Sastra merupakan strukturasi dan ekspresi pengalaman. Itu berarti setiap karya sastra merupakan upaya membagi pengalaman sastrawan dengan pembacanya. Yang dimaksud pengalaman dalam prposes kreatif sastra mengacu pada dua hal yaitu pengalaman realita yaitu bagaimana satrawan dalam menghayati realita dan pengalaman puitik yaitu bagaimana penghayatan kreatif atas pengalaman realita tersebut.
Sastra memang tak mungkin diceraikan dari realitas. Sastra lahir sebagai karya kreatif yang muncul sebagai pengalaman putik saat sastrawan kuyup dalam realitas di sekelilingnya. Oleh karena itu sastra apapun genrenya selalu menyiratkan budaya, fenomena, kenyataan, peradaban yang mengelilingi sastrawan penciptanya. Pendek kata setiap teks sastra merupakan perwujudan atau hasil dari pengaruh timbal balik, refleksi, pandangan sastrawan atas pelbagai situasi, keadaan, dan fenomena sosial dan kultural.
Dalam genre puisi, penghayatan atas pengalaman itu dibagi kembali kepada para pembaca melalui citraan atau imaji. Pengalaman tersebut dilahirkan kembali dengan kreatif melalui berbagai imaji atau citraan dan diramu dengan kekuatan intrinsik puisi lainnya. Maka pengalaman itu dibagi kembali dalam wujud yang lain yaitu estetika puisi.
Tema-tema dalam puisi selalu bermula dari pelbagai fenomena, kenyataan dan persoalan yang dihadapi penyairnya. Fenomena, kenyataan, dan persoalan itu bisa konkrit ataupun bisa sangat abstrak bahkan absurd. Fenomena-fenomena abstrak itu antara lain persoalan kematian, cinta, derita, waktu, dan sebagainya. Adapun fenomena-fenomena konkrit bisa berupa kemiskinan, ketakutan, peperangan, kelaparan, penindasan, dan lain sebagainya.
Fenomena-fenomena itulah (baik yang abstrak maupun konkret) dikatakan oleh Mary Louise Pratt sebagai peristiwa ujaran yang bergantung pada konteksnya (contextdependentspeechevent). Hal ini menegaskan bahwa Sastra merupakan peristiwa ujaran yang bergantung pada konteksnya. Itu berarti menunjukkan bahwa untuk memahami sastra perlu dikuasai dua hal yaitu konvensi sosial dan konvensi bahasa sastra.
Dari sekian tema-tema puisi, tema berkait waktu banyak merangsang para penyair. Waktu menjadi daya tarik yang hebat bagi penyair. Bahkan waktu menjadi persoalan paling misteri dalam anggapan penyair. Waktu di sini tidak sekedar merujuk pada makna denotatif namun harus dimaknai sebagai waktu alam yang tanpa batas.
Tak heran waktu memiliki daya pulau tersendiri bagi para penyair. Filosof Martin Heidegger bahkan mengatakan bahwa dimensi dasar eksistensi manusia adalah waktu. Terminologi fenomenologi disebutkan bahwa waktu identik dengan hal mengada dan mengacu pada bentangan sudah, sekarang, dan nanti.Waktu tak hanya berhenti pada arti sebagai batasantara "sudah" dan "nanti" melainkan lebih menukik ke kedalaman aktualitas dan keabadian.
Begitu pentingnya waktu bagi manusia tampak pada bagaimana mereka dalam perilaku sosial dan budaya selalu merayakan waktu. Masyarakat tradisional dan masyarakat modern memiliki kecenderungan merayakan waktu, walau dengan cara berbeda bahkan bertolak belakang. Masyarakat tradisi merayakan waktu dengan cara yang mistis, penuh ritual dalam menyongsong pergantian tahun. Adapun masyarakat modern merayakan pergantian waktu di tahun baru dengan tradisi pesta.
Lalu bagaimanakah para penyair dalam menghikmat waktu di pergantian tahun?
Tentu saja para penyair memiliki beragam cara dalam menghayati pergantian waktu. Rendra melalui puisinya Justru Pada Akhir Tahun mengungkapkan bahwa di saat pergantian tahun, maka manusia justru beringsut menuju peti matinya dan tak akan mampu menangis lagi. Justru di pergantian tahun, manusia akan didera rasa takut dan merasakan kehilangan. Rasa takut dan rasa kehilangan itu akan menjadikan diri manusia asing pada dirinya dan hidupnya sendiri:
Justru Pada Akhir Tahun