Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luka di Bawah Hujan

1 Agustus 2011   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“—tapi sudah hilang, Ma.”

Hilang, dalam masyarakat kami berarti sudah tak bernyawa. Kabarnya Abah dan Utuh ditemukan di pahumaan orang, terseret beberapa meter dari pahumaan milik kami. Subuh itu keduanya pergi ke pahumaan untuk menanam kacang panjang, pekerjaan masyarakat Barabai pada umumnya selain bertani. Namun rupanya itu adalah pekerjaan rutin yang terakhir bagi Abah dan Utuh.

Kulihat wajah Uma dan Nini bergantian, keduanya menitikkan air mata dalam diam. Aku saat itu tak merasa begitu kehilangan karena Abah dan Utuh, kakakku, tak begitu dekat denganku. Namun rupanya kepergian dua laki-laki itu memberi efek luar biasa pada kehidupan kami selanjutnya.

***

Kepergian Abah dan Utuh membuat Uma begitu terpukul. Dia mencintai keluarganya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Uma rela makan tak pakai lauk asal keluarganya bisa makan sedikit lebih enak. Uma adalah bentuk cinta paling nyata yang pernah aku temukan di hidupku.

Awalnya aku tak mengerti mengapa Uma berubah begitu drastis setelah kehilangan itu. Yang aku tahu hanyalah Uma menjadi aneh setiap kali hujan turun dan air mulai menggenangi halaman rumah kami. Dia menjadi-jadi ketika kampung kami mulai banjir, yang memang terjadi setiap tahunnya. Namun belakangan, entah karena sudah menjadi kebiasaan, setiap hujan turun walau tak banjir, Uma tetap aneh.

Menginjak dewasa aku mulai mengerti bahwa Uma mengalami trauma berat akan kehilangan yang menimpanya. Dia menjadi takut pada hujan karena kenangan kehilangan Abah dan Utuh menyerang pikirannya setiap kali melihat air yang banyak. Itulah yang membuatnya keluar rumah ketika hujan turun, menengadahkan tangan dan mukanya ke langit lalu meneriakkan hal yang sama setiap kalinya.

“Hujan berhenti. Banjir. Hilang. Abah. Utuh. Hujan berhenti. Banjir. Hilang. Abah. Utuh…” tanpa henti sampai Ia kembali masuk ke rumah.

Kata orang, Uma gila. Uma sudah pernah dicoba dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Namun kata dokter Uma tak gila, Ia normal seperti orang kebanyakan. Maka Uma kembali kubawa ke rumah, kuasuh sendiri, toh Uma tak merugikan siapa-siapa. Dokter benar, Uma tak gila. Uma hanya akan bersikap aneh jika hujan mulai turun.

Keanehan Uma kemudian mengusik rasa penasaranku mengapa kampung kami tidak pernah absen dihampiri banjir. Aku bertanya pada orang-orang yang lebih berpendidikan, mengingat aku tak mengerti apa-apa karena setelah kepergian Abah, ekonomi kami semakin menurun sehingga aku tak bisa meneruskan sekolah.

“Banjir itu karena hutan di Pegunungan Meratus[1] gundul tuh!” ujar Andi, tetanggaku yang begitu beruntung bisa menyambangi bangku kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun