Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luka di Bawah Hujan

1 Agustus 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nah iya itu, banyak hantu di hutan, La. Pohon-pohon hilang entah kemana. Imbasnya ya ke kita ini. Kada ada yang menahan banyu hujan, jadilah air di gunung turun ke kampung kita yang memang daerah rendah.” Pak RT pun ikut menjelaskan.

Aku dengan pemikiran sederhanaku kemudian tanpa aba-aba mengutuki orang-orang asing yang sudah menggunduli hutan kami. Karena ulah mereka lah banjir kala itu menyerang kami dan kemudian menanamkan luka kehilangan pada diri Uma.

“Bagaimana agar tak banjir lagi, Mang?” tanyaku pada Amang Amat.

“Hutan jangan digunduli lagi, buang sampah jangan sembarangan.”

“Hutan ada yang jaga, Mang?”

Kada tahu, Amang nih kada mengerti masalah begituan. Mungkin ada, polisi hutan.”

Kata ‘Polisi Hutan’ membawa sedikit cahaya bagiku, karena yang kutahu polisi adalah orang-orang yang bisa menjaga kita dalam rasa aman. Jika mereka bekerja dengan baik, mungkin banjir tidak akan lagi jadi tamu tahunan bagi kampung kami. Mungkin Uma juga akan sembuh.

***

Sekarang hutan di Pegunungan Meratus sudah mulai aman dijaga pemerintah, walau tiap tahun kehijauannya tetap berkurang direbut tangan jahil yang masih tak terjamah oleh polisi hutan. Barabai tak lagi banjir setiap hujan lebat karena bendungan yang sudah dibangun dari hulu sampai ke hilir sungai. Kalau pun parah, paling hanya banjir setinggi mata kaki. Tapi Uma tetap tak berubah. Lukanya tergores terlalu dalam sekian lama, yang akhirnya menular padaku, anaknya satu-satunya. Setiap hujan, Uma akan berlari keluar sementara aku meraung di kamar. Kami adalah saksi akan luka yang ditinggalkan oleh jejak keegoisan manusia terhadap bumi. Sebab mengapa bumi begitu murka pada kita.

Banjarmasin, 13 April 2011

Keterangan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun