Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Pemimpin

14 Oktober 2020   22:44 Diperbarui: 14 Oktober 2020   22:53 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersebutlah dua buah buku ramalan dua orang futurulog yaitu, yang pertama, ditulis John Naisbitt berjudul Megatrends 2000 dan yang kedua, ditulis Fatricia Aburdene, dengan judul The 1990's" Decade of Women in Leadership. 

Kedua buku ini sama-sama meramalkan bahwa dasawarsa 1990an dan memasuki abad ke-21 peranan perempuan semakin meningkat bahkan menjadi kunci perubahan zaman yang berarti perempuan mempunyai peluang yang tinggi untuk menjadi pemimpin. 

Ramalan ini berdasarkan kenyataan dan pengalaman historis kaum perempuan di Eropa yang karena dampak global menyebar dan mempengaruhi perubahan sosial di seluruh dunia.

Istilah pemimpin tak bisa diceraikan dengan istilah kepemimpinan. Istilah kepemimpinan oleh Toeti Heraty Noerhadi dimaknai sebagai memperoleh atau mencapai keunggulan sebagai individu dalam masyarakat atau wilayah yang disebut wilayah publik. 

Dalam pengertiannya yang klasik kepemimpinan diartikan sebagai kedudukan berkuasa dan berwenang untuk mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi tatanan kehidupan dan pekerjaan banyak orang dalam masyarakat. 

Dua pendapat ini menunjukkan bahwa wilayah publik yang dimaksud adalah di luar rumah atau di masyarakat bukan di wilayah domestik. Dua pendapat di atas juga secara implisit menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan ada persoalan hierarki, kompetisi, kekuasaan, resiko dan tanggung jawab.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, asosiasi kita terhadap frase perempuan pemimpin adalah perempuan yang memiliki aspek kekuasaan. Perempuan kuasa yang kuat dan berwibawa dalam memegang tampuk kekuasaannya. Asosiasi tersebut tak sepenuhnya benar, karena istilah pemimpin tak selamanya berkaitan dengan kekuasaan tapi lebih menekankan pada peran.

Dari berbagai fakta sejarah ternyata bisa diketahui bahwa kedudukan dan peran perempuan di Indonesia sangat penting. Itu berarti menunjukkan bahwa jauh sebelum emansipasi dan feminisme bergaung, perempuan Indonesia ternyata sudah memiliki peran yang strategis dalam masyarakatnya. 

Hal ini menunjukkan sesuatu yang unik mengingat bahwa sejak dulu Indonesia (Nusantara) dianggap sebagai masyarakat patriarki yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih penting dan dominan dibanding perempuan.

Gambaran patriarki tersebut diungkapkan dengan jelas oleh R.A. Kartini dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Habis Gelap Terbitlah Terang yang mencitrakan sosok perempuan sebagai manusia sekunder atau pelengkap saja. Ungkapan kanca wingking, sigaraning nyawa, pekerjaan perempuan yang masak, manak dan mlumah, menunjukkan citra perempuan yang inferior dan sekedar subordinasi dari kaum laki-laki.

Namun dalam realitanya, ternyata terdapat banyak bukti bahwa di masa lampau kaum perempuan di Nusantara telah memiliki peran penting dalam berbagai sektor kehidupan seperti sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan sektor militer. 

Di tahun 674 Masehi yang merupakan sumber tertua sejarah Nusantara yang dicatat oleh orang Cina, ada kerajaan Holing (yang dimaksud adalah Kalingga) di Jawa Tengah yang mempunyai raja perempuan yang bergelar ratu Hsi-Mo (Sima). 

Berita cina itu menyebutkan bahwa ratu Sima tersebut merupakan raja yang tegas dan adil dalam menegakkan peraturan perundang-undang. Salah satu perundang-undangan itu adalah dilarang keras menyentuh benda atau harta yang bukan miliknya. Kabar itu menarik perhatian raja Ta-Shih dan hendak mengujinya. 

Diam-diam dia meletakkan pundi-pundi beisi keping uang emas di tengah-tengah jalan pusat kerajaan Kalingga. Selama tiga tahun pundi-pundi tidak ada yang menyentuhnya, bahkan setiap orang yang lewat jalan itu menghindarinya. Hingga di suatu hari putra mahkota menginjak dan menendang pundi-pundi itu. 

Ratu Sima amatlah marah dan menjatuhkan hukuman mati untuk putra mahkota. Para menteri memintakan pengampunan dengan alibi karena tindakan bukan kesengajaan. 

Ratu mengurangi hukumannya dengan mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong kaki. Sekali lagi para menteri mengajukan permohonan pengampunan. Akhirnya, ratu Sima memerintahkan agar jari-jari kaki putra mahkota dipotong sebagai peringatan bagi siapapun yang berani menyentuh benda atau barang yang bukan haknya.

Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada tahun 1328-1350 pernah dipimpin oleh seorang perempuan selama duapuluh dua tahun. Raja perempuan itu adalah Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan Majapahit yang kokoh. 

Raja perempuan ini kemudian digantikan oleh putranya bernama Hayam Wuruk yang kelak berhasil menyatukan Nusantara. Sejarah juga mencatat bahwa di masa akhir Majapahit sebelum Brawijaya V, ada lagi raja perempuan yaitu Suhita yang memerintah 1429-1445.

Di Aceh, sejarah mencatat bahwa ada banyak pahlawan perempuan yang benar-benar bertempur di medan pertempuran. Yang paling melegenda adalah sosok Cut Nyak Dien yang selama bertahun-tahun memimpin perang Sabil bergerilya di hutan-huta Meleoboh.

Bahkan sampai matanya nyaris buta dan sakit-sakitan sehingga salah seorang pengikutnya yang tidak tega terpaksa berkhianat agar Cut Nyak Dien bisa ditangkap Belanda. 

Di samping Cut Nyak Dien masih banyak lagi perempuan pahlawan di Acep antara lain, Pocut Meurah Intan, Cut Nyak Meutia, dan Pocot Baren.

Dalam bidang pemerintahan, kerajaan Samodra Pasai mencatat adanya Ratu Malikah Nur yang memerintah kerajaan Samodra Pasai pada sekitar 1380 M. Ada lagi raja perempuan yang memerintah Pasai di tahun1428 M yaitu Ratu Nahrasiyah. 

Tercatat pula seorang Sultanah perempuan yang memerintah 1641-1675 yaitu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah yang merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda. 

Sultanah ini dikenal cendikia dan menguasai bahasa Persia, Spanyol, Melayu dan Arab. Sultanah kedua adalah Nurul alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), yang ketiga adalah sultanah Inayatsyah Zakiatuddin Syah (1676-1688) dan yang terakhir adalah Kamalatsyah Zairatuddin Syah yang memerintah 1688-1699.

Selain para sultan perempuan (sultanah) juga ada banyak perempuan yang menjadi panglima perang angkatan laut. Salah satunya adalah Laksamana Keumalahayati yang memimpin lebih dari 100 buah armada laut Aceh. Laksamana Keumalahayati ini juga dikenal sebagai diplomat ulung.di samping Keumalahayati tercatat pula nama Cut Nyak Asiah yang memimpin armada Aceh Utara.

Di Jawa, tepatnya di Jepara ada seorang raja perempuan yaitu Ratu Kalinyamat. Di masa pemerintahannya Jepara menjadi bandar terpenting. Kalinyamat juga membantu Aceh menyerang pusat kekuasaan Portugis di Malaka. Ia juga membantu pimpinan perlawanan Hitu di Ambon yang juga menentang Portugis.

Di wilayah Sulawesi Selatan, tersebutlah seorang penguasa perempuan yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang memerintah Ternate (1856). Di masa pemerintahannya, Ternate berkembang pesat dan memiliki perhatian besar terhadap kesusastraan. Di zamannyalah dibuat ikhtisar epos La Galigo (yang kini diakui sebagai kekayaan dunia) dan pertama kali di bangun sekolah di Ternate.

Di abad ke-20 peran perempuan Indonesia lebih banyak di ranah intelektual dan sosial yang melakukan perlawanan dengan kolonial Belanda. Tercatatlah R.A Kartini, R.A. Rukmini, Dewi Sartika, Rohanna Kudus, Rahmah El Yunussiyah, Maria Walanda Maramis, dan sebagainya. 

Yang menarik, sejalan dengan kesadaran membangun wawasan intelektual dan kecerdasan tumbuh pulalah organisasi-organisasi perempuan, antara lain Wanita Utomo, Istri Sedar, Aisyah, Fatayat NU, Ina Tuni, Putri Mardika, PIKAT, Wanita Katolik. 

Peran organisasi perempuan ini mencapai puncaknya ketika diadakannya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928, yang kemudian berlanjut pada Kongres Perempuan Indonesia II (1935) dan Kongres Perempuan Indonesia III (1938).

Fakta-fakta historis tersebut dikemukakan bukan sebagai sikap mengelus-elus romantisme belaka namun untuk menunjukkan bahwa sejak dahulu kita sudah mengenal tradisi kepemimpinan perempuan. Dengan mengenal kembali fakta-fakta historis di atas bisa sebagai pijakan untuk merevitalisasi, mereposisi dan mengaktualisasi peran perempuan di pelbagai sektor kehidupan. Jayalah perempuan Indonesia!*

*Artikel ini sudah terlebih dahulu tayang di laman Solopos.com dengan judul "Perempuan Kuasa, Catatan Emansipasi"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun