Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Alan

30 November 2020   06:01 Diperbarui: 30 November 2020   07:04 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh: Tiv Firsta


Sebuah komputer setinggi delapan kaki dan selebar sepuluh kaki berdiri secara elegan di hadapan mata Alan. Jarinya mengetik barisan kode yang panjang, terpampang pada permukaannya yang futuristik. Kemudian, pada bagian akhir dari kode panjang tersebut tertulis sebuah pesan.

"Mencoba menghubungi Alan dari sisi lain," disentuhnya sebuah tombol yang membawanya kepada tampilan tunggu.

Ini adalah percobaannya untuk ke sekian kali. Jemarinya tegang menanti tampilan tunggunya bereaksi. Bermenit-menit lamanya, nihil. Seorang asisten laboratorium menepuk pundak Alan secara mengejutkan. Jemarinya pun mencampakkan tombol komputer yang sedari tadi masih disentuhnya, segera memalingkan muka ke arah sentuhan.

"Prof, baiknya anda beristirahat. Sudah tiga hari tidak pergi tidur," kata lelaki itu.

"Kau benar, tubuhku lelah sekali. Aku tidak bisa bekerja lagi. Aku akan pergi tidur setelah ini, terimakasih."

Belum sempat asisten laboratorium tersebut meninggalkan pintu, Alan terjatuh ke lantai. Seketika ia menghampiri tubuh Alan yang tidak lagi mendengar panggilannya berkali-kali. Ditelponnya ambulan yang dengan segera membawa Alan ke rumah sakit terdekat. Alan terkena serangan jantung, nyaris saja nyawanya melayang. Beruntunglah satu asistennya belum sempat pergi dari ruang kerja mereka. 

Istri Alan berlari melalui koridor rumah sakit menuju tempat dimana Alan dipulihkan dengan membawa anak perempuan mereka, Kalila yang masih berusia sekitar lima tahun. Anak perempuan itu masih belum terlalu mengerti mengenai apa yang terjadi kepada ayahnya. Sedangkan Magdalena, istri Alan, menangis tersedu-sedu sejak pertama kalinya mendengar kabar.

"Beliau ada di dalam, Nyonya. Sudah ditangani dengan baik dan tepat waktu. Saya pamit untuk kembali ke laboratorium sebab komputer tadi tidak sempat saya matikan." pamit sang asisten.

"Terimakasih banyak Tuan Sullivan. Entah apa jadinya jika anda tidak ada," Magdalena tersenyum.

Ketika Sullivan sampai, matanya hampir tak mempercayai apa yang dilihatnya. Layar kaca di hadapannya tak lagi berada di ruang tunggu melainkan tengah memampangkan sebaris jawaban.

"Profesor Alan Huntington menjawab. Dengan siapa saya berbicara?"

Sullivan tak mengira hipotesis bahwa alam semesta terdiri dari ribuan sistem paralel rupanya bukan suatu omong kosong. Profesor Alan membangun proyek ini selama bertahun-tahun untuk bisa mengkoneksikan antara satu sistem ke sistem lain. Dengan komputer yang belum diberikan nama ini, ia berhasil menghubungi kembaran dirinya yang berada di sistem lain tersebut.

"Setelah penelitian melalui gelombang suara dan cahaya mengenai kemungkinan adanya alam paralel, terdapat hipotesis baru. Di semesta raya ini diperkirakan ada ribuan Alan. Ada ribuan aku dan ada ribuan kau. Kita dilahirkan secara bersamaan dan diberikan algoritma. Algoritma inilah yang bisa membuat Alan yang ada dalam dimensi ini berbeda nasib dengan Alan dari dimensi yang lain; tergantung pilihan hidup mana yang masing-masing Alan tempuh. 

Analoginya seperti dua ponsel dengan merk yang sama dan juga seri yang sama, kemudian satu ponsel dibiarkan menjalankan menu A, ponsel yang lainnya dibiarkan menjalankan menu B; dua benda yang sama, tetapi beda aksi. Aku percaya bahwa di antara Alan-Alan itu, pasti ada Alan yang formula algoritmanya paling identik denganku. Dia juga merupakan Alan yang bekerja di laboratorium untuk membangun komputer ini. Jika aku berhasil mengkoneksikan komputerku dengan komputernya, dimensi kita akan terhubung, sehingga kita dapat saling meneliti." begitulah papar Alan sebelum komputer tersebut didirikan.

Sullivan tak berani memberikan reaksi apapun kepada komputer itu sebab hanya Alan yang berhak mengambil tindakan berikutnya. Akhirnya, Sullivan tetap membiarkan komputer itu menyala dan ia memutuskan untuk menginap di laboratorium untuk menjaganya serta memastikan cadangan energi selalu tetap menyala hingga kondisi Alan cukup memungkinkan untuk ditanyai perihal aksi lanjutan dari penelitian tersebut.

Keesokan hari, asisten laboratorium lain datang dan tampak kaget melihat komputer besar tetap menyala dengan rekan mereka tertidur di hadapannya. Sullivan menceritakan apa yang terjadi, kemudian salah satu di antara mereka mencoba mendatangi Alan untuk melihat kondisinya sekaligus bertanya adakah langkah yang dapat dijalankan selanjutnya.

"Bagaimana kondisi anda, Prof?" tanya asisten laboratorium.

"Aku sudah membaik, tenanglah." sembari tersenyum.

"Saya kemari membawa kabar baik mengenai proyek kita," diceritakannyalah kejadian yang dilihat Sullivan.

Kabar menggembirakan ini begitu melegakan hati Alan dan berperan dalam pemulihannya. Alan meminta asistennya membalas percakapan itu. Setiap hari asisten-asisten memberitahukannya perkembangan komunikasi yang terjalin lintas dimensi tersebut sampai akhirnya Alan benar-benar dinyatakan sembuh serta diperbolehkan untuk bekerja kembali.

Komunikasi terus berlangsung, tumbuh keinginan di hati Alan dan juga kembarannya untuk bisa saling bertemu. Mereka pun berencana membangun portal lintas dimensi. Proyek gila ini tercium oleh berbagai media. Dunia pun digemparkan dengan sebuah inovasi 'tangan Dewa'. 

Banyak terjadi pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa portal dan alat komunikasi antar dimensi ini dapat digunakan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama antar dimensi. Akan tetapi, banyak pula pihak yang merasa takut jika perubahan besar ini akan berdampak pada kerusakan atau kesalahan fatal sebab sebuah 'dinding' yang semestinya tidak dapat ditembus pada akhirnya bisa ditembus dengan akal cerdas manusia.

Pembangunan tetap berlanjut, bagaimanapun. Kedua Alan dibantu oleh ilmuwan-ilmuwan besar dunia serta digelontori dana fantastis oleh pemerintah serta investor mulai menciptakan terowongan penghubung lintas dimensi tersebut. Proyek yang begitu besar dan melahirkan lebih besar kontroversi hingga pertentangan, hal ini mengakibatkan laboratorium mereka benar-benar harus dipindahkan dari tengah kota ke sebuah pulau terasing. Pulau itu dijaga ketat supaya masyarakat tidak dapat memasukinya sehingga pekerjaan pun lebih terjaga dari para kontranya.

Setelah lebih dari delapan tahun pada akhirnya gerbang tersebut benar-benar berdiri. Setelah menelan miliar dollar serta relawan-relawan keilmuan yang gugur, gerbang serupa cermin bundar raksasa berdiameter tiga puluh dua kaki yang dalam publikasi terakhirnya berhasil tersiar pada jutaan lembar surat kabar, tayangan televisi dan radio dunia. Alan sesontak benar-benar didewakan sebab dialah yang memiliki peran terbesar dalam ide gila tersebut. Dengan kehormatan kedua Alan berhak membuka dan mengoperasikan alat tersebut pertama kali.

"Kita masukkan tikus ini, kita akan lihat dapatkah ia bertahan di sana." Alan memasukkan tikus ke portalnya.

Awalnya semua tampak baik-baik saja, namun setelah beberapa saat tikus tersebut menunjukkan tanda keanehan. Tikus itu tampak diam bagai beku, kehilangan kesadaran dan bergerak tidak beraturan kemudian kembali ke kondisi semula. Para peneliti mengira hal tersebut terjadi sebagai gejala adaptasi tapi beberapa saat kemudian sesuatu yang mengerikan terlihat. Tubuh tikus itu hancur, melebur dan mendebu, hilang dari pandangan. Rupanya dimensi lain tetap bukanlah tempat yang kondusif untuk disinggahi. Meski begitu, portal tetap dapat digunakan sebagai jendela untuk bertatap muka meski tidak bisa saling menyentuh maupun melampaui.

Kedua Alan saling berhadapan, serupa tetapi tetap bukan sama persis. Alan dari dimensi lain tampak lebih bugar, sebab adanya perbedaan dari gaya hidup. Alan kita lebih tidak peduli kepada pola makan dan juga jam tidur. Kesamaan dari kedua Alan ini hanya berlaku pada formula algoritma jalan karir mereka. Jalan pendidikan serta pekerjaan yang mereka ambil sedari awal benar-benar sama persis; hal ini jugalah yang bisa sampai mengantarkan mereka saling bertemu. Mereka pun saling melemparkan pertanyaan mengenai kehidupan yang dijalani.

"Apakah istrimu juga bernama Magdalena?" tanya Alan dari dimensi kita.

"Ya, tetapi kami memutuskan untuk bercerai," jawab Alan dari sisi lain.

"Apa kaubilang? Cerai? Mengapa?" Alan sangat terkejut mendengar pernyataan itu. Bahkan ia tiada bayangan sama sekali untuk berpisah dari Magdalenanya.

"Magdalena tidak mau punya anak. Ia lebih mementingkan karirnya sebagai model dan menganggap bahwa memiliki anak akan menghambatnya, sedangkan aku sangat mengharapkan buah hati dari pernikahan kami. Pada akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya dan membiarkannya meraih apa yang ia mau," jelas sang kembaran.

"Tunggu, apa kau punya anak?" imbuhnya.

Alan tersenyum kepada kembarannya tersebut. "Ya, anakku bernama Kalila, seorang gadis yang sangat cantik seperti ibunya. Magdalenaku juga dulunya merupakan seorang model akan tetapi, bedanya ia lebih memilih meninggalkan karirnya untuk keluarga kecil kami."

"Bolehkah aku bertemu dengan Kalila?" Alan yang lain meminta.

Keesokan hari, Alan membawa Kalila yang telah mulai beranjak menjadi gadis remaja. Alan menunjukkan jelitanya tersebut kepada kembarannya. Sedangkan Alan dari sisi lain mencoba mengundang Magdalena, mantan istrinya, untuk datang ke laboratoriumnya. Meski telah berpisah mereka memang masih menjalin komunikasi yang baik dan tetap bersahabat. Magdalena mengiyakan ajakan tersebut. Alan dan Kalila berjumpa dengan Alan dan Magdalena dari balik cermin. Momen ini adalah satu bagian terindah dari terciptanya portal itu.


"Kau adalah Kalila?" Alan yang terbingkai layar menatap secara tertegun-tegun. Benar saja bahwa gadis itu mewarisi kerupawanan Magdalena.

"Ayah, Ibu!" Kalila tetap memanggil Alan dan Magdalena yang lain dengan sebutan itu.

"Bagaimanapun kalian adalah Ayah dan Ibuku juga. Senang bertemu kalian," sambung Kalila.

Perasaan sayang menginapi lubuk hati sepasang pria dan wanita dalam bingkai itu. Sesaat mereka merasa bagaikan kedua orangtua yang telah membatalkan kelahiran anak cantik mereka sendiri. 

Magdalena terdiam. Ia menangis haru, sedikit sesal meniup wajahnya. Seumpama ia lebih tidak memikirkan ketakutan akan kehilangan karirnya dan memenuhi permintaan Alan untuk segera memiliki keturunan, mungkin saat ini ia tengah bersama dengan Kalilanya. Magdalena mengangkat tangannya dan hendak meraih Kalila namun dengan segera Alan menariknya dan mengatakan kepada Magdalena bahwa sangatlah berbahaya untuk menembus portal itu.

"Aku ingin memeluknya, dia anakku," Magdalena menangis. 

Alan mendekapnya dan mengisyaratkan untuk mengakhiri perjumpaan tersebut sebelum Magdalena benar-benar berlari menembus portal.

Setelah teruji dan diresmikan, komputer dan portal itu kini menjadi aset dunia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian serta studi ilmu pengetahuan. Untuk penggunaan pribadi agar tetap bisa berkomunikasi dengan kembarannya, kedua Alan membuat lagi satu copy komputer dengan ukuran perangkat yang lebih kecil.

Pertemuan singkat terakhir antar satu diri dua dimensi itu rupanya membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan salah satu Alan. Beberapa lama setelah tak berkabar, Alan menerima tulisan dari saudara kembarnya.

"Terimakasih telah memperkenalkan kami dengan Kalila. Setelah hari itu, sesuatu terjadi. Aku dan Magdalena saling mengakui kesalahan. Kami juga saling menyatakan bahwa sesungguhnya kami masih saling merindukan satu sama lain, hanya saja terhalang oleh keegoisan dan juga keinginan masing-masing. Saat ini kami memutuskan untuk kembali bersama. Kami berencana untuk mendapatkan seorang anak juga, sekalipun kami tahu yang akan hadir tentu bukan Kalila melainkan anak lain. Kalila tidak akan pernah mungkin kami miliki, maka kamu dan Magdalenamu adalah orangtua yang sangat beruntung bisa mendapatkannya, jagalah ia dan pernikahanmu baik-baik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun