Tercatat pula seorang Sultanah perempuan yang memerintah 1641-1675 yaitu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah yang merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda.Â
Sultanah ini dikenal cendikia dan menguasai bahasa Persia, Spanyol, Melayu dan Arab. Sultanah kedua adalah Nurul alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), yang ketiga adalah sultanah Inayatsyah Zakiatuddin Syah (1676-1688) dan yang terakhir adalah Kamalatsyah Zairatuddin Syah yang memerintah 1688-1699.
Selain para sultan perempuan (sultanah) juga ada banyak perempuan yang menjadi panglima perang angkatan laut. Salah satunya adalah Laksamana Keumalahayati yang memimpin lebih dari 100 buah armada laut Aceh. Laksamana Keumalahayati ini juga dikenal sebagai diplomat ulung.di samping Keumalahayati tercatat pula nama Cut Nyak Asiah yang memimpin armada Aceh Utara.
Di Jawa, tepatnya di Jepara ada seorang raja perempuan yaitu Ratu Kalinyamat. Di masa pemerintahannya Jepara menjadi bandar terpenting. Kalinyamat juga membantu Aceh menyerang pusat kekuasaan Portugis di Malaka. Ia juga membantu pimpinan perlawanan Hitu di Ambon yang juga menentang Portugis.
Di wilayah Sulawesi Selatan, tersebutlah seorang penguasa perempuan yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang memerintah Ternate (1856). Di masa pemerintahannya, Ternate berkembang pesat dan memiliki perhatian besar terhadap kesusastraan. Di zamannyalah dibuat ikhtisar epos La Galigo (yang kini diakui sebagai kekayaan dunia) dan pertama kali di bangun sekolah di Ternate.
Di abad ke-20 peran perempuan Indonesia lebih banyak di ranah intelektual dan sosial yang melakukan perlawanan dengan kolonial Belanda. Tercatatlah R.A Kartini, R.A. Rukmini, Dewi Sartika, Rohanna Kudus, Rahmah El Yunussiyah, Maria Walanda Maramis, dan sebagainya.Â
Yang menarik, sejalan dengan kesadaran membangun wawasan intelektual dan kecerdasan tumbuh pulalah organisasi-organisasi perempuan, antara lain Wanita Utomo, Istri Sedar, Aisyah, Fatayat NU, Ina Tuni, Putri Mardika, PIKAT, Wanita Katolik.Â
Peran organisasi perempuan ini mencapai puncaknya ketika diadakannya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928, yang kemudian berlanjut pada Kongres Perempuan Indonesia II (1935) dan Kongres Perempuan Indonesia III (1938).
Fakta-fakta historis tersebut dikemukakan bukan sebagai sikap mengelus-elus romantisme belaka namun untuk menunjukkan bahwa sejak dahulu kita sudah mengenal tradisi kepemimpinan perempuan. Dengan mengenal kembali fakta-fakta historis di atas bisa sebagai pijakan untuk merevitalisasi, mereposisi dan mengaktualisasi peran perempuan di pelbagai sektor kehidupan. Jayalah perempuan Indonesia!*
*Artikel ini sudah terlebih dahulu tayang di laman Solopos.com dengan judul "Perempuan Kuasa, Catatan Emansipasi"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H