Namun, mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda.
Gen Z tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil. Mereka menyaksikan orang tua mereka mengalami PHK mendadak dan pemotongan gaji, yang membuat mereka skeptis terhadap komitmen perusahaan.Â
Dalam kondisi seperti ini, muncullah pertanyaan: Mengapa mereka harus bekerja keras jika stabilitas kerja saja tidak bisa dijamin?
Sebuah laporan dari Deloitte menunjukkan bahwa Gen Z lebih menghargai perusahaan yang peduli dengan karyawan dan lingkungan.Â
Mereka menginginkan perusahaan yang tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka merasa tidak termotivasi untuk berinvestasi dalam pekerjaan.
Contoh Nyata: Misalkan, seorang karyawan Gen Z bernama Lisa. Dia bergabung dengan perusahaan yang terlihat menjanjikan.Â
Namun, setelah beberapa bulan, Lisa menyadari bahwa perusahaan tidak memberikan peluang pengembangan karier dan sering kali melakukan PHK tanpa alasan yang jelas. Rasa skeptis ini membuatnya kurang termotivasi untuk bekerja dengan maksimal.
2. Komunikasi yang Berbeda
Satu lagi tantangan yang dihadapi Gen Z adalah cara mereka berkomunikasi. Meskipun mereka dikenal sebagai penduduk asli digital, keterampilan komunikasi interpersonal mereka di lingkungan kerja tradisional bisa jadi kurang berkembang.
Besar di era media sosial dan komunikasi berbasis teks, banyak dari mereka kesulitan dalam berinteraksi secara langsung. Saat memulai karier di tengah pandemi, mereka lebih banyak berkomunikasi melalui pesan singkat dan video call.Â
Ketika akhirnya kembali ke lingkungan kantor, banyak yang merasa canggung saat harus berhadapan langsung dengan rekan kerja.
Sebuah artikel dari Harvard Law School menyoroti bagaimana Gen Z kehilangan kesempatan untuk belajar berkomunikasi secara langsung di waktu yang sangat penting dalam pengembangan keterampilan mereka.Â