Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksodus Seks, dari Wilayah Suci ke Ruang Publik

18 Oktober 2020   12:48 Diperbarui: 18 Oktober 2020   14:23 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebermula, seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang suci. Percintaan dan persetubuhan dianggap sebagai sebuah pertemuan hati, perpaduan emosi, dan kebersamaan yang dibalut kasih sayang antara dua mahluk yang berbeda kelamin. 

Tak hanya dipandang sebagai proses biologis yang dilakukan sebagai kesadaran untuk bereproduksi semata, namun seks juga dipahami sebagai bentuk dialektika kemahlukan dan kekhalikan dalam proses penciptaan.

Al-Ghazali (ihya Ulumudin,III;159-160) memuji seksualitas (syahwat) karena dua hal. Pertama, memotivasi orang atau umat untuk berebut surga. Kedua, menjadikan landasan wadah kelangsungan keturunan. Bagi Ghazali seksualitas merupakan kodrati sekaligus bentuk konsekuensi keberadaan mahluk yang ditakdirkan berpasang-pasangan.

Errich Fromm menyebut seks sebagai ruang bertemunya kembali kebersamaan manusiawi. Seksualitas menyadarkan akan hasrat untuk berinteraksi, memahami suatu kebersamaan sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa diingkari. 

Cinta sebagai bagian dari seksualitas (dan sebaliknya) merupakan kutub dari sebuah hasrat, maka aktivitas seks merupakan puncak kulminasi dari sebuah perpaduan dan kebersamaan manusiawi. Seks merupakan alat untuk mengatasi keterpisahan manusia.

Karena dianggap sebagai sebuah wilayah yang suci, maka seksualitas tak bisa dipertontonkan di depan publik. Seks menjadi sangat privat dan ritualisasinya hanya mungkin dilakukan di ruang domestik. 

Keterpaduan dan kebersamaan manusiawi dalam ritualisasi seks sebagai puncak kerinduan manusia laki-laki dan perempuan hanya mungkin ada dalam ranah yang sangat personal.

Dalam ranah yang sangat mempribadi itu, saat melakukan aktivitas seksual, manusia akan sepenuhnya menanggalkan kolektivitas pribadinya menjadi mahluk pribadi sepenuhnya, yang bukan hanya bisa mewujudkan eksistensi aku (being), dan rasa keakuan (existence)nya. Menjadi sosok yang merdeka mendialogkan diri dengan nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang transenden.

Keterbebasan manusia dari reduksi, hegomoni, serta subordinasi kepentingan di luar dirinya (eksternal) yang diperolehnya saat beraktivitas seksual, berhasil memungkinkan pengejaan kebersamaan manusiawi dan transendental yang lebih maksimal. 

Seks, bahkan kata Foucault, bisa menjadi energi untuk memberontak terhadap segala kepengapan yang mengitari kehidupan kita sehari-hari.

Begitu dipandang sebagai bagian dari wilayah yang suci, maka seksualitas tak segan-segan dipakai sebagai perwujudan simbolik dalam prosesi religiusitas. Sebagai contoh, di masyarakat Papua terdapat tradisi Zak Ai, yaitu dipakainya air mani (semen) sebagai bagian dari prosesi sebuah ritual religi. Dalam prosesi ini, air mani (semen) dianggap sebagai bagian dari kehidupan, awal dari kehidupan, sebab dari air mani itulah terjadi manusia baru.

Di Jawa, seksualitas juga menjadi simbolisasi religiusitas. Pada peradaban Jawa Kuna dikenal pemujaan lingga dan yoni yang sebetulnya merupakan representasi genitalia. 

Lingga merupakan representasi genital laki-laki sedangkan yoni merupakan representasi genital perempuan. Lingga dan yoni ini menjadi simbol perwujudan dewa tertinggi Shiwa dan istrinya, Dewi Parwati. 

Kedua bentuk ini juga dianggap sebagai lambang kesuburan. Dengan demikian symbol genitalia sebagai bagian seksualitas dapat dipresentasikan sebagai kesucian.

Seks karena bagian dari sebuah wilayah yang suci, maka demikian  privacy sehingga dipandang pula sebagai sesuatu yang tabu untuk  diumbar. Seks pantang dibicarakan dimuka umum. 

Bahkan ada anggapan dogmatis bahwa seseorang yang membicarakan aktivitas seks, sama persisnya seperti setan perempuan dan setan laki-laki yang berhubungan intim dan ditonton oleh orang banyak.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, ternyata seks tak mampu mengelak dari cakupan-cakupan eksternal. Foucault, jauh-jauh hari menegaskan bahwa seksualitas merupakan sebuah wacana yang sangat mudah dikonstruksi. 

Ketika tak bisa mengelak dari cakupan-cakupan eksternal itu, atau dalam istilah Foucault, ketika seks dikonstruksi oleh berbagai variabel seperti globalisasi, transparansi, kapitalisme, sosial ekonomi, bahkan kekuasaan terjadilah pendangkalan seksualitas.

Sejak munculnya industrialisasi kemudian reformasi di Eropa Barat, telah terjadi represi 'moderen' atas seksualitas. Dan represi ini amat berkait dengan kepentingan kapitalisme. Kapitalisme telah menyeret seksualitas menuju wilayah publik dan mengubah wajah seksualitas dari prokreasi  ke rekreasi, dari ritual ke ekspresi identitas yang hanya sesaat.

Yang terjadikemudian adalah pendangkalan seksualitas. Terjadilah pe-wadag-an, pen-tubuh-an, atau pen-sosok-an seksualitas. Seksualitas hanya dipandang sebagai aktivitas fisik belaka, berubah hanya sekedar dukhul yang sekedar bermakna memasukkan penis ke dalam vagina. 

Lokus seksualitas dari kerinduan kebersamaan manusiawi menjadi kelezatan dan kenikmatan sekejap yang ukuran-ukurannya juga amat fisikal. Maka merebaklah obat kuat, viagra, Mak Erot, galian rapet, hemaviton jreng, atau irex yang dipromosikan dengan gencar dan sensual.

Sejak itulah seksualitas mulai diusung di pasar-pasar dan dijajakan dengan amat terbuka. Merebaklah prostitusi baik terang-terangan maupun terselubung, bahkan membuat tercengang seperti yang terungkap dalam buku-buku yang telah merepotasikan transaksi dan gaya hidup seksual tersebut. 

Seksualitas kemuadian menjadi urusan publik. Seksualitas yang dahulu merupakan hal yang personal dan hanya terjadi di ruang domestik, kini diusung ke wilayah publik menjadi persoalan ekonomi, sosial, kapitalistik, bahkan politik.

Kerinduan dan kebersamaan manusiawi yang melandasi seksualitas ambyarlah sudah. Dan dalam bingkai yang biologis pun, penerusan proses penciptaan melalui dialektika kemahlukan dan kekhalikan menjadi punah. 

Di tengah ketidakberdayaan dalam cengkraman kekuatan dan konstruksi dari luar itu, seksualitas telah berubah muka. Dari wajah yang religius dan manusiawi menjadi barang dagangan yang porno dan murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun