Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksodus Seks, dari Wilayah Suci ke Ruang Publik

18 Oktober 2020   12:48 Diperbarui: 18 Oktober 2020   14:23 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Jawa, seksualitas juga menjadi simbolisasi religiusitas. Pada peradaban Jawa Kuna dikenal pemujaan lingga dan yoni yang sebetulnya merupakan representasi genitalia. 

Lingga merupakan representasi genital laki-laki sedangkan yoni merupakan representasi genital perempuan. Lingga dan yoni ini menjadi simbol perwujudan dewa tertinggi Shiwa dan istrinya, Dewi Parwati. 

Kedua bentuk ini juga dianggap sebagai lambang kesuburan. Dengan demikian symbol genitalia sebagai bagian seksualitas dapat dipresentasikan sebagai kesucian.

Seks karena bagian dari sebuah wilayah yang suci, maka demikian  privacy sehingga dipandang pula sebagai sesuatu yang tabu untuk  diumbar. Seks pantang dibicarakan dimuka umum. 

Bahkan ada anggapan dogmatis bahwa seseorang yang membicarakan aktivitas seks, sama persisnya seperti setan perempuan dan setan laki-laki yang berhubungan intim dan ditonton oleh orang banyak.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, ternyata seks tak mampu mengelak dari cakupan-cakupan eksternal. Foucault, jauh-jauh hari menegaskan bahwa seksualitas merupakan sebuah wacana yang sangat mudah dikonstruksi. 

Ketika tak bisa mengelak dari cakupan-cakupan eksternal itu, atau dalam istilah Foucault, ketika seks dikonstruksi oleh berbagai variabel seperti globalisasi, transparansi, kapitalisme, sosial ekonomi, bahkan kekuasaan terjadilah pendangkalan seksualitas.

Sejak munculnya industrialisasi kemudian reformasi di Eropa Barat, telah terjadi represi 'moderen' atas seksualitas. Dan represi ini amat berkait dengan kepentingan kapitalisme. Kapitalisme telah menyeret seksualitas menuju wilayah publik dan mengubah wajah seksualitas dari prokreasi  ke rekreasi, dari ritual ke ekspresi identitas yang hanya sesaat.

Yang terjadikemudian adalah pendangkalan seksualitas. Terjadilah pe-wadag-an, pen-tubuh-an, atau pen-sosok-an seksualitas. Seksualitas hanya dipandang sebagai aktivitas fisik belaka, berubah hanya sekedar dukhul yang sekedar bermakna memasukkan penis ke dalam vagina. 

Lokus seksualitas dari kerinduan kebersamaan manusiawi menjadi kelezatan dan kenikmatan sekejap yang ukuran-ukurannya juga amat fisikal. Maka merebaklah obat kuat, viagra, Mak Erot, galian rapet, hemaviton jreng, atau irex yang dipromosikan dengan gencar dan sensual.

Sejak itulah seksualitas mulai diusung di pasar-pasar dan dijajakan dengan amat terbuka. Merebaklah prostitusi baik terang-terangan maupun terselubung, bahkan membuat tercengang seperti yang terungkap dalam buku-buku yang telah merepotasikan transaksi dan gaya hidup seksual tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun