Perjalanan hari pertama, kami terpaksa melakukan "Early-Stop" untuk bermalam di Tiang-157 pada pukul 15.00 waktu setempat, karena kekhawatiran tidak mendapatkan tempat singgah (Mauqib) yang cukup bagi rombongan yang relatif besar.
Dalam perjalan ini kami didampingi/escorted oleh pengelola Hauzah tempat kami menginap di Najaf dan merekalah yang mempersiapakan strategi perjalan. Analisa tim manajemen perjalanan ternyata rombongan besar ini berjalan lambat dari yang diperkirakan sebelumnya, perjalanan hari pertama hanya menempuh 17,5 km. Diantara pemuda-pemuda ganteng yang berkhidmat mendampingi dan mengatur kami sepanjang perjalanan ternyata mereka juga adalah anggota milisi rakyat Irak yang selalu dikirim ke garis depan menghadapi kaum teroris ISIS/Daesh.
Mengingat padatnya traffic disiang hari, maka tim menjadwalkan keberangkatan hari kedua dilakukan mulai jam 03.00 pagi dan diakhiri pada Tiang-650. Berjalan di jalur cepat akan lebih baik ketimbang dijalur lambat yang banyak godaan makanan dan minuman, walaupun tetap harus fleksibel dalam berubah-ubah jalur karena sepanjang jalan selalu banyak road-block, ketika orang berhenti atau minum atau menawarkan makanan. Sebagian orang memilih berjalan dibahu jalan mobil yang berlawanan arah seakan bebas hambatan tetapi mengandung resiko bahaya.
Ternyata strategi ini dapat berjalan baik, sebelum waktu subuh, kami sudah dapat mencapai Tiang-300, namun setelah itu godaan datang silih berganti teh hangat dan bubur panas yang disediakan duapuluh empat jam sepanjang jalan membuat kami berhenti beberapa kali.
Kecepatan rata-rata perjalanan dimalam hari bisa mencapai 3 km/jam, namun disiang hari kecepatan maksimal hanya 2,5 km/jam tantanganya adalah berapa kali kita harus berenti dan berapa lama, selebihnya adalah endurance/ketahanan berapa lama kita bisa berjalan dalam sehari. Kecepatan maksimal yang pernah kami lakukan adalah 7,5km dalam 2 jam, sudah termasuk didalamnya stop-by untuk menyantap kebab dan rehat sejenak dengan sebotol cola.
Sejak awal keberangkatan menjadi peziarah al-Hussein terasa membesarkan hati, setiap orang yang bertemu mengucapkan selamat dan turut berbahagia sambil menitipkan salam/doa. Namun pengalaman dalam perjalanan dengan masyarakat Irak mengajarkan cinta yang hakiki bukanlah mengapai Cintai yang egois akan tetapi perkhidmatan kepada orang-orang yang menuju pecintanya. Saya teringat bagaimana pak Yasser ditanah air yang telah berkhidmat mempersiapakan segala sesuatunya untuk keberangkatan peziarah Al-Hussein.
Perkhidmatan rakyat Irak ini telah menginspirasikan, agar kita tidak hanya menjadi peziarah yang dimuliakan akan tetapi kita juga dapat menjadi orang yang melayani/berkhidmat kepada peziarah sebagai ungkapan cinta kepada Al-Husein as.
Sepanjang perjalanan "Arbain Walk" para peziarah membacakan syair-syair duka penderitaan keluarga Nabi saw, sambil memukul-mukul dada dan kepala melepas perihnya duka. Separuh hati ini merasa minder/rendah diri lihatlah mereka telah sejak lahir dan kentalnya kecintaan kepada Ahlulbait, namun sebagian hati ini juga mengucap rasa syukur dengan linangan airmata atas anugerah nikmat Ilahi yang maha agung yang telah mengenalkan Ahlulbait. Tidak perlu khawatir untuk mengucurkan airmata sepanjang perjalanan, bukankah dalam perjalanan itu airmata dan keringat akan mengalir menjadi satu.
Betapa beruntungnya dan nikmat yang terbesar untuk terpilih menjadi pecinta Ahlulbait Nabi saw, karena para pengikut keluarga Nabi saw disebutkan bahwa mereka diciptakan dari tanah yang berbeda. Mungkin dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah DNA, dan jika dilakukan penelitian, maka para pecinta keluarga Nabi saw itu mungkin mempunyai kombinasi DNA yang tertentu.
Strategi perjalanan hari ketiga dilakukan atas dasar informasi jutaan peziarah yang telah sampai di Karbala dan terbatasnya tempat yang tersedia, sehingga diputuskan untuk membagi menjadi dua grup, pertama untuk Ibu-ibu dan anak-anak akan diangkut melalui bis dan sisanya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mulai jam 03.00 pagi.
Rombongan pejalan kaki berhasil mencapai tujuan di Karrbala setelah menempuh jarak 50km dalam waktu 24 jam atau tiba jam 03.00 pagi pada hari berikutnya. Rombongan yang lain harus berjalan memutar, memasuki kota dari sisi yang lain masih dikuasai pemberontak. Disatu titik cek point, terlihat pihak keamanan sedang membongkar sebuah mobil sedan yang digunakan kaum takfiri untuk melakukan bom bunuh diri. Salah seorang jamaah nyaris tertinggal rombongan sangkin asyiknya memerhatikan pembongkaran tersebut. Padahal pada kasus yang lain, para pembimbing perjalanan kami yang ganteng dan juga anggota milisi itu menceritakan mereka kehilangan 6 orang keluarganya ketika sedang membongkar mobil yang dimuatin bom dan tiba-tiba meledak, dalam kasus ini kami masih beruntung tidak ikut meledak dan menjadi syuhada seperti yang dinasehatkan ustadz Jalal sebelumnya.