Puisi seperti juga genre sastra yang lain jelas tidak menjanjikan popularitas apalagi finansial. Kalau seseorang menulis puisi bertujuan ingin tenar, dikenal dan diperbincangkan, maka ia bisa kecewa, putus asa dan mungkin akan bunuh diri. Seorang penyair bukanlah seorang artis bahkan jauh dari dunia selebritis yang penuh kucuran finansial.
Saat seseorang memilih jalan kepenyairan, ibaratnya ia menjadi serdadu yang gelisah untuk melahirkan kata-kata. Ia akan memasuki wilayah sunyi, dunia yang penuh kemungkinan-kemungkinan. Oleh karena itu tak gampang menjadi penyair.Â
Dalam sebuah perbincangan santai dengan penulis di serambi masjid Balai Pemuda, Â D.Zawawi Imron pernah berseloroh 'menulis puisi itu hal yang mudah, namun menjadi penyair itulah yang sulit!'. Bahkan Chairil pun secara eksplisit pernah berkata," yang bukan penyair dilarang ambil bagian!". Lebih bombastis almarhum Kriapur dengan serius pernah berkata,"Jadi penyair itu harus berani menjilat aspal panas!"
Lepas dari mitos dan bombastisme itu, para penyair sendiri membenarkan pandangan itu. Menjadi penyair tak sekedar menyangkut 'jam terbang', lebih dari itu seseorang yang benar-benar terpanggil menjadi penyair akan memperlakukan puisi sebagai bagian dari hidupnya bahkan menganggap puisi sebagai ruh kehidupannya.
Sejak berabad lampau, puisi dianggap sebagai sesuatu yang istimewa bahkan nyaris suci. Di India puisi dianggap sebagai parajanana atau penjaga kehidupan. Puisi tak hanya ditulis sebagai ekspresi personal yang tragis, akumulasi dari kekecewaan, narsis yang berlebihan namun menjadi cermin untuk berkontemplasi atau merenung.Â
Segala bentuk tragedi, kekecewaan, harapan, digunakan puisi untuk menggali kedalaman diri manusia sendiri. Puisi bisa menjadi alat untuk menangkap sosok manusia yang utuh sekaligus membangkitkan pertanyaan gelisah bersangkut dengan hidup, kehidupan, manusia dan kemanusiaan.
Taufik Ismail menulis mengapa ia menjadi penyair:
DENGAN PUISI AKU
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta