Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puisi dan Penyair

24 September 2020   22:35 Diperbarui: 24 September 2020   22:41 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi seperti juga genre sastra yang lain jelas tidak menjanjikan popularitas apalagi finansial. Kalau seseorang menulis puisi bertujuan ingin tenar, dikenal dan diperbincangkan, maka ia bisa kecewa, putus asa dan mungkin akan bunuh diri. Seorang penyair bukanlah seorang artis bahkan jauh dari dunia selebritis yang penuh kucuran finansial.

Saat seseorang memilih jalan kepenyairan, ibaratnya ia menjadi serdadu yang gelisah untuk melahirkan kata-kata. Ia akan memasuki wilayah sunyi, dunia yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Oleh karena itu tak gampang menjadi penyair. 

Dalam sebuah perbincangan santai dengan penulis di serambi masjid Balai Pemuda,  D.Zawawi Imron pernah berseloroh 'menulis puisi itu hal yang mudah, namun menjadi penyair itulah yang sulit!'. Bahkan Chairil pun secara eksplisit pernah berkata," yang bukan penyair dilarang ambil bagian!". Lebih bombastis almarhum Kriapur dengan serius pernah berkata,"Jadi penyair itu harus berani menjilat aspal panas!"

Lepas dari mitos dan bombastisme itu, para penyair sendiri membenarkan pandangan itu. Menjadi penyair tak sekedar menyangkut 'jam terbang', lebih dari itu seseorang yang benar-benar terpanggil menjadi penyair akan memperlakukan puisi sebagai bagian dari hidupnya bahkan menganggap puisi sebagai ruh kehidupannya.

Sejak berabad lampau, puisi dianggap sebagai sesuatu yang istimewa bahkan nyaris suci. Di India puisi dianggap sebagai parajanana atau penjaga kehidupan. Puisi tak hanya ditulis sebagai ekspresi personal yang tragis, akumulasi dari kekecewaan, narsis yang berlebihan namun menjadi cermin untuk berkontemplasi atau merenung. 

Segala bentuk tragedi, kekecewaan, harapan, digunakan puisi untuk menggali kedalaman diri manusia sendiri. Puisi bisa menjadi alat untuk menangkap sosok manusia yang utuh sekaligus membangkitkan pertanyaan gelisah bersangkut dengan hidup, kehidupan, manusia dan kemanusiaan.

Taufik Ismail menulis mengapa ia menjadi penyair:

DENGAN PUISI AKU

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadiaan Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafsu jaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya

Seperti juga Taufik Ismail, penyair Ayatrohedi menulis arti puisi bagi dirinya sebagai seorang penyair dengan cara sederhana

SAJAK

Sajak seorang penyair

Lahir dari kecup bibir

Menetes seperti air

Sajaknya adalah api

Yang berkedip dalam hati

Sajaknya adalah bunga

Yang berbunga dalam dada

Sajak seorang penyair curahan cintanya terhdap tanah air

Sapardi Djoko Damano mengibaratkan seorang penyair adalah sebuah pintu yang terbuka yang membukakan rahasia kehidupannya kepada orang lain . Diungkapkannya seperti di bawah ini:

PENYAIR

aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti pintu,

bagiku

satu persatu aku terbuka bagai daun-daun pintu,

hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama

rahasia:

begitu sederhana: sama sekali terbuka

dan engkau akan selalu menjumpai dirimu sendiri di sana

bersih dan telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama

rahasia

jangan terkejut; memang dirimu sendirilah yang kau jumpa

di pintu yang terbuka itu, begitu sederhana tapi barangkali yang menyakitkan hati

aku akan selalu terbuka, seperti sebuah pintu, lebar-lebar bagimu

dan engkau pun masuk, untuk mengenal dirimu sendiri di sana

Setiap penyair selalu menghayati dan membuat kesaksia, jiwanya merdeka sehingga bebas mengungkapkan apa saja, seperti yang disampaikan Linus Suryadi AG:

PENYAIR

Dia serahkan irama hidup antar desa dan kotanya

Selama menyeberangi arus deras sungai ke hilir

Selama jiwa di dalamnya membuka isyarat rahasia

Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di pinggir

Puisi adalah rekaman hidup, saksi dari pengalaman yang menyentuh hati penyairnya. Tentu saja masing-masing penyair bisa merefleksikannya dengan berbagai sudut cara pandang, seperti yang diungkapkan Tjahjono Widarmanto berikut:

 

SAJAK PARA PENYAIR

sajak-sajak kami menerima segala yang berlangsung dan berlari

: hujan yang tersisa di pepohonan, tikus merayap di langit-langit kamar, kuda-kuda

 meringkik di kandang yang bersebelahan dinding kamar losmen murahan

 yang di dalamnya terdengar ringkik perempuan di ujung telanjangnya

sajak-sajak kami adalah tidur yang menampung igauan dan mimpi perawan tua

merindu jejaka, tangis gadis muda yang ditinggal lari perawannya saat akil balik,

suara bergemuruh di sepanjang rel kereta api tua atau kering matahari membentuk

bulatan bulatan uap yang membuat bumi keriput seperti usia yang tak putus-putus

meniup isyarat, melambai lambaikan bendera dan menggoncang lonceng-lonceng

sajak-sajak kami adalah bejana di dapur yang terisi air minum dan kali selokan

yang menggenangi lantai ruang tamu mengalir hingga ranjang serupa kolam

untuk mencopot dahaga dan membasuh peluh dan bilur pedih wajah dan mata

sajak-sajak kami adalah radio penuh suara riuh decit dan dengung benda-benda

yang mengabarkan hal-hal tak terduga, suara-suara yang melampaui lengking peluit,

gaung nada melebihi segala makna bahasa dan galau kota yang di bom para teroris,

segala suara cemas para serdadu di medan pertempuran, desah putus asa tahanan

yang dieksekusi pagi nanti, harapan yang kabur dari penumpang yang terikat di kursi 

pesawat terbakar dan sekejap nyungsep mengambang di antara hiu yang meringis

sajak-sajak kami adalah juga kata-kata segar sekaligus kata-kata muskil yang aneh

melebihi semua mantra pawang, nyaris melampaui mukjizat para rahib

kami, para penyar melalui kata dan suara menumbuhkan segala

makna yang dicatat zaman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun