di atas andong tua yang kudanya  meringkik pelan
dan menderapkan kaki seperti kanak-kanak belajar berbaris
aku telusuri kembali kota kecil kota kelahiran ini
berderap melintasi alun-alun kota yang hijau dan pohon-pohon palm yang menjulang
sebentar lagi menuju pasar gede, pojok makam pahlawan, dan tiap-tiap tikungan
melintasi warung-warung kopi dan lorong-lorong gang.
kaki kuda menderap dan ingatanku ikut merayap
lewat di depan gedung tua sebuah sekolah itu
 aku tersenyum mengenang sebuah tamparan yang indah
saat pipi seorang gadis tercantik di kelas kucuri dengan sebuah kecupan
tersenyum kecut pula saat kuingat aku berdiri
berpeluh di terik matahari menghormat tiang bendera
sebab mbolos tak ikut upacara
kaki-kaki kuda menderap ke pojok kota ingatanku menderap pula berburu kenangan
aku jadi tahu mengapa orang menulis puisi
mencatat deretan-deretan harinya sempurna dengan segala suka dan duka
aku pun bisa mendebat pendapatmu, bahwa kenangan itu racun
kangen dan kenangan kadang memang menyakitkan
tapi bukankah sebuah perjalanan selalu bermakna
tak hanya berhenti jadi sekedar kenangan.
andong tua itu menderap perlahan
membawaku dan seluruh kenangan itu.