Artinya, Reformasi muncul karena, meminjam Tan Malaka (bapak Republik Indonesia) dalam mengomentari jalannya revolusi kemerdekaan, sebuah l'evnement lain: "Bukan semata-mata ide yang luar biasa dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa," ia justru timbul sebagai "akibat tertentu dan tak terhindarkan dari pertentangan dan kesenjangan yang kian hari kian tajam."
 Bisa dikatakan, "hasil dari berbagai keadaan" atau dalam kalimat Pius Lustrilanang, figur utama Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA), satu dari sedikit organisasi kaum muda jelang Reformasi yang menonjol, dengan "kondisi obyektif yang ada, kondisi ketidakpuasan masyarakat, sudah matang dan merata (hal. 232-233)." Sebuah kejadian besar (l'evnement) itu.
Tokoh dan Figur
Memang benar adanya, apa yang dikatakan Thomas Carlyle (sejarawan Skotlandia abad 19), bahwa the history of the world is the biography of great man. Tiap peristiwa yang dicatat berpusat pada sang nama besar. Seperti 1945 yang diingat sebagai tonggak waktu paling bersejarah bagi Indonesia saat Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Seperti 1998 yang dikenang sejarah sebagai puncak perjuangan melawan Orde Baru yang despotik dengan Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh representatifnya. Tak lebih.
Figur tanpa nama, mereka yang bergerak berani, rela, dengan kesakitan, dan berbayang penculikan, bahkan kematian teramat sulit untuk terus diingat. Figur-figur itu bukan sebuah judul atau tokoh di tengah halaman sejarah, bahkan mereka kerap diringkas dalam metonimia: ribuan pemuda, gerakan mahasiswa, aktivis senior, kelompok, serikat, front, barisan, aliansi, forum X, komite Y, organisasi Z. Dalam Ensiklopedia Sejarah Indonesia, mereka tak dicatat satu per satu.
Karenanya, buku ini kembali menjadi menarik sebab ikhtiarnya dalam menginterupsi penulisan sejarah yang mapan lewat pendokumentasian "figur-figur Reformasi," bukan tokoh. Figur-figur tanpa nama yang turun ke jalan oleh sebab ada hal yang mesti direbut, bukan ditunggu: "Kemerdekaan (kebebasan), kemenangan, dan harapan." Seperti Chairil Anwar yang dengan liris menggambarkan situasi revolusi kemerdekaan, buku ini pun demikian: memotret gerakan kaum muda jelang Reformasi, terutama ALDERA. Mereka gugur, "Terbaring antara Krawang-Bekasi". Terbentur antara Peristiwa Kopo-Peristiwa 27 Juli 1996.
Figur-figur tak dikenal itu jadi "pahlawan," mereka yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer tersihir "revolusi jiwa, dari hamba, jongos, dan babu menjadi jiwa merdeka," bukan sekadar akibat dari retorika satu dua tokoh atau nama besar. Karenanya, para pahlawan tak dikenal itu tak takut mati: "Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu." Juga, yang tak terdengar kabarnya, dinyatakan hilang, bahkan hingga hari ini: Suyat, Hermawan Hendrawan, Yani Afri, Sony, M. Yusuf, Ismail, Nova Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Wiji Thukul, Hendra Hambali, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Dedy Hamdun (hal. 34).
Di luar sejarah, epos revolusi jiwa kaum muda itu pun diurai. Mendengar kembali nama-nama itu dalam buku ini mengingatkan kita pada novel yang menggambarkan situasi kebatinan yang sama dengan Reformasi, ketika revolusi kemerdekaan terjadi, suatu kejadian besar (l'evnement) lain bangsa Indonesia. Judulnya: Di Tepi Kali Bekasi. Sang figur utama yang berjuang tanpa jubah nama besar.
Farid, pemuda Jakarta yang ikut perang di awal Republik ini lahir, yang bermula karena ingin jadi prajurit seperti ayahnya, bekas serdadu Kompeni. Ia ingin bebas merdeka, tak ada kolonisasi lagi. Sebuah tekad yang buat sang bapak mengeluh, melihat punggung anaknya pergi, tanpa menoleh:
"Zaman revolusi kemerdekaan... alangkah banyak korban yang dipintanya. Dan anakku sendiri pergi untuk itu." Pun di zaman menjelang Reformasi, tiap-tiap ibu cemas pada anaknya yang sedang memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Seperti Farid, Pius juga demikian. Pascapenculikan terhadap dirinya, ibunya hadir menguatkan agar Pius berani bersaksi di meja Komnas HAM. "Kita harus perang," katanya (hal. 22).
Sekali Berarti Sudah Itu Mati