konglomerat Indonesia berlaga di lapangan hijau sebagai pemain sepak bola profesional? Ternyata, ada alasan menarik di balik fenomena ini! Mari kita telusuri lebih dalam.
Bola - Memiliki segalanya: kekayaan, fasilitas mewah, dan akses ke peluang tak terbatas. Tapi, mengapa jarang sekali kita melihat anak-anakAnak konglomerat jarang jadi pemain sepak bola karena risiko cedera, kurang motivasi finansial, dan fokus pada pendidikan atau bisnis keluarga. - Tiyarman Gulo
1. Persepsi terhadap Karir Sepak Bola
Bagi banyak keluarga konglomerat, sepak bola sering dianggap sebagai karir yang kurang menjanjikan. Dibandingkan dengan profesi seperti pengusaha, pengacara, atau dokter, sepak bola dipandang kurang stabil dan kurang prestisius. Orang tua dari kalangan ini cenderung mendorong anak-anaknya untuk mengejar pendidikan tinggi dan berkarir di bidang yang dianggap lebih "terhormat" dan sesuai dengan status sosial mereka.
"Kenapa harus jadi pemain bola kalau bisa jadi pemilik klub?" mungkin jadi pertanyaan yang sering terlintas di benak mereka.
2. Risiko Cedera dan Ketidakpastian Karir
Sepak bola bukanlah olahraga yang aman. Risiko cedera, mulai dari yang ringan hingga yang mengakhiri karir, selalu mengintai. Bagi keluarga konglomerat, ketidakpastian ini menjadi alasan kuat untuk tidak mendorong anak-anak mereka terjun ke dunia sepak bola profesional.
Bayangkan, setelah menghabiskan waktu dan sumber daya untuk melatih anak, tiba-tiba karirnya harus berakhir karena cedera. Hal ini tentu menjadi pertimbangan serius bagi orang tua yang ingin masa depan anaknya lebih terjamin.
3. Kurangnya Motivasi Finansial
Anak-anak konglomerat tumbuh dalam lingkungan yang serba berkecukupan. Mereka tidak memiliki tekanan finansial untuk mencari nafkah melalui sepak bola. Alih-alih berlari di lapangan, mereka lebih memilih mengelola bisnis keluarga atau mengejar minat lain yang tidak terlalu menuntut secara fisik.
Bagi mereka, sepak bola mungkin hanya sekadar hobi, bukan jalan hidup.
4. Preferensi sebagai Pemilik Klub
Jika pun tertarik dengan dunia sepak bola, anak-anak konglomerat cenderung memilih peran di belakang layar. Beberapa pengusaha ternama di Indonesia, misalnya, lebih memilih menjadi pemilik klub daripada pemain. Dengan cara ini, mereka tetap bisa berkontribusi pada olahraga ini tanpa harus menghadapi risiko fisik yang tinggi.
Contohnya, beberapa konglomerat Indonesia memiliki klub sepak bola di dalam dan luar negeri. Ini menunjukkan bahwa minat mereka terhadap sepak bola lebih terfokus pada aspek bisnis daripada atletik.
5. Fokus pada Pendidikan dan Karir Lain
Bagi keluarga konglomerat, pendidikan formal adalah prioritas utama. Mereka percaya bahwa gelar sarjana dan karir di bidang seperti bisnis, hukum, atau kedokteran akan memberikan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak mereka.
Tekanan untuk mengejar karir "konvensional" ini seringkali mengurangi minat anak-anak mereka terhadap sepak bola. Alih-alih menghabiskan waktu di lapangan, mereka lebih memilih fokus pada studi dan persiapan karir jangka panjang.
Contoh Internasional
Meski jarang, ada beberapa pemain sepak bola profesional yang berasal dari keluarga kaya. Salah satunya adalah Ricardo Kaka, mantan bintang AC Milan dan Real Madrid. Kaka berasal dari keluarga mapan; ayahnya seorang insinyur sipil dan ibunya seorang guru.
Namun, kasus seperti ini lebih merupakan pengecualian daripada norma. Kebanyakan anak konglomerat lebih memilih jalur karir yang lebih "aman" dan terjamin.
Jadi, mengapa anak-anak konglomerat Indonesia jarang menjadi pemain sepak bola? Jawabannya terletak pada kombinasi faktor-faktor seperti persepsi terhadap karir sepak bola, risiko cedera, kurangnya motivasi finansial, dan fokus pada pendidikan serta karir lain.
Meski begitu, bukan berarti mereka tidak berkontribusi pada dunia sepak bola. Beberapa di antaranya justru memilih untuk terlibat sebagai pemilik klub, membuktikan bahwa ada banyak cara untuk mencintai olahraga ini.
Bagaimana menurutmu? Apakah sepak bola harus menjadi pilihan utama, atau ada jalur lain yang lebih menjanjikan? Mari kita bahas bersama!.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI