Mohon tunggu...
Tjhen Tha
Tjhen Tha Mohon Tunggu... Insinyur - Speed, smart and smile

\r\nIa coba menjelaskan bahwa kebiasaan dalam keluarga kita selalu menggunakan nick-name atau panggilan sayang, huruf (i) didepan nama Tjhentha bukanlah arti turunan produk Apple seperti iPhone, iPad atau iPod tapi itu adalah sebutan sayang untuk orang yang dicintai. jadi huruf (i) di depan nama itu bukanlah untuk maksud pembeda gender. Tjhentha itu sendiri berasal dari dua suku kata Tjhen Tha, karena dulu belum ada huruf C maka di tulis Tj dan aslinya adalah Chen Tha yang berarti Cin-Ta.\r\niCinta dalam artian makna orang yang dicintai dalam kondisi pasif (dicintai) karena ia masih dalam kandungan. Ketika ia sudah lahir, iCinta berubah menjadi Cinta yang berubah peran jadi aktif sebagai kata kerja atau kewajiban (mencinta). Kewajiban Cinta sama derajadnya seperti kewajiban sholat, haji, puasa, zakat dll. sebagaimana dituliskan dalam Qs 42:23.\r\n“Katakanlah hai Muhammad, tidak aku pinta upah atas dakwahku kepada kalian melainkan kecintaan kalian kepada keluargaku (Ahlulbait).”\r\nOrang tuaku menyampaikan pesan dan wasiatnya dalam namaku untuk membayarkan utang mereka kepada Rasulullah yang telah mengajarkan Islam kepada mereka.\r\nSemoga aku bisa membayar hutang-hutang kami kepada Rasulullah saw dengan men-Cintai Ahlulbaitnya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Arbain Walk 2015

14 Desember 2015   19:12 Diperbarui: 12 September 2017   13:46 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Arbaeen Walk 1437H"

Alhamdulillah, niatan yang kami tanam berhasil membuahkan izin, sehingga tahun ini kami sekeluarga mendapat undangan dalam barisan suci ritual duka "Arbain Ya Hussein as" cucu terkasih Rasulullah saw yang syahid di Karbala-Irak.

Peringatan duka 40 hari syahidnya Ya Hussein as atau Arbain sudah menjadi tradisi ratusan tahun kaum muslimin sejak terjadinya tragedi Karbala tahun 61H. Namun beberapa tahun terakhir ini jumlah peziarah melonjak secara fantastis dan mulai memecah rekor jumlah manusia berkumpul secara damai yang dicatat oleh Wikipedia. Bermula pada tahun 2004 ketika Diktator Irak Sadam Husein jatuh, tiba-tiba fenomena langka terjadi, ribuan/jutaan peziarah membeludak ke Karbala. Angka-angka rekor dimulai dengan 5 juta peziarah ke maqam al Hussein di Karbala, hingga tahun lalu mencapai 20 juta peziarah.

Dulu pada masa-masa kepimpinan Khalifah yang dzolim, ziarah karbala sangat dilarang dan bagi yang kedapatan berziarah sembunyi-sembunyi akan dibunuh, namun beberapa saat kemudian hukuman diperingan dengan memotong lengan kanan bagi siapa yang ingin berziarah. Tercatat seorang wanita tua merelakan lengan kirinya untuk dapat ziarah kedua kalinya. Pada tahun 2012an ada tercatat ribuan orang tewas dalam perjalan ziarahnya oleh bom bunuh diri yang dilakukan kaum takfiri wahabi.

Kami tergabung dalam kafilah IJABI (Ikatan Jamaah Pecinta Ahlulbait) rombongan "Arbain Walk 1437H - Angkatan Pertama" dengan bimbingan Ustadz Miftah. Dan pada acara "Mualimatul Safar", ustad Jalal memberikan nasehat yang menyejukkan kepada para peziarah untuk tidak terlalu khawatir terhadap acaman bom ataupun sniper dari kaum takfiri, dengan amal kita yang sedikit ini, hampir tidak mungkin bagi kesyahidan memilih jiwa.

Inilah satu-satunya ritual ibadah yang tidak pernah dilarang untuk dilakukan walaupun dalam pelaksanaanya mengandung resiko dan bahaya.

Perjalanan ziarah duka Abu Abdillah Hussein as dilakukan jutaan kaum muslimin bukan hanya untuk mendapatkan ganjaran pahala 1000 haji dan 1000 umroh, tetapi karena mereka ingin menjawab panggilan Abu Abdillah Hussein as cucu terkasih Rasulullah saw, "tidak adakah dari kalian yang akan datang menolongku?"....semua peziarah menjawab dengan teriakkan dengan rasa cinta "Labbaika Ya Hussein....Labbaika Ya Imam....Labbaika Ya Aba Abdillah"

Inilah ajaran cinta kakeknya Ya Hussein yang disebarkan dengan kasih dan diwujudkan dalam perkhidmatan pada sang kekasih.Ketika kaum muslimin menyambut ajaran sang Nabi saw, maka beliau hanya menutunt upah kepada pengikutnya berupa kecintaan pada Ahlulbaitnya 42:23.

Kafilah kecil kami berangkat dari Indonesia tanggal 23 November 2015 menuju Kualalumpur untuk bergabung dengan kafilah Malaysia menjadikannya 100 orang lebih, dan selanjutnya menuju Najaf-Irak untuk bergabung dengan para peziarah lainya dari 100 negara lebih.

Prosesi acara "Arbain Walk" umumnya dimulai dari Najaf ke Karbala atau dari Maqam Imam Ali kw menuju maqam Imam Hussein as yang berjarak sekitar 90 km. Umumnya prosesi sudah dimulai seminggu atau sepuluh hari sebelum D-Day, walaupun peziarah dari beberapa kota di selatan atau Basrah yang berjarak 600km sudah mulai berjalan kaki dua minggu sebelumnya. Ritual berjalan kaki ini menyambut tradisi panggilan haji dalam Qs 22:27.

Hari pertama ketibaan di Najaf kami melakukan ziarah kepada Amirul Mukminin, sebagai titik awal rangkain Arbain Ya Hussein as, untuk itu kami harus menembus perjalanan kaki 10km pergi/pulang melalui Wadi as Salam perkuburan umat manusia tertua dan terluas didunia. Disinilah bapak umat manusia Adam as, Nuh as, Shaleh as dan Hud as dikuburkan. Ratusan ribu peziarah dalam arah datang dan pergi silih berganti memadati jalan berdebu disana.

Dalam perjalanan Arbain ini, uniknya para ziarah tidak perlu membayar untuk akomodasi, makan dan minum selama perjalanan, semua disediakan secara pribadi oleh masyarakat Irak, para peziarah hanya perlu menyediakan tiket pesawat dari negeri asalnya. Kecintaan mereka kepada Al-Hussein diwujudkan dalam perkhidmatan kepada para peziarah Al-Hussein dengan menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan para peziarah.

Jika Wikipedia mencatat rekord jumlah Peziarah Arbain yang berkumpul di Karbala, mungkin kedepan perlu juga dicatatat jumlah makanan dan minuman yang disediakan 24 jam selama seminggu oleh rakyat Irak dari Najaf sampai ke Karbala menjadikannya jamuan terbesar, terpanjang dan terlama dalam sejarah.

Kami meninggalkan Hauzah/semacam pesantren tempat kami menginap di Najaf, hari sabtu pagi tanggal 28 November 2015 menuju Karbala dengan perkiraan perjalanan selama 4 hari, 3 malam dengan berjalan siang hari sekitar 20 km dan istirahat di malam harinya.

Saat rombongan kami pertama kali berbaur dengan para peziarah Imam Hussein dari negara lain, terasa suasana mistis dan keharuan menyatu mengirigi perjalan menuju arah yang satu. Depakan kaki-kaki yang bergegas, menerbangkan debu keudara menuju arah yang satu. Seakan ada suara yang membisikkan "berjalanlah, menyatulah dalam arus masa kafilah al-Hussein as, agar kamu tidak merasa asing diakhirat nanti".

Kami menggunakan jalan memotong melalui perumahan rakyat, menghindari lalu lalang kendaraan mobil yang kerap menghentikan laju perjalanan peziarah. Dikiri dan kanan jalan para penduduk sibuk menyediakan makan, minuman dan tempat istirahat (Maukib - rumah singgah) bagi para peziarah. Rakyat Irak bekerja setahun penuh mengumpulkan hartanya untuk menjamu seminggu tamu Imam Hussein as. Setiap orang berusaha melayani para peziarah yang diistimewakan, tidak hanya makanan atau minuman, anak-anak kecil membagikan tissue atau hanya sekedar wangi-wangian dan para pemuda menawarkan pijatan bagi kaki-kaki yang lelah berjalan.

Terasa sangat istimewa menjadi peziarah Imam Hussein, sejak dari Bandara Udara ucapan selamat datang kami terima, sepanjang jalan masyarakat menjamu dengan antusias tanpa harap balasan, semua ini karena kecintaan mereka kepada cucu Rasulullah tercinta. Sangat sulit mendapatkan kontak mata dengan para perkhidmat peziarah walaupun untuk sedikit terimakasih. Bagi mereka syafaat dan barokah sang Imam tercinta sudah lebih dari cukup.

Tradisi Arab dalam menjamu para peziarah sudah lama ada dan turun temurun. Abdul Muthalib dan Abu Thalib (Kakek dan paman Nabi saw) keluarga Bani Hasyim adalah pemegang kunci Ka'bah yang selalu menjamu dan melayani para jamaah Haji, mereka menyediakan minuman dan makanan kepada para peziarah yang datang ke Makkah. Hingga sampai pada suatu saat mereka menghadapi masa-masa sulitnya, dan terpaksa menurunkan kuantitas roti dan daging yang disedikan kepada peziarah, mereka memodifikanya menu yang disajikan dengan menambahkan susu didalamnya agar para peziarah tetap merasa kenyang, hingga menu makanan khas roti, susu dan daging ini diberi nama "Hashimit" yang diambil dari nama Bani Hasyim. (source: ustadz Jalal)

Setelah bergelut dengan godaan berbagai makanan dan minuman sepanjang perjalanan, mulai "Iraqi Tea", qurma, coffee dan beberapa kali istirahat untuk mengumpulkan kembali rombongan yang tercecer, akhirnya kami menyentuh Pole-1 di Jalan bebas hambatan. Tiang-1 merupakan bagian tiang penanda yang diberi nomer sampai 1426 sebagai patokan jarak menuju Karbala. Setiap tiangnya berjarak 50m.

Awalnya kami kira ketika bergabung dijalan bebas hambatan dapat menambah kecepatan, namun jalan disebelah kanan yang terdiri jalur cepat dan jalur lambat sudah dipenuhi jutaan peziarah berbaju hitam yang bergerak beriringan. Disisi kiri mobil, bis dan truk harus berbagi jalur untuk dua arah ke Najaf dan Karbala. Disisi kiri luar jalur lambat, digunakan para peziarah dari luar kota untuk memarkirkan ribuan kendaraanya dan melanjutkan berjalan kaki ke Karbala.

Jika dilihat dari langit, betapa tebalnya garis hitam berupa para peziarah yang berbaris berarrak yang menghubungkan titik Najaf-Karbala. Walaupun tidak diliput mainstream media dan diboikot, namun 27 juta peziarah Abu Abdilah Hussein as lebih banyak di saksikan para Malaikat suci dilangit ketimbang manusia dibumi.

Pukul 12.00 kami beristirahat disebuah Masjid di Tiang-100, sudah teredia kasur dan selimut untuk meluruskan badan sambil menunggu makan siang dihidangkan. Disebelah kami, seorang peziarah paruhbaya telungkup merebahkan diri setelah meletakkan barang bawaanya. Tak lama, seorang pemuda datang memberikan pijatan kepadanya. Menjelang azan Zuhur, bapak tua tersebut bangkit dan terlibat perdebatan dengan pemijatnya. Beberapa orang datang merelai namun si bapak tua terlihat menangis sambil menampar pipinya. Sepertinya dia memohon untuk diberi kesempatan untuk membalas kebaikan pemuda arab tersebut namun tidak diberikan. Setelah insiden kecil itu, si bapak tua itu merapikan sorbanya dan ternyata ia menggunakan sorban hitam dan memimpin sholat berjamah. Tak ingin kehilang kesempatan, kami bertabarruk kepadanya yang ternyata seorang ulama yang bersahaja membawa sendiri ransel besarnya walaupun dalam perjalanannya ia didampingi beberapa orang pasdaran.

Perjalanan hari pertama, kami terpaksa melakukan "Early-Stop" untuk bermalam di Tiang-157 pada pukul 15.00 waktu setempat, karena kekhawatiran tidak mendapatkan tempat singgah (Mauqib) yang cukup bagi rombongan yang relatif besar.

Dalam perjalan ini kami didampingi/escorted oleh pengelola Hauzah tempat kami menginap di Najaf dan merekalah yang mempersiapakan strategi perjalan. Analisa tim manajemen perjalanan ternyata rombongan besar ini berjalan lambat dari yang diperkirakan sebelumnya, perjalanan hari pertama hanya menempuh 17,5 km. Diantara pemuda-pemuda ganteng yang berkhidmat mendampingi dan mengatur kami sepanjang perjalanan ternyata mereka juga adalah anggota milisi rakyat Irak yang selalu dikirim ke garis depan menghadapi kaum teroris ISIS/Daesh. 

Mengingat padatnya traffic disiang hari, maka tim menjadwalkan keberangkatan hari kedua dilakukan mulai jam 03.00 pagi dan diakhiri pada Tiang-650. Berjalan di jalur cepat akan lebih baik ketimbang dijalur lambat yang banyak godaan makanan dan minuman, walaupun tetap harus fleksibel dalam berubah-ubah jalur karena sepanjang jalan selalu banyak road-block, ketika orang berhenti atau minum atau menawarkan makanan. Sebagian orang memilih berjalan dibahu jalan mobil yang berlawanan arah seakan bebas hambatan tetapi mengandung resiko bahaya.

Ternyata strategi ini dapat berjalan baik, sebelum waktu subuh, kami sudah dapat mencapai Tiang-300, namun setelah itu godaan datang silih berganti teh hangat dan bubur panas yang disediakan duapuluh empat jam sepanjang jalan membuat kami berhenti beberapa kali.

Kecepatan rata-rata perjalanan dimalam hari bisa mencapai 3 km/jam, namun disiang hari kecepatan maksimal hanya 2,5 km/jam tantanganya adalah berapa kali kita harus berenti dan berapa lama, selebihnya adalah endurance/ketahanan berapa lama kita bisa berjalan dalam sehari. Kecepatan maksimal yang pernah kami lakukan adalah 7,5km dalam 2 jam, sudah termasuk didalamnya stop-by untuk menyantap kebab dan rehat sejenak dengan sebotol cola.

Sejak awal keberangkatan menjadi peziarah al-Hussein terasa membesarkan hati, setiap orang yang bertemu mengucapkan selamat dan turut berbahagia sambil menitipkan salam/doa. Namun pengalaman dalam perjalanan dengan masyarakat Irak mengajarkan cinta yang hakiki bukanlah mengapai Cintai yang egois akan tetapi perkhidmatan kepada orang-orang yang menuju pecintanya. Saya teringat bagaimana pak Yasser ditanah air yang telah berkhidmat mempersiapakan segala sesuatunya untuk keberangkatan peziarah Al-Hussein.

Perkhidmatan rakyat Irak ini telah menginspirasikan, agar kita tidak hanya menjadi peziarah yang dimuliakan akan tetapi kita juga dapat menjadi orang yang melayani/berkhidmat kepada peziarah sebagai ungkapan cinta kepada Al-Husein as.

Sepanjang perjalanan "Arbain Walk" para peziarah membacakan syair-syair duka penderitaan keluarga Nabi saw, sambil memukul-mukul dada dan kepala melepas perihnya duka. Separuh hati ini merasa minder/rendah diri lihatlah mereka telah sejak lahir dan kentalnya kecintaan kepada Ahlulbait, namun sebagian hati ini juga mengucap rasa syukur dengan linangan airmata atas anugerah nikmat Ilahi yang maha agung yang telah mengenalkan Ahlulbait. Tidak perlu khawatir untuk mengucurkan airmata sepanjang perjalanan, bukankah dalam perjalanan itu airmata dan keringat akan mengalir menjadi satu. 

Betapa beruntungnya dan nikmat yang terbesar untuk terpilih menjadi pecinta Ahlulbait Nabi saw, karena para pengikut keluarga Nabi saw disebutkan bahwa mereka diciptakan dari tanah yang berbeda. Mungkin dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah DNA, dan jika dilakukan penelitian, maka para pecinta keluarga Nabi saw itu mungkin mempunyai kombinasi DNA yang tertentu.

Strategi perjalanan hari ketiga dilakukan atas dasar informasi jutaan peziarah yang telah sampai di Karbala dan terbatasnya tempat yang tersedia, sehingga diputuskan untuk membagi menjadi dua grup, pertama untuk Ibu-ibu dan anak-anak akan diangkut melalui bis dan sisanya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mulai jam 03.00 pagi.

Rombongan pejalan kaki berhasil mencapai tujuan di Karrbala setelah menempuh jarak 50km dalam waktu 24 jam atau tiba jam 03.00 pagi pada hari berikutnya. Rombongan yang lain harus berjalan memutar, memasuki kota dari sisi yang lain masih dikuasai pemberontak. Disatu titik cek point, terlihat pihak keamanan sedang membongkar sebuah mobil sedan yang digunakan kaum takfiri untuk melakukan bom bunuh diri. Salah seorang jamaah nyaris tertinggal rombongan sangkin asyiknya memerhatikan pembongkaran tersebut. Padahal pada kasus yang lain, para pembimbing perjalanan kami yang ganteng dan juga anggota milisi itu menceritakan mereka kehilangan 6 orang keluarganya ketika sedang membongkar mobil yang dimuatin bom dan tiba-tiba meledak, dalam kasus ini kami masih beruntung tidak ikut meledak dan menjadi syuhada seperti yang dinasehatkan ustadz Jalal sebelumnya.

Puncak peringatan duka Arbain terjadi pada tanggal 4 Desember 2015 atau 20 Safar 1437, acara terpusat diantara dua maqam suci Al-Hussein as dan Al-Abbas as yang berjarak seperti bukit Safa dan bukit Marwa di Makkah. Doa-doa ziarah dan maktam syair-syair kedukaan dibacakan silih berganti. Akan menjadi sangat mustahil untuk bisa masuk ke dalam masjid besar itu dengan jumlah peziarah puluhan juta. Umumnya doa-doa itu dibacakan dari luar masjid. Dalam kepadatan jutaan peziarah umumnya terjadi desak-desakan, namun dalam setiap kejadian, sudah menjadi tradisi untuk meneriakkan sholawat yang menjadikan desakan mengendur dan memberikan sedikit ruang untuk bernafas.

Kontras dengan pelaksanaan Arbain saat ini, Arbain pada 1376 tahun yang lalu atau pada tahun 61 Hijriah hanya dilakukan sekelompok kecil keluarga Rasulullah yang tersisa dari pembantaian Karbala. Mereka berjalan kaki dari pusat kerajaan Yazid La di Syam (Damaskus) dengan makanan dan minuman yang minim. Airmata duka menemani perjalanan panjang yang meletihkan, Zainab memimpin kafilah keluarga suci Rasulullah saw menuju Karbala sambil membawa 72 potongan kepala abangnya Al-Husein dan para syuhada Karbala. Ia akan mengabungkan setiap kepala-kepala suci itu sebelum menguburkanya.

"Jika dengan mengorbankan jiwaku ini untuk menegakkan Agama Kakekku maka, aku rela mengorbankan jiwaku ini" - Hussein bin Ali

Semoga prosesi Arbain-Walk sebagai toggak tegakknya agama kakeknya Al-Hussein!!!

Labbaikka Ya Hussein....!!!
Labbaikka Ya Hussein....!!!
Labbaikka Ya Hussein....!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun