Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luka di Bawah Hujan

1 Agustus 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap hujan turun perempuan itu akan berlari menuju jalan raya, menari di bawah butiran air yang jatuh membasahi wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Dia lalu tertawa dan mengindahkan cacian setiap pengguna jalan yang merasa terganggu oleh ulahnya. Aku memandangnya diam dari balik jendela kamar. Bukan takut. Tapi Nini bilang Umaku, perempuan itu, sudah gila. Bertahun-tahun setelahnya, aku pun mendadak gila setiap hujan turun.

***

Hujan kemarin masih menyisakan genangan air di halaman depan, bukti betapa lebatnya Ia turun. Beberapa pohon tua bahkan tumbang karena diterpa angin ribut yang juga menyertainya. Satu dua lelaki paruh baya membereskan sisa-sisa ranting pohon yang berserakan di jalan. Benar-benar bentuk kemurkaan alam yang mengerikan. Syukur saja tak ada korban.

Tentang hujan. Sebagian orang begitu bahagia ketika hujan turun. Bagi anak-anak hujan adalah waktunya untuk bermain, berkejaran di tengah derasnya air bersama kawan tanpa baju dan sandal. Bagi remaja hujan punya arti tersendiri, ada yang menganggapnya romantis, ada juga yang menyimbolkannya sebagai penghapus luka. Bagi petani hujan berarti vitamin untuk tanah di sawahnya yang sudah gersang karena kemarau.

Tapi hujan selalu menyisakan perih luka bagi kami, sebuah keluarga kecil yang tak lengkap. Entah sejak kapan aku melupakan bahwa hujan itu begitu indah, sejuk dan nyaman. Sekarang hujan hanyalah sekumpulan air dari langit yang membawa sejuta luka bersama bulir-bulir airnya. Iya, Ia membawa luka. Luka yang ditanamkannya pada jiwa kami, sebuah keluarga yang kehilangan harta berharga karena hujan.

Kemarin luka kembali pedih ketika dengan derasnya hujan mengguyur halaman rumah kami. Luka itu kembali menganga ketika kulihat Uma dengan tiba-tiba menerobos pintu depan dan berlari ke jalan. Aku tak pernah menahannya lagi sejak sepuluh tahun lalu, karena sia-sia saja. Dia akan terus memberontak dan tetap menghampiri jalan. Aku pasrah memandanginya dari teras rumah yang juga basah terkena bias hujan.

Dari kejauhan kulihat mulut Uma komat-kamit merapalkan sesuatu. Dia terlihat seolah menari-nari sambil menengadahkan tangan dan mukanya ke langit, menantang pasukan air itu. Beberapa pengguna jalan kadang memalingkan wajahnya dan mengamati kelakuan aneh Uma selama beberapa saat. Namun tetangga tak ambil pusing. Mereka sudah hapal kelakuan Uma setiap kali hujan turun 20-an tahun belakangan.

Hati ini tercabik, jiwa ini terkoyak melihat Uma menari-nari di tengah jalan. Dia tak akan berhenti sampai hujan reda, atau setidaknya sampai tenaganya tak lagi mampu menyangga tubuh rentanya. Dia akan kembali masuk rumah dengan sendirinya, itulah mengapa aku membiarkan saja dia memuaskan diri.

Jika Nini masih ada, dia akan membawaku ke pelukannya dan membisik pelan di telingaku, ”Jagalah milikmu yang berharga selama ia masih ada. Jagalah Uma.”. Lalu aku akan menangis terisak dan Nini akan membawaku ke kamar. Di kamar, aku akan merapat ke jendela dan memandangi Uma dari kejauhan. Itu yang kulakukan setiap hujan.

Tapi sekarang luka ini kutanggung sendiri. Aku tak bisa menangis sesenggukan lagi, karena tak akan ada yang akan memelukku dan menenangkanku. Aku tak bisa menjadi lemah, karena aku harus kuat untuk menjadi pelindung Uma. Karena perempuan itulah hartaku satu-satunya yang masih tersisa.

Uma berjalan gontai masuk rumah karena hujan sudah mulai reda. Aku menyambut dan memapahnya ke kamar. Kubalut tubuhnya yang menggigil dengan handuk lalu kubaringkan di kasur tipis kami. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkannya teh hangat. Sekembalinya aku ke kamar, Uma sudah menutup matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun