Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Komodo Island Dinyatakan Sebagai "Forbidden Island"

14 Januari 2015   20:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Labuan Bajo/tjiptadinata effendi"][/caption]

Komodo Island Dinyatakan Sebagai “ Forbidden Island”

Bagi yang berminat untuk ke pulau Komodo, terpaksa harus menahan rasa kekecewaan, karena cuaca yang cenderung jelek dan gelombang mencapai 4 sampai 5 meter, maka turis dilarang untuk berkunjung ke Pulau Komodo. Sejak tanggal 10 Januari, 2015 yang baru lalu, Komodo Island dinyatakan sebagai ”Forbidden Island”.

Kapal Turis Dilarang ke Komodo. Judul di Harian Pos Kupang, tertanggal 12 Januari 2015. Dimana dijelaskan bahwa ada larangan dari Syahbandar Labuan Bajo, yang merupakan kota transit untuk bisa menjangkau pulau Komodo. Sejak dicanangkan Komodo Island sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia versi baru, berbagai aktrasi diselenggarakan oleh pemerintah setempat untuk menarik turis dari mancanegara.

Namun karena kondisi cuaca yang tidak menentu dan cenderung hujan dan angin badai, maka untuk mengantisipasi jatuhnya korban, Pemda, melalui Syahbandar, menyatakan Komodo, terlarang dikunjungi oleh kapal Turis. Bahkan larangan bukan hanya ditujukan untuk pulau Komodo, tetapi juga pulau pulau lainnya yang merupakan obek wisata, yang berlokasi diderah rawan badai dan gelombang. Terutama daerah tujuan wisata yang berlokasi di wilayah Manggarai Barat.

(kutipan dari sumber Pos Kupang ,terbit 12 Januari 2015):” Pelayaran ke Pulau Komodo dan pulau lainnya di wilayah Manggarai Barat ditutup total, karena kondisi alam tidak memungkinkan untuk belayar, yaitu gelombang mencapai empat sampai lima meter. Kapal baru boleh berlayar jika cuaca membaik ”Wilayah ini ditutup untuk jangka waktu yang belum ditentukan.

Labuan Bajo

Labuan Bajo merupakan kota kabupaten yang memiliki lapangan terbang sendiri, kendati hanya bisa menampung lalu lintas udara yang menggunakan jasa penerbangan pesawat kecil, dengan kapasitas penumpang yang sangat terbatas. Kami baru 3 kali berkunjung kesini. Sarana dan prasarana yang terkesan digenjot paksa untuk menampung ledakan kunjungan para turis, sudah bisa dibayangkan kondisinya.

Termasuk fasilitas hotel yang sangat minim. Misalnya :


  • Mandi masih pakai gayung
  • Tidak persediaan sabun mandi
  • Tidak ada handuk
  • Tidak ada minuman dikamar
  • Kecuali kalau mau menginap di hotel berbintang


Transportasi Labuan Bajo – Komodo Tidak Terawasi

Mengunjungi Labuan Bajo, tanpa berkunjung ke Pulau Komodo, tidak akan berarti apapun. Karena di kota kecil ini tidak ada suatu objek wisata yang dapat dimanfaatkan untuk mengisi waktu waktu libur selama di sini. Satu satunya hiburan adalah mengunjungi Pulau Komodo atau Pulau Rica Rica. Namun untuk ke pulau-pulau tersebut, para wisatawan harus menggunakan transportasi boat atau perahu motor.

Pengalaman kami tahun lalu, ditagih 3 juta untuk kami berempat orang,dengan tujuan ke pulau Komodo. Tapi ditengah perjalanan haluan diubah menuju ke pulau Rinca Rinca, tanpa minta persetujuan kami. Ternyata Pulau Rinca hanya berjarak tidak lebih dari 40 menit, namun kami tetap ditagih 3 juta rupiah. Karena kami bertiga, berarti seorang kami bayar satu juta rupiah. Nah, kami kesini untuk rekreasi, mana mungkin kami ribut masalah uang ini. Maka sambil geleng geleng kepala dan menghela nafas dalam, kami pasrah untuk dibodoh bodohin "kapten" boat.

Disini kami sudah disambut oleh guide lokal, yang memperkenalkan namanya “Jack”. Kami diajak kekantor dinas pariwisata, yang merupakan bangunan sangat sederhana, lebih mirip rumah penduduk, dari pada sebuah kantor, Begitu masuk ke teras, terlihat sebagian langit langit atapnya sudah terlepas. Setelah mengurus administrasi yang diperlukan, kami melanjutkan perjalanan untuk melihat biawak raksasa yang dikenal dengan nama Komodo ini.

Biawak Raksasa

Menurut cerita guide kami, binatang ini adalah predator yang paling buas di dunia, bahkan tidak jarang memangsa komodo yang masih muda. Komodo ini bisa mencium darah dari jarak belasan kilometer. Dalam perjalanan, kami melihat di semak semak ada tumpukan tulang belulang, yang agaknya berasal dari sapi dan kambing. Tidak dijelaskan apakah ini akibat di mangsa oleh sang predator atau tidak.

Jalan yang kami lalui masih jalan setapak, katanya memang sengaja tidak dibuat jalan yang lebih baik, supaya terkesan alami. Saya tidak tahu apakah ini memang alasan sebenarnya atau sekedar menutupi kekurangan yang ada. Ada semacam toko souvenir di dalam kawasan komodo ini, tapi harganya sama sekali tidak menarik, mungkin disesuaikan dengan kantong bule yang middle high. Berjalan di udara yang cukup menyengat, tentunya membuat kita kehausan, tetapi sayang sekali tidak ada kedai minuman yang memadai disana.

The New Seven Wonders of the World

Nama Indonesia mencuat di dunia internasional, setelah Pulau Komodo,yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur, memenangkan kompetisi dalam memperebutkan mahkota sebagai salah satu dari The New 7 Wonders Nature of The World. Sebagai warna negara Indonesia yang baik, tentunya kita harus bergembira dan bersyukur, ditengah tengah badai hujan kritikan tajam yang ditujukan pada negara yang kita cintai ini, kini ditutupi dengan selendang merah yang bertuliskan “Komodo Island“.

Pemerintah yang tadinya terkesan ragu dalam menanggapi perjuangan komunitas yang telah berupaya mati matian dalam voting yang menegangkan selama masa penentuan terpilih tidaknya Komodo Island menjadi salah satu dari The New Seven Wonder Nature.

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Di Pulau Komodo / Doc. Pribadi"]

as
as
[/caption]

Labuan Bajo Indah ,namun Belum Tertata

Menyaksikan pemandangan yang indah dan memukau dari lereng lereng bukit yang seakan akan merupakan benteng, mengelilingi Labuan Bajo ini. Walaupun jalan masih penuh dengan lubang lubang dan membuat kendaraan berdisco di hampir sepanjang perjalanan keliling pelabuhan alam ini, tidak dirasakan, karena seluruh indra kita terpukau pada alam yang mempersona. Gunung yang menghijau dan laut yang membiru, dihiasi oleh riak gelombang yang bercanda ria,memecah di pantai yang landai,tidak kalah indahnya dari Pantai Miami di Florida, yang saya kunjungi awal tahun 2013 yang baru lalu. Bedanya, disini sama sekali belum terlihat penataan bangunan rumah dan kios kios yang bertebaran disekeliling pantai.

Apalagi ketika menyaksikan keindahan sinar mentari di sore hari, yang bagaikan membungkus langit dengan tata warna yang memukau. Serasa tidak ada ungkapan yang tepat menggambarkan indahnya alam disini. Tetapi keindahan yang memukau ini menjadi sirna, ketika perut mulai terasa lapar dan waktu untuk makan malam sudah tiba. Ketika kami mengunjungi salah satu cafe yang berlokasi di lereng bukit, kami sangat kaget, karena harga seekor ikan goreng adalah Rp 450.000,– (empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Pengusaha restaurant dan transportasi, tentunya wajar bila memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan keuntungan yang lumayan dari turis yang berdatangan, baik turis lokal, maupun turis dari mancanegara. Tetapi agaknya perlu segera ditatar, agar jangan semaunya mengeruk keuntungan yang tidak wajar, yang kelak akan jadi bumerang bagi Labuan Bajo, sebagai kota tujuan wisata.

Membandingkan dengan pelayanan di negara lain, bukan untuk mengecilkan negara kita, tetapi justru untuk membuka mata kita, untuk belajar mengambil keuntungan yang wajar. Pelayanan yang menyenangkan, akan menjadi daya tarik bagi semua orang, tidak hanya turis lokal, tetapi juga turis mancanegara, untuk kembali lagi dengan membawa anggota keluarga yang lain atau teman temannya. Sebaliknya pelayanan yang amburadul akan menimbulkan shock bagi tamu tamu dan mereka akan memastikan, tidak lagi akan menginjakan kakinya ditanah air kita.

Agaknya hal ini yang paling sering dilupakan,karena kita sudah terbiasa untuk terpana pada pembangunan fisik semata, sehingga pembangunan kearah peningkatkan pelayanan menjadi terlupakan atau di nomor dua kan atau bahkan mungkin juga dilupakan.

Ende, 14 Januari, 2015
Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun