Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arah Demokrasi Pancasila

1 Oktober 2020   10:19 Diperbarui: 1 Oktober 2020   10:22 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak bisa disangkal lagi bahwa kita harus memperteguh demokrasi Pancasila sebagai bentuk negara paripurna. Untuk itu harus ada upaya untuk menjadikan demokrasi Pancasila sebagai sebuah ideologi terbuka yang bisa mengantisipasi setiap perubahan zaman.

Demokrasi merupakan sistem politik yang mengutamakan rakyat. Sistem politik dari rakyat, untuk rakyat. Dalam realita historisnya, demokrasi menjadi sebuah tatanan sistem politik yang masih terus bertahan dalam pasang surut evolusi tatanan pemeritahan dan politik. 

Saudara-saudara demokrasi lainnya seperti sistem monarkhi, aristokrasi, dan teokrasi yang terus menyusut dan melenyap di belakang punggung sejarah. Andrew Aroto (2000) menyebut demokrasi sebagai satu-satunya konsep Romawi Kuno yang bisa bertahan hingga abad 21 ini. Dengan kata lain, demokrasi adalah norma global, atau disebut  Fukuyama, sebagai the end of history.

Perjalanan demokrasi di masing-masing bangsa negara sangat variatif. Yang disebut Rustow (1970) sebagai banyak jalan menuju demokrasi. Demokrasi tak pernah homegen dan konslidasinya berlangsung melalui rangkaian kontuinitas dan diskontinuitas yang melibatkan proses, faktor dan anasir-anasir yang kompleks. 

Demokrasi bukanlah sebuah keadaan yang statis dan stagnan, namun merupakan sebuah proses yang bersifat dinamis. Hal-hal inilah yang menyebabkan bentuk dan kondisi demokrasi di masing-masing negara bangsa berbeda satu sama lain. Demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi negara bangsa lain karena berbasis pada ideologi Pancasila yang diyakini sebagai identitas nilai, moral, etis, dan etik bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersendikan lima sila yang termaktub dalam Pancasila.

Demokrasi Pancasila merupakan sistem demokrasi di Indonesia yang harus menjadi dasar dalam sistem, tatanan, dan praktek politik di Indonesia. Semua sistem, tatanan dan praktek politik harus berbasis pada demokrasi Pancasila dan tak boleh menciderai demokrasi Pancasila. 

Sungguhpun demikian, demokrasi Pancasila bukanlah sistem demokrasi dan sistem politik yang tertutup, namun merupakan sistem demokrasi dan sistem politik yang terbuka atau merupakan sebuah paradigma terbuka. Paradigma terbuka inilah yang memungkinkan demokrasi Pancasila bertahan dalam proses perubahan global.

Proses demokrasi memang selalu diawali dengan membludaknya kebebasan. Sejarah lahirnya orde baru yang menjadi antitesis orde lama, yang kemudian berulang pula kelahiran reformasi sebagai antitesis orde baru, merupakan bukti nyata bagaimana pasang surut demokrasi di Indonesia selalu di awali dengan fenomena membludaknya kebebasan. Membludaknya kebebasan inilah yang dikatakan Hardiman (2014) sebagai kebebasan natural.

Seharusnya kebebasan natural ini harus dikotrol melalui demokrasi Pancasila sehingga tidak melebar menjadi demokrasi massa yang menciptakan siapa yang kuat dia yang menang, namun mengerucut ke kebebasan sipil atau civil liberteis. Civil liberteis atau kebebasan sipil adalah situasi demokrasi yang menyediakan ruang publik untuk membangun kebebasan sipil dalam kehidupan publik demokratik yang pada akhirnya bermuara pada terbentuknya civil culture.

Demokrasi di Indonesia harus berorientasi pada ideologi Pancasila sehingga harus muncul demokrasi yang deliberatif atau demokrasi yang tidak memberi tempat pada liberasi dalam bentuk apapun, termasuk liberasi politik. Ruang publik yang sudah terbentuk menjadi civil culture bisa efektif untuk menjadi alat kontrol bagi demokrasi.

Demokrasi Pancasila harus memiliki visi untuk memberi ruang sebesar-besarnya bagi kelompok-kelompok masyarakat paling bawah sehingga tidak ada lagi kelompok yang termarjinalisasi. Selama ini kaum politisi dan pemilik partai saja yang 'membajak' dan memonopoli demokrasi dan menungganginya sebagai sekedar alat politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Selama ini kaum politikus yang memegang kendali dan kemudian menjadikan demokrasi yang mengeksklusi atau menghambat rakyat kecil untuk memiliki akses dan kontrol untuk berprtisipasi dalam demokrasi.

Upaya dan perspektif untuk mengambalikan demokrasi kepada golongan rakyat harus dijadikan visi untuk mengembangkan arah demokrasi Pancasila. Untuk mengembangkan arah demokrasi Pancasila ini bisa melalui dua macam cara yaitu, pertama, dengan jalan membuka dan menciptakan diskursus-diskursus baru, produksi-produksi pemikiran, wacana-wacana pada tataran normatif teoritis yang relevan dengan demokrasi Pancasila. 

Cara kedua, adalah melahirkan praksis alternatif yaitu keterlibatan tindakan nyata untuk langsung menghadapi dan memecahkan problem-problem yang ada dalam proses pelaksanaan demokrasi Pancasila.

Dewasa ini menurut hemat penulis, ada sebuah gejala bahwa demokrasi Pancasila mengalami proses elitisasi sehingga menjadi demokrasi partokratik yaitu demokrasi yang dikendalikan oleh kaum politikus dan partai-partai. 

Kaum politikus dan partai-partainya menjadi aktor utama dalam menyelenggarakan demokrasi yang menjadikan demokrasi menjadi rentan hanya berfungsi sebagai kendaraan dan alat politik. Dengan dalih demokrasi, para politisi partai-partai itu menjejalkan isu-isu, hoax-hoax yang sesungguhnya sangat berbahaya bagi kepentingan bangsa. Contoh konkret yaitu bagaimana para politisi itu memainkan politik identitas, termasuk di dalamnya identitas agama. Hal inilah yang harus dilawan dengan dua macam cara di atas.

Untuk menutup tulisan ini, perlu diketengahkan kembali apa yang dikatakan Mohammad Hatta, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai demokrasi tidak sekedar sebagai tata politik pemerintahan negara, namun merupakan way of life

Itu bermakna bahwa negara bangsa Indonesia yang hendak dibangun haruslah merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, yang didasar pada aspirasi rakyat dan diselenggarakan untuk kemashalatan masyarakat. Berangkat dari itu marilah kita bangun demokrasi Pancasila yang bukan demokrasi partokratik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun