Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Feminisme dan Genderisme

20 September 2020   15:46 Diperbarui: 20 September 2020   16:02 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sektor publik yang didominasi laki-laki selalu memberikan materi, sedangkan pekerjaan rumah tangga tidak menghasilkan uang sehingga perempuan hanya menjadi the head servant (kepala pembantu) belaka. Hal itu terjadi karena pria menguasai basis material yang lebih besar, sebaliknya  posisi istri menjadi lemah karena ketergantungan ekonomi pada suaminya.

Feminismee marxis-sosialis memiliki gerakan utama  membebaskan kaum perempuan  melalui perubahan struktur patriakat. Agenda utamanya adalah memberi penyadaran sebagai kelompok yang selalu ditindas dan menjadi kelas yang tidak menguntungkan. Dengan penyadaran ini diharapkan dapat terjadi konflik langsung dengan kelompok lelaki yang dianggap dominan. Semakin tinggi tingkat konflik semakin memudahkan robohnya sistem patriakat. Aliran feminisme marxis-sosialis ini memiliki kelemahan utama yaitu perempuan hanya menjadi alat politik perjuangan sosialisme.

Selain aliran-aliran feminisme di atas, ada pula aliran feminisme yang berjejak dari teori psikoanalisis, utamanya dari cara berpikir perempuan. Aliran feminisme ini adalah feminisme psikoanalis. 

Mereka berlandaskan teori-teori Freud menyatakan bahwa ketidakadilan yang dialami perempuan bermula dari pengalaman masa kecil yang membuat perempuan melihat dirinya sebagai feminin dan laki-laki sebagai maskulinitas, sekaligus pada saat bersamaan menganggap feminita lebih rendah dari maskulinitas. 

Aliran ini banyak ditentang karena dianggap sangat deterministik. Feminisme psikoanalisis ini juga tidak menghasilkan program nyata yang langsung bersentuhan dengan realitas sosial kaum perempuan.

Aliran feminisme berikutnya adalah feminisme eksistensialis. Tokohnya yang paling utama adalah Simone de Beauvoir dengan bukunya yang melegenda The Second Sex.Aliran feminisme ini memandang perempuan sebagai being for others, yang berarti berrada bersama orang lain. 

Di sisi lain saat terjadi konflik, perempuan bisa mengubah dirinya sebagai Subjek (self) dan orang lain sebagai objek (other). Feminisme eksistensialis berkeyakinan bahwa untuk menjasi exsist, perempuan harus hidup dengan melakukan pilihan-pilihan sulit, menjalaninya dengan tanggung jawab, baik atas dirinya maupun atas orang lain. Eksistensi perempuan itulah kebebasan.

Perkembangan dari feminisme eksistensialis adalah feminisme postmodern. Sama-sama berjejak pada pemikiran eksistensialisnya Beauvoir, namun dilengkapi dengan konsep-konsep dekonstruksionisme Derrida, dan psikoanalisis Lacan. 

Melalui dekonstruksi, feminisme postmodern bergerak lebih jauh membebaskan perempuan dari pemikiran yang opresif (absolut) dengan melihat sesuatu yang buruk justru sebenarnya adalah yang baik. Anggapan ini membuka kemungkinan terjadinya keterbukaan, pluralitas, keragaman dan perbedaan. Realitas perempuan yang dimarjinalkan, ditolak, disepelekan, mungkin sebenarnya bisa menguntungkan. 

Mengambil pemikiran Lacan, feminisme postmodern ini memanfaatkan konsep symbolic order atau tatanan simbolik. Tatanan simbolik mempresentasikan masyarakat melalui bahasa. Mengiternalisasikan tatanan simbolik berarti menginternalisasikan  pula peran-peran kelas dan gender yang berlaku dalam masyarakat. Kaum perempuan menolak tatanan simbolik yang dibuat kaum laki-laki, namun dipaksakan hidup dalam tatanan tersebut. 

Akibatnya, kaum perempuan tidak mempunyai "bahasa" sendiri karena bahasa yang ada adalah bahasa sipembuat tatanan yaitu kaum laki-laki. Yang paling menarik dari aliran feminisme postmodern ini adalah konsep kebebasan dan identitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun