Nama itu, Reformasi itu, yang tak sesempit ingatan orang-orang akannya. Begitu ringkas seakan tuntas cuma lewat perayaan dengan peringatan saban tahun. Tak ada yang salah. Tapi, 1998 jadi ritus yang tak khidmat. Pemaknaan nama itu telah boyak. Barangkali, mencari Farid atau Pius dan semacam ALDERA, juga ribuan kaum muda yang terkena sihir revolusi jiwa semakin langka hari-hari ini.
Sihir itu mesti kembali, di tengah Republik ini kian ditinggal penggemarnya. Ia yang terus disalahkan, dibandingkan, juga dijauhi dari obrolan-obrolan ringan anak muda. Untuk itu, kita mesti yakin, memaknai benar Reformasi 1998 bisa jadi elan tersendiri. Sambil berharap sihir itu ada lagi. Salah satunya dengan membaca tuntas buku ini, terutama bagi generasi native demokrasi: milenial dan Z.
Setidaknya kita menjadi mengerti bahwa demokrasi yang dinikmati hari ini bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, melainkan dari perjuangan, darah, dan nyawa figur-figur yang tanpa menyoal diri dengan jubah nama besar. Juga, bukanlah sesuatu yang siap saji. Karenanya, demokrasi menuntut kita, rakyat, untuk ikut berpartisipasi secara aktif.
Seperti ALDERA yang dibubarkan oleh para aktivisnya pascareformasi sebab raison d'etre-nya, yakni menumbangkan Soeharto, telah tercapai. Maka, kali ini dan yang akan datang, kita, milenial dan gen Z, mesti memikirkan semacam raison d'etre-nya dalam mengisi demokrasi dan menuntaskan agenda-agenda Reformasi. Seperti ALDERA, sekali berarti sudah itu mati (hal. 281).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H