Mohon tunggu...
HARDIANTO CANDRA
HARDIANTO CANDRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.Ak

NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.AK Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Peprajakan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus: Kritik Pajak Samin Surosentiko

22 Desember 2023   14:39 Diperbarui: 22 Desember 2023   14:44 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pribadi hardi

Ajaran Saminisme bermula dari seorang tokoh Jawa bernama Raden Soerodipo atau dikenal dengan sebutan Samin Surosentiko. Ia lahir di Jawa Timur pada awal abad ke-19. Samin Surosentiko adalah seorang yang sangat spiritual dan memiliki pandangan yang khas terhadap agama, kehidupan, serta hubungan sosial.

Ajaran Saminisme berkembang sebagai reaksi terhadap kondisi sosial-politik yang ada pada zamannya, terutama terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dianggapnya tidak adil. Saminisme mengusung prinsip-prinsip keadilan sosial, kesederhanaan, dan kesetaraan di antara semua manusia.

Salah satu aspek penting dari ajaran Saminisme adalah konsep "ngelmu iku laku" yang berarti "ilmu itu adalah praktek". Mereka percaya bahwa kebenaran sejati dapat ditemukan melalui pengalaman langsung, bukan hanya dari pengetahuan yang diberikan oleh orang lain atau lewat buku.

Selain itu, Samin Surosentiko juga mengajarkan tentang pentingnya hidup dalam kesederhanaan, menolak kekerasan, dan menanamkan nilai-nilai kesetaraan di antara semua manusia. Ajaran Saminisme juga mempunyai elemen-elemen kepercayaan lokal yang berkaitan dengan alam dan keseimbangan hidup.

Pemerintah kolonial pada masa itu melihat ajaran Saminisme sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka karena ajaran ini menolak membayar pajak dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Hal ini menyebabkan Samin Surosentiko dan para pengikutnya mengalami penindasan serta penganiayaan.

Meskipun Saminisme tidak menjadi agama resmi di Indonesia, ajaran-ajaran tersebut tetap bertahan dan memiliki pengaruh dalam pemikiran sosial dan spiritual di masyarakat Jawa. Saminisme menjadi bagian dari sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan dan penjajahan di Indonesia.

Dalam ajaran Saminisme, konsep pajak memiliki peran yang signifikan karena menjadi salah satu poin utama yang memicu konflik dengan pemerintah kolonial Belanda pada masanya. Para pengikut Saminisme menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial dengan alasan bahwa mereka merasa tidak mendapatkan manfaat atau perlindungan yang layak dari pajak yang mereka bayar.

Mereka percaya bahwa tanah adalah milik bersama dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Oleh karena itu, mereka menolak membayar pajak atas tanah yang mereka anggap sebagai milik bersama masyarakat, bukan milik pribadi yang harus dipajaki.

Pandangan Saminisme terhadap pajak ini dianggap sebagai ancaman serius bagi otoritas kolonial pada saat itu. Penolakan mereka untuk membayar pajak menjadi salah satu alasan utama pemerintah kolonial untuk menindas dan menganiaya para pengikut Saminisme.

Konflik terkait pajak menjadi bagian penting dari perlawanan Samin Surosentiko dan para pengikutnya terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan di bawah pemerintahan kolonial. Hal ini menjadi salah satu elemen yang memperkuat perlawanan mereka terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil.

Salah satu penyebab utama kelompok Saminisme menolak membayar pajak adalah karena pandangan mereka terhadap kepemilikan tanah. Mereka mempercayai bahwa tanah adalah milik bersama masyarakat dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Pemungutan pajak atas tanah dianggap sebagai legitimasi dari sistem kepemilikan tanah pribadi yang bertentangan dengan keyakinan mereka akan kepemilikan bersama.

Selain itu, para pengikut Samin Surosentiko merasa bahwa pajak yang mereka bayar tidak memberikan manfaat yang layak atau perlindungan yang cukup dari pemerintah. Mereka tidak melihat adanya imbalan yang sepadan dari pajak yang mereka bayarkan, yang menimbulkan ketidakpuasan terhadap sistem pajak yang dianggap tidak adil.

Selain aspek kepemilikan tanah dan ketidakpuasan terhadap manfaat yang diperoleh dari pajak, ada juga elemen perlawanan terhadap otoritas kolonial Belanda. Penolakan membayar pajak oleh kelompok Saminisme dianggap sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang dianggap tidak adil dan tidak mewakili kepentingan mereka.

Jadi, ada beberapa faktor yang memengaruhi penolakan kelompok Saminisme untuk membayar pajak, termasuk keyakinan akan kepemilikan tanah sebagai milik bersama, ketidakpuasan terhadap manfaat pajak, dan sebagai bagian dari perlawanan terhadap otoritas kolonial yang dianggap tidak adil.

Sedangkan diindonesia sendiri pajak merupakan  kontribusi wajib bagi setiap waga negara di Indonesia yang sudah memenuhi ketentuan syarat subjektif dan objektif sebagai pelaksana kewajiban dan juga memiliki sifat memaksa dimana kewjaiban tersebut harus dilakukan sesuai yang telah di regulasikan melalui undang undang. Juga pembayaran pajak memiliki sifat bahwa timbal balik dari pembayaran pajak tidak dapat dirasakan secara langsung. Bilamana membangkang maka hal tersebut telah melanggar aturan yang telah di undang-undangkan itu sendiri.

Pemikiran kritis dengan menggunakan teori Actus Reus dan Mens Rea dalam konteks perjuangan ideologi Samin Surosentiko terhadap perpajakan dapat menjadi analisis yang menarik.

Actus reus dan mens rea adalah konsep fundamental dalam hukum pidana yang menetapkan dua elemen penting dari suatu kejahatan: tindakan fisik dan keadaan mental.

Actus Reus: Istilah Latin ini mengacu pada "tindakan bersalah" atau tindakan fisik atau perilaku yang merupakan bagian dari suatu pelanggaran. Ini melibatkan pelaksanaan sukarela dari tindakan melanggar hukum atau kelalaian dalam melakukan tindakan yang diwajibkan secara hukum. Misalnya, dalam kasus pencurian, actus reus akan menjadi pengambilan properti orang lain tanpa izin mereka.

Mens Rea: Juga berasal dari bahasa Latin, istilah ini berarti "pikiran bersalah" dan mengacu pada keadaan mental atau niat di balik tindakan. Ini melibatkan keadaan pikiran individu saat melakukan tindakan tersebut. Mens rea dapat bervariasi mulai dari perilaku yang disengaja (dengan sengaja melakukan tindakan) hingga kelalaian atau kecerobohan (mengetahui risiko atau gagal meramalkan konsekuensi).

Bagaimana bila kita kaitkan dalam kontek perpajakan dalam pembahasan konteks perjuangan ideologi samin surosentiko.

Dalam konteks Samin Surosentiko, tindakan nyata atau Actus Reus bisa dikaitkan dengan penolakan mereka untuk membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Tindakan ini merupakan manifestasi nyata dari keyakinan mereka terhadap kepemilikan tanah sebagai milik bersama yang menentang konsep pajak atas tanah yang dianggap sebagai kepemilikan pribadi. Tindakan fisik ini menjadi bukti konkret dari perlawanan mereka terhadap aturan hukum pajak yang diterapkan oleh otoritas kolonial.

Mens Rea mengacu pada niat dan kesadaran seseorang dalam melakukan tindakan tertentu. Dalam kasus Samin Surosentiko, Mens Rea bisa diinterpretasikan sebagai kesadaran mereka akan penolakan terhadap sistem pajak yang dianggap tidak adil. Mereka secara sadar menentang sistem pajak yang bertentangan dengan keyakinan mereka akan kepemilikan tanah sebagai milik bersama serta pandangan mereka tentang keadilan sosial.

Dari perspektif hukum, analisis Actus Reus dan Mens Rea dalam konteks perjuangan ideologi Samin Surosentiko menggambarkan bahwa penolakan mereka untuk membayar pajak adalah tindakan yang terencana dan disertai dengan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan tersebut. Mereka secara sadar menolak untuk patuh terhadap sistem pajak yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang mereka anut.

Namun, perlu diingat bahwa interpretasi hukum modern mungkin tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada konteks sejarah dan perjuangan ideologi Saminisme. Analisis ini lebih sebagai usaha untuk memahami sudut pandang hukum terhadap tindakan penolakan membayar pajak yang dilakukan oleh Samin Surosentiko dan pengikutnya dalam konteks waktu dan ideologi mereka.

Dalam konteks perjuangan ideologi Samin Surosentiko terhadap perpajakan, pemikiran kritis dapat diterapkan dengan menggunakan teori "A" yang mungkin mengacu pada beberapa konsep atau prinsip yang relevan seperti "Adaptasi", "Autonomi", atau "Aksi" terkait perpajakan.

Dalam hal Adaptasi terhadap Sistem Pajak, Kritik dapat difokuskan pada kurangnya adaptasi atau kesesuaian sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dengan nilai-nilai dan pandangan Saminisme. Penolakan mereka untuk membayar pajak mungkin sebagian besar karena sistem tersebut tidak mengakomodasi keyakinan mereka akan kepemilikan tanah sebagai milik bersama. Dalam pemikiran kritis, bisa disoroti bahwa sistem pajak yang terlalu kaku atau tidak beradaptasi dengan kebutuhan atau keyakinan masyarakat bisa menjadi sumber konflik sosial.

Lalu Autonomi dalam Pajak Lokal, Pemikiran kritis dapat menyoroti perlunya autonomi atau kebebasan dalam penerapan sistem pajak lokal. Masyarakat Saminisme mungkin memiliki sistem internal yang berbeda dalam membagi sumber daya atau mengelola pajak yang lebih sesuai dengan keyakinan mereka. Kritik dapat menggarisbawahi pentingnya memberikan otonomi kepada masyarakat dalam menentukan bagaimana sistem pajak lokal dikelola, sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan pajak nasional.

Dan Aksi sebagai Manifestasi Ideologi, Pemikiran kritis juga dapat memandang penolakan membayar pajak sebagai bentuk aksi atau tindakan yang merefleksikan perjuangan ideologi Saminisme terhadap ketidakadilan yang dirasakan. Ini bukan hanya tentang penolakan membayar, tetapi juga sebagai simbol atau pernyataan terhadap sistem yang dianggap tidak adil dan bertentangan dengan nilai-nilai mereka.

Pemikiran kritis dalam hal perpajakan terkait perjuangan Samin Surosentiko dapat menyoroti pentingnya fleksibilitas, adaptasi, dan otonomi dalam sistem pajak yang memungkinkan inklusi nilai-nilai atau keyakinan lokal. Ini juga dapat menyoroti bagaimana tindakan penolakan membayar pajak bukan hanya masalah finansial semata, tetapi juga sebagai bagian dari perjuangan ideologis yang lebih luas untuk keadilan dan kesetaraan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun