SOGA, Batik Solo dan Jogja
© 533ND
5-10-2015
Pagi itu tanggal 2 Oktober 2015, sambil merapikan pakaianku kedalam koper dan bersiap kembali Bandara, TV yang terus menyala semalaman menemanin tidur menyiarkan peringatan hari batik Nasional.
UNESCO telah menetapkan Batik Nusantara sebagai“Masterpieces of the Oral and Intagible Heritage of Humanity”sejak 2009 dengan Jogja sebagai kota Batiknya.
Tersadarku betapa pentingnya menghargai peninggalan leluhur bangsa, bersegera mengganti t-shirt berlambang Atlanta Baseball yang baru saja kukenakan dengan kemeja batik bernuasa coklat kuning. Dalam perjalanan menuju bandara Adisucipto pak Sopir Taxi menawarkan kalau-kalau aku ingin mampir sebentar berbelanja Batik di toko “Soga” khas Solo.
Bukankah kita sedang di Jogja pak, mengapa mencari Batik khas Solo? kataku. Batik khas Solo sangat disukai para turis karena kualitasnya yang baik dan harganya terjangkau’, jawabnya. Kira-kira apa perbedaan yang khas batik Solo dengan batik Jogja pak? tanyaku, Batik Solo umumnya bermotif kecil-kecil yang disebut "Truntum" dan batik Jogja motifnya cenderung lebih besar, katanya.
Menurut pak sopir, toko batik “Soga” merupakan toko batik terkenal dan terbesar di Solo. "Soga"? artinya apa yaa pak? tanyaku. Nama itu diambil dari nama pohon kayu besar yang berbunga kuning, kayunya dipotong kecil-kecil kemudian direbus sebagai bahan pewarna kain batik menjadi coklat dan kekuningann, jelasnya.
Sebagai penghormatan pada hari Batik Nasional, mari lebih sedikit kita mengenal berbagai keindahan makna dan filosofis kain Batik. Kata "Batik" diambil dari dua gabungan kata bahasa Jawa, "Amba" dan "Titik" yang berarti menulis/mengambar titik. Teknik menulis atau melukis batik sangat berbeda dengan teknik melukis konvesional yang memberi warna langsung pada objek lukisan/kain. Membatik adalah melukis pada kain untuk menutupi warna utama dengan menggunakan malam (wax-lilin) kemudian memberikan warna latarnya pada proses pencelupan.
Batik Sogan adalah kain batik yang didominasi oleh warna coklat yang menggunakan pewarna dari kayu soga. Batik Sogan yang berwarna coklat ini bersifat klasik dan abadi karena tetap digemari dari masa kemasa. Warna coklat ini sebagai perlambang kesederhanaan dan kerendahatian dalam kehidupan.
Batik Sogan, menjadi ciri khas batik Keraton dari Jogja dan Solo. Daerah pesisir pantai utara Jawa seperti Pekalongan, Cirebon dan Semarang banyak menggunakan warna-warna cerah seperti merah, kuning dan biru.
Sedikit perbedaan warna batik Sogan Jogja didominasi warna hitam dan putih, sementara batik Sogan Solo didominasi warna hitam dan kecoklatan
Legenda Cinta dibalik Batik; Dahulu pada lingkungan keraton ada bagian perbekalan yang bertugas mempersiapkan pakaian prajurit dan panglima. Raja sangat terkesan dengan berbagai corak kain yang digunakan para pasukannya, sehingga beliau minta dibuatkan juga baju pasukan untuknya yang dapat membuatnya merasa menyatu dengan para prajuritnya.
Raja sangat terpesona dengan keindahan baju batiknya dan mendatangi pusat pembuatan batik tersebut. Dia mendapati ternyata pembuat desain dan corak batik yang indah itu adalah seorang putri yang tekun dan pintar. Akhirnya beliau meminangnya untuk menjadi Ratu.
Kemudian sang Ratu mendisain motif batik yang terusun diagonal yang ditulis dari sisi bawah keatas yang mempunyai makna bahwa pemakainya memiliki garis keturunan raja, motif ini dikenal dengan nama Parang Kusuma.
Corak atau Motif batik mempunyai makna dan pesannya tersendiri bagi sipemakainya.
Batik Kawung; biasanya dipakai oleh Raja dan kalangan Istana sebagai lambang keperkasaan dan keadilan.
Batik Parang Kusuma; digunakan pada saat tukar cincin dan diharapkan menjadi seperti bunga yang mekar indah.
Batik Truntum; dipakai saat pernikahan, diharapkan orang tua bisa menuntun calon pengantinnya.
Batik Tambal; berupa kain panjang yang digunakan sebagai selimut yang dipakai pada si sakit agar segera sembuh.
Batik Pamiloto; berupa kain panjang yang digunakan pada saat pertunangan dan diharapkan menjadi perekat hubungan keduanya.
Dlam falsafah Hindu-Jawa, motif batik dengan berbagai makna, seperti Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi, Meru melambangkan gunung, Naga melambangkan air, Burung melambangkan dunia atas, Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Kalau ditarik jauh kebelakang mungkin kegiatan membatik sudah ada sebagai warisan nenek moyang kita dulu. Namun istilah kata Batik sebagai simbol/pesan mulai dipopulerkan sejak zaman penjajahan Belanda. Para ulama yang tertindas menggunakan strategi komunikasi diantara mereka dengan menulis titik (amba titik) pada kain batik untuk mengirim pesan perjuangannya.
Ide ini diambil oleh para ulama nusantara yang terinspirasi dari kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib yang mengisyaratkan penggunaan titik pada simbol-simbol perjuangannya: "Aku adalah titik dibawah huruf ba dalam Basmalah"
Huruf "Ba" sangat penting karena merupakan huruf awal dari kalimat "Bismilaahirrohmaanirrohiim" seperti yang tertera pada bagian pangkal dari batik bendera Cirebon, yang mempunyai arti “dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Menurut kalangan tarekat Cirebon, kata "Batik" merupakan singkatan dari "Ba Titike ning esor" dengan makna "Bagiya sing Andhap Asor".
Makna dan arti dari peribahasa jawa tersebut adalah, huruf "Ba" (huruf kedua hijaiyah Arab) mempunyai Titik pada bagian bawahnya, Berbahagialah orang yang berlaku rendah hati.
Akhirnya, warna Coklat SOGA dan huruf BA dalam filosofi BATIK keduanya mengajarkan kita pada kesederhanaan dan rendah hati untuk mendapatkan hidup BAHAGIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H