Dalam perjalanan Arbain ini, uniknya para ziarah tidak perlu membayar untuk akomodasi, makan dan minum selama perjalanan, semua disediakan secara pribadi oleh masyarakat Irak, para peziarah hanya perlu menyediakan tiket pesawat dari negeri asalnya. Kecintaan mereka kepada Al-Hussein diwujudkan dalam perkhidmatan kepada para peziarah Al-Hussein dengan menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan para peziarah.
Jika Wikipedia mencatat rekord jumlah Peziarah Arbain yang berkumpul di Karbala, mungkin kedepan perlu juga dicatatat jumlah makanan dan minuman yang disediakan 24 jam selama seminggu oleh rakyat Irak dari Najaf sampai ke Karbala menjadikannya jamuan terbesar, terpanjang dan terlama dalam sejarah.
Kami meninggalkan Hauzah/semacam pesantren tempat kami menginap di Najaf, hari sabtu pagi tanggal 28 November 2015 menuju Karbala dengan perkiraan perjalanan selama 4 hari, 3 malam dengan berjalan siang hari sekitar 20 km dan istirahat di malam harinya.
Saat rombongan kami pertama kali berbaur dengan para peziarah Imam Hussein dari negara lain, terasa suasana mistis dan keharuan menyatu mengirigi perjalan menuju arah yang satu. Depakan kaki-kaki yang bergegas, menerbangkan debu keudara menuju arah yang satu. Seakan ada suara yang membisikkan "berjalanlah, menyatulah dalam arus masa kafilah al-Hussein as, agar kamu tidak merasa asing diakhirat nanti".
Kami menggunakan jalan memotong melalui perumahan rakyat, menghindari lalu lalang kendaraan mobil yang kerap menghentikan laju perjalanan peziarah. Dikiri dan kanan jalan para penduduk sibuk menyediakan makan, minuman dan tempat istirahat (Maukib - rumah singgah) bagi para peziarah. Rakyat Irak bekerja setahun penuh mengumpulkan hartanya untuk menjamu seminggu tamu Imam Hussein as. Setiap orang berusaha melayani para peziarah yang diistimewakan, tidak hanya makanan atau minuman, anak-anak kecil membagikan tissue atau hanya sekedar wangi-wangian dan para pemuda menawarkan pijatan bagi kaki-kaki yang lelah berjalan.
Terasa sangat istimewa menjadi peziarah Imam Hussein, sejak dari Bandara Udara ucapan selamat datang kami terima, sepanjang jalan masyarakat menjamu dengan antusias tanpa harap balasan, semua ini karena kecintaan mereka kepada cucu Rasulullah tercinta. Sangat sulit mendapatkan kontak mata dengan para perkhidmat peziarah walaupun untuk sedikit terimakasih. Bagi mereka syafaat dan barokah sang Imam tercinta sudah lebih dari cukup.
Tradisi Arab dalam menjamu para peziarah sudah lama ada dan turun temurun. Abdul Muthalib dan Abu Thalib (Kakek dan paman Nabi saw) keluarga Bani Hasyim adalah pemegang kunci Ka'bah yang selalu menjamu dan melayani para jamaah Haji, mereka menyediakan minuman dan makanan kepada para peziarah yang datang ke Makkah. Hingga sampai pada suatu saat mereka menghadapi masa-masa sulitnya, dan terpaksa menurunkan kuantitas roti dan daging yang disedikan kepada peziarah, mereka memodifikanya menu yang disajikan dengan menambahkan susu didalamnya agar para peziarah tetap merasa kenyang, hingga menu makanan khas roti, susu dan daging ini diberi nama "Hashimit" yang diambil dari nama Bani Hasyim. (source: ustadz Jalal)
Setelah bergelut dengan godaan berbagai makanan dan minuman sepanjang perjalanan, mulai "Iraqi Tea", qurma, coffee dan beberapa kali istirahat untuk mengumpulkan kembali rombongan yang tercecer, akhirnya kami menyentuh Pole-1 di Jalan bebas hambatan. Tiang-1 merupakan bagian tiang penanda yang diberi nomer sampai 1426 sebagai patokan jarak menuju Karbala. Setiap tiangnya berjarak 50m.
Awalnya kami kira ketika bergabung dijalan bebas hambatan dapat menambah kecepatan, namun jalan disebelah kanan yang terdiri jalur cepat dan jalur lambat sudah dipenuhi jutaan peziarah berbaju hitam yang bergerak beriringan. Disisi kiri mobil, bis dan truk harus berbagi jalur untuk dua arah ke Najaf dan Karbala. Disisi kiri luar jalur lambat, digunakan para peziarah dari luar kota untuk memarkirkan ribuan kendaraanya dan melanjutkan berjalan kaki ke Karbala.
Jika dilihat dari langit, betapa tebalnya garis hitam berupa para peziarah yang berbaris berarrak yang menghubungkan titik Najaf-Karbala. Walaupun tidak diliput mainstream media dan diboikot, namun 27 juta peziarah Abu Abdilah Hussein as lebih banyak di saksikan para Malaikat suci dilangit ketimbang manusia dibumi.
Pukul 12.00 kami beristirahat disebuah Masjid di Tiang-100, sudah teredia kasur dan selimut untuk meluruskan badan sambil menunggu makan siang dihidangkan. Disebelah kami, seorang peziarah paruhbaya telungkup merebahkan diri setelah meletakkan barang bawaanya. Tak lama, seorang pemuda datang memberikan pijatan kepadanya. Menjelang azan Zuhur, bapak tua tersebut bangkit dan terlibat perdebatan dengan pemijatnya. Beberapa orang datang merelai namun si bapak tua terlihat menangis sambil menampar pipinya. Sepertinya dia memohon untuk diberi kesempatan untuk membalas kebaikan pemuda arab tersebut namun tidak diberikan. Setelah insiden kecil itu, si bapak tua itu merapikan sorbanya dan ternyata ia menggunakan sorban hitam dan memimpin sholat berjamah. Tak ingin kehilang kesempatan, kami bertabarruk kepadanya yang ternyata seorang ulama yang bersahaja membawa sendiri ransel besarnya walaupun dalam perjalanannya ia didampingi beberapa orang pasdaran.