Ini adalah foto Tanah Kongsi Tempat saya Jualan Kelapa -Tjiptadinata Effendi
Inilah Kisah Kelam Kehidupan Saya di Masa Lalu
Kebanyakan orang tidak suka menceritakan sisi gelap kehidupannya. Bahkan dengan segala upaya berusaha ,agar semakin kabur dan dilupakan orang. Tentu saja tidak ada yang salah dalam hal ini. Karena setiap orang memiliki falsafah hidup masing masing,tergantung pola pikir dan sikap mentalnya.
Namun, sebagai orang yang terlahir dalam keluarga miskin dan dididik dengan sangat keras, saya senantiasa berpegang teguh pada pesan ayah saya almarhum,yakni: Jadilah diri sendiri. Maka sejak itu, kehidupan saya, tak ubahnya bagaikan orang China jualan bakmi. Semua dipertontonkan bagi orang banyak. Begitu juga hidup yang saya jalani. Sehingga setiap orang yang berkenan menjadi sahabat saya, sudah mengetahui tentang diri saya dan tidak akan merasa dibohongi.
Menjalani Hidup Sebagai Kuli Bongkar Muat
Setelah gagal berusaha menjadi pedagang keliling Padang – Medan dan tak mampu mengumpulkan uang dengan bekerja di pabrik karet di PT Pikani Timbang Deli – pinggiran kota Medan, dengan berat hati, kami kembali ke kampung halaman. Rasanya amat sangat berat untuk kembali dalam kondisi yang morat marit. Namun karena saya belum pulih dari gangguan malaria yang saya dapatkan selama bekerja di pabrik karet, maka dengan menahan rasa malu kami terpaksa pulang.
Tidak ada uang untuk kontrak pemondokan. Belum ada sesuatu yang bisa dikerjakan. Bertepatan ibu saya almarhum menyarankan, bila belum ada pekerjaan, kami tinggal saja dirumah orang tua kami di pulau Karam. Ajakan ibu saya alm. secara serta merta saya penuhi dan kamipun numpang dirumah orang tua . Namun, karena kamar sewaktu saya belum menikah sudah ditempati oleh anggota keluarga yang lain, tidak mungkin menyuruh mereka pindah, hanya karena saya kembali secara mendadak.
Untuk tidak menjadi beban bagi orang tua, maka istri saya langsung mulai membuka private less bagi anak anak SMP. Sementara itu, putra kami baru berusia belum genap satu tahun. Perlu uang untuk beli susu. Saya mencoba menghubungi teman sekolah saya yang sudah bekerja sebagai mandor gudang. Ia menyambut dengan baik, namun karena ia hanya karyawan biasa, tidak ada wewenang untuk menerima saya bekerja diperusahaan tempatnya bekerja.
“Saya mau menolong, tapi saya cuma mandor gudang disini. Kalau mau, boleh ikut bongkar muat barang. Tapi maaf Effendi, tidak ada gaji dan tidak ada jaminan apapun. Anda hanya mendapatkan uang, bila anda ikut bongkar muat barang. Itupun dibagi dengan teman teman”
Saya tidak perlu berpikir dua kali, langsung saya sanggupi. Saya tidak memikirkan beratnya pekerjaan. Yang penting halal dan bisa dapat uang untuk beli susu anak.
Saya Berbohong Pada istri
Hari itu saya pulang sudah senja. Sangat senang sekali, karena di kantong saya ada uang yang saya dapatkan dari hasil pembagian bongkar muat barang. Walaupun kondisi tubuh saya rasanya sangat tidak karuan, karena masih belum pulih dari penyakit malaria yang menggeroti saya.
Tiba dirumah, istri saya langsung menyambut saya dan menanyakan, ke mana saja saya seharian. Saya tidak tega mengatakan bahwa saya jadi kuli bongkar muat. Sehingga saya berbohong. Saya katakan bahwa saya kerja, bantu bantu di gudang untuk menyusun barang barang, sambil menyerahkan hasil jerih paya saya pada hari itu. Kata istri saya, ” Kita belikan susu ya ..untuk anak kita.” Tentu saja saya sangat setuju.
Jatuh dari Bus
Sepandai pandainya tupai melompat, sekali waktu akan jatuh juga . Kata pepatah..Sepandai pandainya saya berbohong, akhirnya ketahuan juga. Sesudah sempat beberapa bulan menikmati hasil kerja saya sebagai kuli bongkar muat, suatu hari, karena kondisi tubuh yang sangat lemah, ketika memanjat atap bus untuk menurunkan barang ,tiba tiba saya terpeleset dan jatuh. Tulang lutut saya keluar dari bongkolnya.
Teman teman sesama kuli, mencoba membantu dengan menekan lutut saya, agar bongkolnya,masuk kembali kelekuknya. Keringat dingin membasahi tubuh saya..serasa saya mau pingsan .Saya mencoba menahan diri untuk tidak berteriak ,dengan mengertak gigi saya sekuat kuatnya. Dengan menahan kesakitan yang amat sangat akhirnya masuk juga.
Tapi saya tidak bisa berjalan normal.Setiap gerakan ,serasa ada yang robek di dalam daging lutut saya..Namun saya,masih berusaha untuk berjalan seolah olah tidak terjadi apa apa. Tetapi setibanya di rumah, melihat wajah saya yang pucat pasi, istri saya langsung berlari dan memegang saya.
Saya Mengaku Dosa
Saya tidak bisa lagi berbohong, maka dengan terus terang saya ceritakan semuanya. Istri saya memeluk saya erat erat,menangis didada saya dan mengatakan, saya tidak boleh lagi jadi kuli.
Kecintaan seorang istri, membuktikan kesetiaannya ,ikhlas hidup menderita,tanpa pernah mengeluh sekali jua. hidup kami morat marit satu hal yang tdak pernah kami lupakan adalah berdoa. Kami mohon agar diberikan kekuatan dan ketabahan untuk menjalani hidup ,dalam kondisi yang sangat berat .Ternyata doa kami tidak secara serta merta dijawab oleh Tuhan. Karena kami masih harus melanjutkan episode penderitaan kami ke penderitaan lainnya......
Penderitaan Belum Berakhir
Ini bukan akhir sisi gelap kehidupan kami. Karena masih berlanjut dengan pindahnya kami ke pasar Tanah Kongsi, untuk berjualan kelapa. Tujuh tahun kami hidup morat marit ,sebelum kehidupan kami berubah membaik dan baru 11 tahun kemudian, saya menjadi pengusaha.
Kisah ini, sengaja saya postingkan, bukan untuk mendapatkan simpati, melainkan agar pembaca yang mungkin merasa hidupnya susah, tulisan ini mungkin dapat menyemangati. Bahwa kisah kisah kami traveling ke berbagai pejuru dunia, tidak semudah membalik telapak tangan kami raih. No pain, no gain. Tidak akan ada keberhasilan tanpa kerja keras dan pengorbanan, serta saling menyemangati antara suami dan istri.
Apapun yang terjadi, jalanilah dengan ikhlas. percayalah..badai pasti akan berlalu, tapi tidak secepat seperti maunya kita.
Wollongong ,8 Juli, 2015
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H