Keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang dipergunakan secara resmi di negara Indonesia tidak terlepas dari peran serta bahasa-bahasa daerah di dalam proses pembelajarannya.Â
Bahasa daerah di dalam hubungannya dengan Bahasa Indonesia menjalankan fungsi sebagai pendukung bahasa nasional, bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Halim, 1976:146).
Penelitian mengenai keberadaan bahasa daerah yang dipergunakan sebagai sarana komunikasi masyarakat-masyarakat daerah di wilayah Indonesia telah dilakukan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian pada era 1970an menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 418 bahasa daerah (Banta, 1972:7). Memasuki akhir millennium pertama penelitian menemukan 500 bahasa daerah yang dipergunakan di seluruh Indonesia (Rosidi, 1999:16). Menuju dekade kedua millennium kedua ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mendaftar 668 bahasa daerah terhitung hingga tahun 2018 (petabahasa.kemdikbud.go.id, 18 Maret 2019).
Bilamana keragaman bahasa merupakan penanda dari keragaman budaya maka keberadaan bahasa daerah sangatlah penting untuk mempertajam jati diri suatu bangsa. Di dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dikatakan bahwa negara ini memiliki kebudayaan yang kuat karena didukung oleh keragaman budaya, dan, sudah barang tentu, keragaman bahasa.
b) Pelestarian bahasa daerah
Marsono (2016:1) menyebutkan bahwa kemampuan bertahan bahasa dipengaruhi oleh jumlah penuturnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang yang mempergunakannya, semakin lama pula suatu bahasa akan mampu bertahan. Bahasa bukan sebuah entitas yang dapat bertahan dengan sendirinya. Ia hanya mampu "hidup" jika terdapat masyarakat yang menuturkan dan menularkannya.Â
Sebuah kelompok masyarakat yang dihuni oleh sekumpulan manusia akan bertahan bilamana lingkungan tempat tinggal mereka mendukung keberadaan. Pada saat masyarakat tersebut tidak mampu bertahan hidup maka bahasa yang mereka pergunakan terancam kepunahan (Nettle & Romain, 2000:5).
Lebih lanjut Nettle dan Romain (2000:7) menjelaskan bahwa Kematian bahasa merupakan gejala dari kematian kebudayaan: sebuah cara hidup akan hilang dengan matinya bahasa. Nasib bahasa terikat pada penuturnya.Â
Pergeseran atau kematian bahasa terjadi sebagai respon terhadap tekanan dari berbagai jenis faktor yang terjadi di sebuah masyarakat, yaitu sosial, budaya, ekonomi, bahkan militer. Setiap kali bahasa berhenti menjalankan fungsi tertentu, bahasa tersebut akan kehilangan tempat dan digantikan oleh bahasa lain. Kematian terjadi manakala sebuah bahasa menggantikan bahasa lain secara fungsional dan orang tua tidak lagi menularkan bahasa tersebut kepada anak-anak mereka.
Crystal (2000:1-2) menyebutkan istilah "kematian bahasa" (language death). Ia berpendapat bahwa istilah tersebut terkesan menempatkan bahasa seperti halnya manusia, makhluk hidup yang mengalami kematian.Â
Akan tetapi istilah kematian bahasa adalah masuk akal karena jika manusia penuturnya mengalami kematian maka bahasa tersebut akan ikut mati. Sebuah bahasa mengalami kematian jika tidak ada lagi orang yang mempergunakannya. Bagi penduduk asli penutur bahasa, kematian bahasa mungkin dianggap mustahil.Â