Selepas dari problem siapa penerjemahnya, problem lain yaitu teknis penerjemahan teks sastra yang memiliki derajat kesulitan yang tinggi. Beberapa kosa kata dalam sastra Indonesia, lebih-lebih sastra Indonesia berbahasa daerah, memiliki karakteristik, nilai emotif, nilai estetis, daya ungkap yang tak bisa tergantikan dalam bahasa asing.
Setelah selesai proses penerjemahahan teks, persoalan belum rampung. Penerbit yang sudi menerbitkan karya-karya sastra terjemahan  dalam bahasa asing masih menjadi mahluk langka.
Menjawab persoalan tersebut, maka menajankan sastra Indonesia ke publik manca bisa diambil alih oleh negara. Apalagi kalau negara memandang bahwa melalu sastra bisa menjadi alat dari diplomasi kultural. Negara harus menambah lembaga-lembaga resmi penerjemahan, Â sekalgus memrogramkan penerjemahan besar-besaran Dengan kurasi yang tepat . Memang resikonya, campur tangan negara akan memunculkan sensor ideologi, politik dan faktor eksternal lain. Resikonya nanti karya yang diterjemahkan sangat ditentukan faktor interNal utamanya politik dan ideologi.
Memajankan sastra Indonesia ke publik dunia sebenarnya bisa dilakukan secara personal dan manditi oleh sastrawannya. Syarat mutlaknya, sastrawan tersebut harus mampu mengalahkan pasar dengan menjalin jaringan melalui agen. Persoalannya keterlibatan agen dalam produksi sastra Indonesia masih merupakan mahluk asing dan langka. Untuk  melibatkan agen dibutuhkan dana yang kuat. Realitasnya, pada umumnya sastrawan kita belum kokoh dalam daya finansialnya.
Sungguhpun demikian, memajankan sastra Indonesia ke jagat global bukan suatu hal yang mustahil. Diperlukan strategi, kesungguhan dan proses panjang dan sinergi yang erat antara negara dan sastrawan. Semoga!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H