Apakah yang bisa ditandai saat dunia berlari begini cepat
sebelum semuanya sempat mencatatnya, segalanya bergegas melompat
semua jadi nisbi. Masa lalu, hiruk-pikuk global, ketabuan dan keterbukaan
diaduk dalam piring seng. Omong kosong jadi kitab primbon dipercaya sakti dan keramat.
Latas, bagaimana wajah anak-anak kita?
Â
Fira, sebagai penyair yang hidup menjagai waktu
aku wajib bertanya, bagaimana wajah anak-anak kita
di tengah hiruk-pikuk kebohong, di tengah simpang-siur orang berganti-ganti topeng
dan sihir ekonomi menenung siapa saja dengan begitu miris dan mengerikan
sedang aku tak tahu pasti, masihkah kelak puisi-puisi sanggup tetap menjaga nurani
fira, istriku, apakah kau pernah bertanya
apa arti kita-kitab itu, pengetahuan-pengetahuan itu bagi anak-anak kita?
aku takut, mereka akan sperti socrates yang termangu sendiri di teras rumahnya
sedang orang-orang berduyun silau terpesona uang dan jabatan
apakah kitab-kitab itu bisa menjadikannya lebih agung dan terhormat?
sedang di sisi lain, dasi, kursi dan mobil lebih pantas dihitung dibanding otak dan nurani!
fira, kegamangannku ini bukan berarti ketakutan.
ini hanyalah kesadaran untuk membuat jiwa waspada,
teguh dalam sikap. Indonesia ini barangkali memang bukan tama
yang permai bagi tumbuhnya anak-anak kita, socrates-socrates muda kita.
tapi, janganlah takut dalam kemiskinan dan kesendirian
karena dalam bilik itu kelak akan kita lahirkan pemimpi-pemimpi baru.
dan besok yang jauh, fira, kita akan melihat
anak-anak kita, socrates-socrates itu
akan turut memberi tanda pada Indonesia yang berlari!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI