Tersebutlah dalam kitab-kitab suci, perjalanan Adam yang mengembara di permukaan bumi,Yunus yang mengarungi samudera, Musa yang menyeberangi laut merah, Nuh yang berlayar, Isa yang musafir, dan Muhammad Rosullullah yang berhijrah.
Di Yunani para shofis atau filosof, seperti Socrates dan Plato juga melakukan pengembaraan untuk mengembangkan dan menularkan ilmunya. Pun demikian dengan para shufi yang berkelana untuk memperdalam ilmunya serta memberi pencerahan ke manusia lain.
Di paruh zaman lain yang lebih purba, dua buah epos besar yaitu Ramayana dan Mahabarata melukiskan kemuliaan perjalanan para pengelana. Ramayana karya Walmiki mengisahkan perjalanan panjang Rama dari Ayodya menuju Alengka yang tak hanya menempuh perjalanan panjang karena cinta namun juga menepuh dharma seorang ksatria untuk menumpas kejahatan.
Adapun Mahabarata karya Wiyasa yang ditulis beberapa puluh tahun kemudian, juga mengisahkan perjalanan pengembaraan keluarga Pandawa selama 18 tahun untuk mendapatkan kemuliaan.
Kisah pengembaraan untuk melakukan pencarian spiritualitas dan religiusitas bisa kita amati pula dalam relief-relief Gandawyuha di candi Borobudur lorong dua, tiga dan empat dengan 460 panel. Relief Gandawyuha ini merupakan relief-relief yang berdasar pada teks Sutra Gandavyuha pada abad ke-2 masehi.
Disebut juga sebagai Dharmadhatupravesana-parivatra atau Acintavimoksa yang mengisahkan perjalanan Sudhana dalam pengembaraannya mencari ilmu pencarian ilmu kebenaran (the ultimate truth).
Pengembaraan Sudhana dalam pencarian ilmunya melewati 110 kota dan menemui 110 Kalyanamitra atau mita handal (guru), di antaranya ada 54 mitra handal dengan latar belakang berbeda, antara lain bhiksu, biksuni, perumah tangga (ratnacuda), pedagang, brahmana, raja (anala), anak laki-laki, anak perempuan, pelaut, wanita penghibur, tukang emas, dewa-dewi, ratri dan juga budhis.
Dalam plangkan-plangkan Borobudur itu dapat kita temukan pula kisah Sidharta Gautama dari Kapilavasthu yang memilih menjadi seorang musafir daripada menjadi penguasa. Ditinggalkannya kemewahan menjadi raja dan kegemerlapan duniawi untuk berkelana menempuh perjalanan panjang demi menemukan sikap spiritual menjadi Budha Gautama.
Relief naratif perjalanan Sidharta Gautama dan Gandawyuha yang berkisah perjalanan Sudana ini merefleksikan nilai-nilai religiusitas, metta (cinta kasih), karuna (kasih sayang), mudita (simpati), bebas dari belenggu ketamakan, arhat (pemadaman nafsu).
Nilai-nilai yang menonjol adalah nilai untuk semangat belajar tanpa kenal lelah, sikap keterbukaan dalam mencari ilmu dengan berbagai sumber tanpa pandang bulu kedudukan sumber tersebut di masyarakat, dan sikap toleransi dalam belajar sipiritual.
Dalam proses pengembaraannya, para pengelana itu menempuh perjalanan yang agung dan panjang. Sebuah perjalanan yang sarat dengan penderitaan.