Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013): Janji Nggak Nangis?

25 Juli 2022   21:04 Diperbarui: 31 Juli 2022   22:32 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) merupakan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Buya Hamka (1938) dengan judul yang sama. 

Rangkuman Film

Menceritakan seorang lelaki sederhana berdarah setengah Padang dan setengah Makassar bernama Zainudin yang saling cinta dengan seorang gadis Padang asli dan datang dari keluarga orang terhormat di daerahnya. Oleh karena budaya Padang yang teramat kuat dalam mempertahankan kemurnian pertalian darah, cinta mereka tentu terhalang. 

Pada akhirnya Hayati dijodohkan dengan seorang pemuda lain yang kaya raya dan sesuku-sebangsa bernama Aziz, sedang Zainudin menanggung luka hati dengan teramat dalamnya hingga mengguncang kejiwaan. Namun waktu demi waktu, Zainudin dapat sembuh lalu bangkit dan menjadi seorang sastrawan masyhur berkat menulis kisah cintanya dengan Hayati. 

Sebuah roman yang menguras airmata, begitulah ungkapan yang tepat bagi karya ini. Baik bukunya maupun film, saya telah menikmati keduanya. Akan tetapi, buku itu pertama kali saya baca manakala saya masih duduk di bangku SMP, belum sadar mengerti perkara berkasih dan masih banyak mengandaikan seperti apa cinta. Saya menangis membaca buku itu, tapi rasanya begitu sudah selesai membaca ... ya sudah begitu saja. Berganti membaca buku lain, menangisi kisah-kisah yang lain. 

Barulah, pada saat duduk di bangku semester enam atau tujuh perkulianan, saya berlangganan dengan salah satu media menonton secara legal. Saya tontonlah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck versi film. 

Tokoh dan Pemeran

Sejak menit-menit awal saya menonton film ini, saya kuyub airmata. Para pemeran yang dipilih dalam film ini menurut saya sangat tepat. Baik Herjunot Ali sebagai Zainudin, Pevita Pearce sebagai Hayati, maupun Reza Rahadian sebagai Aziz merupakan gambaran yang sangat cocok untuk mewakili setiap tokoh. 

Mungkin, beberapa orang ada yang berpendapat mengapa Hayati diperankan oleh Pevita yang notabene seorang blasteran. Tapi, menurut saya Pevita punya wajah Indonesia yang lebih kental, tidak terlalu bule. Jadi, dalam memerankan Hayati pun sah-sah saja, didukung dengan riasan serta gaya berpakaian. Dalam film ini, Pevita sangat Hayati.

Oh, saya juga ingin mengapresiasi Herjunot. Dalam film ini, dialah yang paling luar biasa pendalamannya. Kesedihan, kemarahan, dan kedalaman cinta benar-benar bisa dia luapkan sebagai diri sendiri seolah pada saat itu dia tidak menyisakan Herjunot Ali akan tetapi telah mengganti seluruh jiwanya dengan Zainudin. 

Ini nampak di beberapa adegan emosional misal saat Zainudin guncang jiwanya, tatapan mata yang benar-benar hampa dan sakit begitu nyata. Bahkan, di adegan akhir pada saat ia terjerit menangis di sisi Hayati, saya sampai melihat air liurnya menetes (ups, hahaha). Dan insiden itu benar-benar seakan tidak disadari maupun diindahkannya. 

Magnet dari Segi Bahasa

Kemudian, apa yang membuat film ini meninggalkan jejak tidak tergantikan di hati saya adalah bahasa yang digunakan. Setiap ucap yang dituturkan Hayati dengan Zainudin terdengar begitu syair di telinga saya sebagai penggila kata, hingga saya berandai, saya tentu senang jika bisa berbahasa seperti mereka setiap hari---bukan hanya dalam puisi.

Saking terkesimanya, saya hafal beberapa dialog mereka. Favorit saya adalah pada adegan di mana Hayati meminta maaf kepada Zainudin setelah meninggalkannya dan menikahi Aziz. Zainudin saat itu dengan marahnya berucap,

Kauregas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?

kemarahan yang menyembunyikan cinta kekal benar-benar terdengar dari kalimat itu. 

Zainudin adalah gambaran bagaimana akal berkuasa di atas cinta. Setelah ia bangkit, dirinya menjadi congkak di atas hati sendiri. Meski di ruang kerjanya yang tak boleh dimasuki siapa pun itu masih terpajang besar gambar wajah wanita dipujanya, meski tulisannya senantiasa menceritakan sang puja, namun dikatakannya,

Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!

merendahkan Hayati yang saat itu telah janda.

Sinematografi 

Selain dari segi bahasa, saya mengagumi sinematografi yang disajikan. Film ini kerap menggunakan eye level angle dengan tujuan memberikan visual pada adegan. Sebab, secara keseluruhan film ini lebih menonjolkan sisi narasi. Penggunaan long shot, medium shot, medium close up, dan close up pun sering digunakan guna memberikan informasi ruang, tempat, juga detail kejadian.

Pemilihan Lagu Latar

Lagu latar yang digunakan dalam film ini juga memiliki peran-andil yang besar dalam menambah ledakan emosi. Ya, juga turut bertanggung jawab atas menangisnya saya hingga sakit kepala. Dua lagu latar utama adalah Nidji - Sumpah dan Cinta Matiku serta Nidji - Terusir.

Di antara lirik dari lagu pertama berbunyi, 

Selama nafasku berembus hanya kamu di doaku, selama mataku memandang hanya kamu cinta matiku. Dengarlah dunia, rintihan hatiku yang terbalut dalam doaku. Inilah sumpahku, dengarlah dunia ....

Potongan dari lagu tersebut tentu menggambarkan bagaimana cinta yang tersimpan dalam hati Hayati dan Zainudin benar-benar kuat. Bahkan walau Hayati telah menikahi Aziz, cinta itu masih ada. Begitu pula Zainudin, walau telah bangkit namun sesungguhnya hatinya tidak berpaling sedikit pun bertahun lamanya. Cinta yang benar-benar dibawa keduanya hingga liang pusara.

Dalam lagu kedua bertajuk Terusir, lebih digambarkan kemarahan Zainudin atas kesampai-hatian kekasihnya. Sebuah potongannya berbunyi, 

Oh Tuhan ampunilah dosa, niat buruk di doa. Aku inginkan dia merasakan getir cintaku, menunggu karma. Aku menunggu karma. 

Judul lagu ini, Terusir (Teroesir), juga merupakan judul yang sama dengan sebuah buku karangan Zainudin yang menceritakan kisah cintanya dengan Hayati. Buku itulah yang pada akhirnya dibaca sendiri oleh Hayati lalu membawa mereka bertemu untuk kedua kali dalam keadaan yang telah berbeda yakni Hayati sebagai seorang istri dari Aziz serta Zainudin yang telah masyhur selaku pengarang. 

Penilaian Pribadi

Secara keseluruhan dan atas pandangan subyektif selaku penikmat, film ini, hingga artikel ini ditulis merupakan satu-satunya film yang dapat saya berikan nilai 10/10. Penilaian mungkin berbeda dari masing-masing pribadi. Saya telah menonton ulang film ini berulang kali dan tetap sama tegunnya dengan yang pertama.

Sejak menonton ini, standar film romantis saya naik. Saya pun jadi menunggu film apa yang sekiranya bisa mengalahkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di hati saya. Mari menonton lagi, kelak akan saya ulas di sini jika saya temukan.

Baik, sekian dari saya. Terima kasih telah membaca. Saya akan sangat senang jika artikel ini dapat membuka diskusi, sampaikan sesuatu jika ada yang perlu dibagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun