Gereja Katedral Makassar. Mengutip pemberitaan dari Kompas.com yang ditulis oleh Luthfia Ayu Azanella (29/3), ledakan terjadi pada pukul 10.28 WITA.Â
Minggu, 28 Maret 2021 masyarakat Indonesia digegerkan dengan peristiwa ledakan bom di depanDijelaskan dalam kronologi kejadian, saat peristiwa itu jemaah tengah bersirkulasi; sebagian keluar setelah selesai misa dan sebagian lain datang guna mengikuti jadwal misa berikutnya. Dua pelaku dengan gerak-gerik mencurigakan datang mendekati pintu masuk gereja dengan menaiki sepeda motor. Beruntunglah petugas keamanan berhasil mencegahnya masuk.Â
Ledakan cukup besar pun terjadi dalam proses pencegahan itu serta terekam oleh kamera CCTV yang terdapat di sekitar lokasi. Akibat kejadian tersebut, dilaporkan dua orang yang terduga pelaku tewas, serta 20 orang terdiri dari jemaat, warga, serta petugas keamanan gereja mengalami luka-luka dan telah mendapatkan penanganan medis.
Tindakan terorisme telah menjadi musuh besar masyarakat. Selain mengancam nyawa orang lain, tak dapat dipungkiri bahwa isu besar ini pula mampu memecah belah kerukunan antar umat beragama mengingat hampir segala peristiwa terorisme di negeri ini terbalut dalam identitas agama tertentu.
Lantas, apa sebenarnya makna dari terorisme? Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme):Â
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Berbagai pertanyaan pun muncul.Â
Bagaimana fanatisme dalam beragama mampu mendorong seseorang bertindak di luar batas kemanusiaan?
Pertama, fanatisme sebagaimana dijelaskan oleh Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RS Awal Bros A.Yani, dr. Ade Saputra Mulyapranata, Sp.KJ, yang dikutip dari laman resmi Awalbros.com
"Fanatisme terjadi akibat adanya hal yang diyakini secara berlebihan. Ketika fanatisme sudah memberikan dampak buruk bagi diri orang tersebut dan mengganggu orang sekitarnya, maka hal tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai gangguan psikologis. Ketika sudah meyakini secara ekstrem suatu hal sebagai sesuatu yang benar, seseorang cenderung mengabaikan informasi yang kontradiktif dengan keyakinannya dan mereka tidak mampu untuk melihat sudut pandang lain."
Gejala dari fanatisme antara lain:
- Ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompok;
- Merasa sangat tertutup terhadap pendapat orang lain;
- Menentang orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat dengan pribadinya.
Â
Gejala-gejala tersebut sering kali ditampakkan oleh para pelaku terorisme. Orang-orang dengan fanatisme agama atau keyakinan secara berlebihan ini biasanya telah menerima doktrin-doktrin mengenai ajaran "agama" yang dianutnya; padahal, ajaran yang mereka terima tidak sesuai dengan kebenaran syariat dan bahkan bertentangan.
Belajar melalui pengakuan sang mantan narapidana kasus terorisme Yudi Zulfachri, dia mengungkapkan pola-pola doktrin yang diajarkan dalam terorisme. Pertama, para pelaku terorisme biasanya dijejali dengan "doktrin tauhid", dipinta untuk melakukan pembuktian dan ditekankan bahwa syahadat-syahadat mereka belum tentu diterima. Dengan doktrin ini, tentu saja orang-orang yang tengah mencari Tuhan akan bertanya-tanya bagaimana caranya mereka bisa mendapatkan jalan terbaik menuju Tuhannya.
Selanjutnya, Yudi menjelaskan bahwa dalam keadaan tersebut, disisipkanlah doktrin-doktrin berikutnya yang mengajarkan bahwa kebencian serta permusuhan merupakan syarat dari keimanan. Contoh hasil dari doktrin ini adalah aksi teror di tiga gereja di Surabaya, Rusunawa di Sidoarjo dan Mapolda Riau. Masyarakat yang terdoktrin biasanya akan cenderung kehilangan akal sehat. Dapat dilihat dari dilibatkannya anak-anak dalam aksi teror 3 gereja Surabaya.
Berangkat dari fanatisme terhadap kepercayaan yang telah didoktrinasi tersebut, muncullah narsistik dalam diri teroris. Secara klinis, narsisme dalam tingkat ekstrim merupakan sebuah gangguan mental yang termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), dalam psikologi dikenal dengan sebutan Narcissistic Personality Disorder yakni pola berkepanjangan akan perasaan megah, kebutuhan untuk dikagumi serta kurangnya rasa empati, (American Psychiatric Association, 2013).
Sebagai gejala, seseorang dengan Narcissistic Personality Disorder akan melebih-lebihkan kemampuan diri mereka di atas kemampuan sebenarnya, mereka beranggapan diri mereka layak serta memiliki dorongan untuk melakukan tindakan yang berbeda dari orang-orang serta merasa layak mendapat perlakuan istimewa, mereka juga cenderung memiliki perasaan menginginkan pujian, menggunakan atau memanfaatkan orang lain, sedikit empati, serta rentan mengalami depresi akibat kesukaran mereka menepati ekspektasi mereka terhadap diri sendiri, (Barlow dan Durand, 2012).
Sedangkan diungkapkan oleh Nevid, dkk. (2005), individu dengan kepribadian narsistik cenderung terpaku pada fantasi akan keberhasilan serta kekuasaan, cinta yang ideal, atau pengakuan atas kecerdasan atau daya tarik mereka.
Dari ciri tersebut, apabila dihubungkan antar ketiganya; (1) tindakan terorisme sebagai akibat dari terpeliharanya fanatisme dan (2) diperkuat dengan kesaksian Yudi Zulfachri yang menyatakan pola-pola doktrin yang diajarkan dalam terorisme, dapat kita tarik benang kepada perihal ketiga bahwa (3) kepribadian narsistik merupakan karakter kepribadian yang lekat dengan pelaku terorisme.Â
Penjelasannya, sebagai akibat atas tertanamnya fanatisme kemudian mulai dimasukkannya doktrin yang menjanjikan "surga jalur kilat" serta tuntutan pembuktian kepada kecintaan mereka terhadap agama, seseorang menjadi narsistik dengan terdorong untuk membuktikan kehebatan serta kelayakan dirinya, kehilangan empati serta nilai-nilai kemanusiaan sebab segalanya telah tergantikan dengan pemikiran bahwa mereka yang tak berada di jalannya merupakan musuh yang halal dituntaskan, juga dibayangi oleh fantasi akan keberhasilan yang dijanjikan berupa surga dan kekekalan.
Dengan pemaparan ini, diharapkan mampu terjawab berbagai pertanyaan yang mungkin terlintas di benak kita mengenai apa yang sebenarnya berlaku dalam angan pelaku terorisme tersebut.Â
Akhir dari tulisan ini, terorisme merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Bahkan, dalam agama pun tertulis bahwa kekerasan bukan merupakan bagian dari ajaran. Dalam kitab Quran telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak mengajarkan manusia membunuh orang kecuali ketika dalam keadaan terdesak.
"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. Al Maidah: 32).
Sebagai manusia yang terbekali akal, rasa, budi dan pekerti, mari saling menjaga supaya kita dan orang-orang di sekitar kita terhindar dari bahaya paham terorisme dan radikalisme yang mengantar kita menjadi fanatik dan narsistik hingga berubah menjadi manusia dingin nun lebih teringin meraih surga dengan cara binasa ketimbang meraih kekekalan dengan menjaga kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H