiri, yang meminjam sertifikat tanahnya, untuk agunan kredit di bank,dengan catatan begitu Sertifikat Tanah yang baru dibelinya diterbitkan oleh B.P.N. ,maka ia akan segera mengembalikan sertifikat yang dipinjamnya. Karena merasa saudara kandung seibu dan seayah, teman saya tidak tega menolak permintaan saudaranya dan meminjamkan sertifikat tanahnya. Celakanya, ia sama sekali tidak memberi tahukan pada suaminya karena berpikir hanya seminggu dua minggu.

Ternyata setahun sudah lewat,namun sertifikat yang dipinjam, belum dikembalikan oleh saudaranya. Sejak saat itu teman kami senantiasa diliputi ketegangan dan kemarahan, yang berbuah dendam. Maka kesehatannya terus menurun. Menurut pak Suwanto (bukan nama sebenarnya), tiada hari tanpa pingsan.

Kalau Orang Tidak Mengalami Memang Gampang Memberi Nasihat

Saya mencoba menyarankan pak Suwanto, agar jangan mendendam, agar penyakitnya sembuh.” Datangilah saudara pak Suwanto. Berbicaralah dari hati kehati. Karena dendam hanya akan menghancurkan diri sendiri” Begitu saran saya pada sahabat saya. Namun niat baik belum tentu diterima dengan baik, apalagi bagi orang yang sedang mengalami distorsi kejiwaan.

Langsung keluar kata kata mutiara dari pak Suwanto :” Kalau orang belum pernah mengalami, memang gampang memberikan nasihat “, katanya dengan dingin.

Tentu saja saya terperanjat. Saya diam. Mau saya tinggalkan pergi, saya ingat pesan moral dari lagu””What’s friend are for?” Untuk apa ada teman?. Saya berdiam diri. Dan kemudian melihat ia mulai tenang dan mengatakan :” Maaf Pak Effendi, saya lagi sumpek”

Saya bilang :” Nggak apa apa pak.. Boleh saya ceritakan bagaimana saya disakiti ?”

Menceritakan Tanpa Rasa Dendam

Saya ceritakan kisah hidup saya, tanpa menyebutkan nama pelakunya dan tanpa rasa dendam ,agar pak Suwanto memahami bahwa di dunia ini bukan hanya dirinya, yang pernah di khianati bahkan direncanakan untuk menghabisi kami sekeluarga.

  • baut baut roda kendaraan kami sengaja dilonggarkan,dengan harapan kami akan kecelakaan
  • Tutup bak oli, dilonggarkan, sehingga dalam pendakian, oli kosong
  • mobil di service di bengkel. Remnya dibikin blong
  • ditangkap di manado jam 2.00 subuh
  • uang perusahaan dilarikan orang yang sudah dianggap anak sendiri
  • sahabat baik saya di Spore ,melarikan uang hasil penjualan barang 65 ton

Dari catatan ini, kasus nomor 1 sd 3 orangnya sudah mengaku. Dua yang terakhir, hingga saat ini tidak pernah bertemu dan tidak pernah kontak lagi.

Suwanto terdiam,mendengar penuturan saya. Ia menangis dan memeluk saya. Belakangan saya dapat kabar, bahwa pak Suwanto tidak pernah pingsan lagi, karena ia sudah dapat membuang dendam dari dirinya.

Untuk Bisa Memaafkan,Tidak Perlu Menunggu Jadi Orang Saleh

Sebagaimana yang sering saya tekankan, bahwa saya bukan tipe manusia yang sangat agamis. Saya adalah orang biasa biasa saja.Tidak memiliki kelebihan apapun dan pasti tidak termasuk kategori :”orang saleh”. Tapi saya bisa memaafkan mereka semua. Karena dengan memaafkan, maka hati kita lapang. Jiwa kita tidak lagi digerogoti. Pikiran kita jernih dan dapat memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan dengan hati yang lapang.

Tulisan ini jauh dari maksud melambungkan kebanggaan diri yang terselubung.. Jujur ,saya taku bangga. Karena bagi saya pribadi,bangga itu adalah saudara kandung dari kesombongan, Sedangkan kesombongan adalah awal dari kehancuran hidup seseorang.

Alangkah damainya hidup tanpa dendam.. Kita bisa tersenyum lepaas..

 

Wollongong, 10 Juli, 2015

Tjiptadinata Effendi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun