Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Behind The Ear

4 November 2020   22:43 Diperbarui: 9 November 2020   08:41 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tiv Firsta

Cerita ini mengandung kekerasan, darah dan unsur ketakutan. Tidak disarankan untuk anak di bawah umur atau pembaca yang memiliki trauma!

Akan kuceritakan padamu sebuah kisah tentang dosa dan derita. Sebuah pengakuan yang setidaknya terbaca oleh kalian sebelum kuakhiri hidupku di balik jeruji besi ini. Ketika kalian membacanya, mungkin diriku sudah dimangsa cacing tanah atau dirayapi detritivor. 

Tunggu, jangan dulu merasa jijik! Sebab, kehidupan yang kulalui lebih menjijikkan dari bangkaiku sendiri. Selamat tinggal sebelumnya.


Baik, aku memulainya dari sini saja. Malam menjelang dini hari, saat itu umurku enam belas tahun. Aku pulang ke rumah dengan mobil pick up ayahku yang bau amis. 

Sesampainya di rumah aku mencuci dan memasukkan benda tua itu ke garasi. Guntur bersambaran, sisa-sisa keributan yang mengerikan bercecer di lantai rumah, dengan tangan menggigil kubereskan semuanya. Adik kecilku yang baru berusia lima puluh delapan minggu tertidur pulas di atas kasurnya seorang diri. Aku mendatanginya dan memeluknya.

"Halo, Bibi."

Kutelpon Bibiku dan mengatakan padanya bahwa beberapa hari terakhir Ayah serta Ibu selalu bertengkar hebat, yang kudengar dari pembicaraan mereka hanya adik perempuanku ternyata merupakan anak dari hasil perselingkuhan Ibu. Ayah tidak terima sehingga mereka berdua terus bertikai. 

Terakhir kali, malam ini saat aku pulang mereka tiada di rumah itu lagi. Tak berapa lama Bibi pun datang. Tubuhku masih gemetar, ketakutan dan bingung. Bibi memelukku, sangat erat.

"Kita akan mencari mereka," ucapnya.

Selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dan berbulan-bulan polisi mencoba menelusuri keberadaan mereka. Tak ada petunjuk. Sempat mereka memeriksa selingkuhan Ibuku tapi bahkan dia tak tahu menahu serta tak menunjukkan gelagat mencurigakan, dia pun dilepaskan. Tidak ada petunjuk apa-apa, hanya sepucuk surat Ibu yang kuserahkan kepada para polisi, surat itu berisi pesan permohonan pamit yang ditujukan kepadaku. 

Grafolog  mencoba memeriksa tulisan Ibu, hal yang membingungkan adalah rupanya tulisan itu nampak beda dari tulisan Ibu yang lain, bentuk tulisannya terseret-seret dan dengan pena seadanya yang setengah macet. Grafolog hanya mengasumsikan bahwa tulisan tersebut dibuat secara tergesa-gesa serta dalam keadaan panik dan juga emosi yang bercampur.

Lama tak menemukan titik terang, kasus ini pun ditutup. Ayah dan Ibu dinyatakan hilang oleh polisi. Hilang, secara misterius. Sejak saat itu aku dan adikku berada dalam asuhan Bibi. Hingga, beberapa bulan lalu Bibi meninggal dunia karena demam tinggi. Sekarang, aku hanya memiliki adikku, itulah mengapa aku sangat mencintainya bahkan melebihi diri sendiri. Aku bersumpah akan terus menjaganya. Dalam derita yang seolah menghitamiku melulu hanya adikku menjadi satu-satunya cahaya putih, yang membuat jiwaku merasa tenang.

Aku tumbuh dewasa dengan wajah murung, aku membenci semua orang dan menjauhkan diri. Bukan tanpa sebab, akan tetapi aku menghindarkan diri sebab aku tahu aku adalah seseorang yang berbahaya. Sejak kejadian malam itu, aku kerap mendengar bisikan seram di belakang telinga yang menyuruhku membunuh siapa saja. 

Bisikan itu semakin mengganggu ketika amarahku tersulut, untuk meredakannya aku akan berlari pergi menghindari orang-orang kemudian membunuh binatang atau menyakiti diriku sendiri. Bayangkan siksaannya. Aku memendam hal ini dari semua orang, tiada yang tahu kecuali aku.

Sekarang umurku dua puluh tiga tahun. Aku bekerja di sebuah kantor perusahaan minuman yang terkenal di kota ini. Setiap hari aku hanya pergi menghadap komputer, menyelesaikan tugas, lalu kembali pulang. Hampir tak pernah bertegur sapa dengan kawan-kawan meski telah cukup lama kami berada dalam satu ruangan hanya berisikan enam orang saja.

"Jangan lupa datang ke acara pertunanganku, tanggal 15 bulan ini! Aku mengundang kalian semua!" seru salah seorang teman perempuan.

"Wah! Selamat ya!" teman-teman yang lain mengerumuninya, kecuali aku.

"Manusia kaku itu kauundang juga?" Tanya salah seorang lainnya dan ya tentu saja yang mereka maksud 'manusia kaku' tidak lain dan tidak bukan adalah aku.

"Bercanda saja kau ini. Mana mau dia datang!" jawab gadis pertama.

"Aku curiga jangan-jangan dia ini memang robot. Lihat hidupnya yang begitu membosankan! Hari-harinya cuma ngantor-pulang-ngantor-pulang. Beberapa tahun kerja bareng rasanya seperti tidak kenal saja," timpal yang lain. Dan saat itu, semua mendadak jadi ikut membicarakanku.

Aku hanya bergumam dalam hati, apa salahku? Toh, aku tidak pernah merugikan mereka! Semakin lama pembicaraan itu berlanjut dan makin keterlaluan. 

Ya, kau tahu? Setiap saat amarahku mulai tersulut, sesuatu di belakang telinga membisikkan hal kejahatan. Begitu dekat di kepala hingga memaksa kaki-kaki ini berlari, menjauh, pergi, menghindar! Kugenggam pena erat-erat seperti mematahkannya. Aku tak bisa menahannya lagi, kutinggalkan ruangan itu dengan langkah cepat. Suara itu tetap mengikuti, tawa jahatnya semakin keras. Aku mengunci diriku di dalam toilet.

"Habisi mereka! Habisi semua yang mengganggu! Habisi mereka! Habisi semua yang mengusikmu!" bergidik saat mendengarnya.

Tapi sungguh! Apa yang dia katakan lama-kelamaan menjadi hasrat untuk dipenuhi. Ingin kutuntaskan agar bisikan itu pergi dan amarahku terpuasi. Namun, aku telah bersumpah untuk tak mengikutinya sebab aku tahu membunuh hanya akan membuatku semakin gila sebab kepuasan akan selalu serentak dengan penyesalan. Hantu-hantu yang lain akan merayapiku dan menyihirku menjadi lebih iblis lagi.

"Habisi mereka... yang mengganggu!" bisiknya berulang. Lagi... dan lagi!

"Kau! Kaulah yang menggangguku! Pergilah dari belakang telingaku!" aku meneriakinya.

Kugigit ibu jariku untuk meredakan keinginan menuruti bisikannya. Kugigit sampai darah segar mengalir dari bibir bawahku. Rasanya nikmat ketika aku berhasil menyakiti bahkan jika itu menyakiti diri sendiri. Lalu, sesaat kemudian setelah bisikan itu mulai diam, aku memandangi tanganku yang basah darah. 

Sesal yang sesak mengelabuh, mendustakan kesatwaanku, menggantikan sisi puas yang juga buas dengan kesakitan yang teramat manusia. Sakit sekali! Ahh! Aku keluar dari toilet dan membasuh tangan di wastafel. Saat seperti ini, tubuhku bergetar luar biasa kencangnya oleh karena teringat kepada kejadian buruk di waktu lama; kejadian di malam hari yang telah kuceritakan sebagai permulaan cerita ini. 

Kejadian malam itu adalah kejadian di atas lahirnya bisikan-bisikan neraka yang acap kali mengusikku. Ketika berjalan kembali melewati teman-temanku, aku berharap bisikan itu tidak datang lagi, aku tak mau ada hal nekat yang tiba-tiba kulakukan hingga melibatkan mereka atau membuat mereka terluka.

Singkat cerita dan juga hal yang penting. Beberapa bulan kemudian seorang gadis bekerja di kantor itu menggantikan temanku yang telah menikah dan pindah tinggal ke luar kota. Gadis berhati lugu, perangainya begitu menyerupai adikku, hal ini membuatku merasa nyaman saat di dekatnya. Bisikan-bisikan itu mulai pergi, kehadirannya pun sampai mengubah sebagian besar sikapku kepada dunia ini. Rekan-rekan kerja terperanga melihat sisi lain pribadiku; sisi lain yang biasanya hanya kutampakkan di hadapan adikku.

Suatu hari, aku menyatakan cinta. Namun, sebelum dia menjawabnya aku putuskan untuk menceritakan rahasiaku terlebih dulu. Aku hanya ingin dia tahu betapa ajaib dirinya sebagai penenang jiwa yang paling tenteram untukku. 

Aku terisak dan tersedu di hadapan gadis itu. Dipeluknya tubuhku, saat itu aku teringat kepada pelukan masa kecil dari Ibu. Aku cukup terkesima, mengetahui bahwa gadis itu sama sekali tidak menjauh saat tahu aku berbahaya, malah mendekatkan dirinya dan mendekapku bak bayi kecil saja. Harapanku semakin besar, harapan untuk hidup yang lebih bercahaya. Gadis itu menerima cintaku dan menerima diriku apa adanya.

Waktu berlalu semakin silam, aku dan kekasihku telah lama saling memadu. Dua tahun berlalu. Sore itu dia menutup mataku dan membawaku ke dalam mobil. Dia menyetir mobilnya, entah aku dibawanya kemana. Tangan kirinya yang kecil dan lembut menggenggam sesekali. Kemudian, aku merasakan mobilnya berhenti. Perlahan-lahan aku digandengnya hingga ke suatu tempat yang telah dia persiapkan sebelumnya. Satu... dua... dan tiga. Aku membuka mata. Danau! Aku tersungkur, lututku bagai kehilangan kemampuan tegak.

"Bawa aku pergi dari tempat ini! Bawa aku pergi dari tempat ini!" aku berusaha berdiri dan berlari. Dia menahanku dan tampak cemas kebingungan.

Gadisku telah menghias tempat dimana aku membuang mayat ayah dan ibuku dengan lampu-lampu serta menyiapkan meja makan malam di sana. Benar. Sebuah hal yang belum kukatakan pada kalian, orangtuaku tak menerlantarkan aku. Aku menghabisi mereka setelah tak tahan mendengar kekacauan saat mereka terus-terusan bertengkar. Bisikan di belakang telingaku yang menyuruhku melakukannya. 

Kupukul kepala belakang ayahku dengan tongkat bisbol berkali-kali, saat ibuku berusaha berteriak menghentikanku, aku mengikatnya dan menutup wajahnya dengan bantal tapi tak disangka aku malah membunuhnya juga. Usiaku belasan tahun, aku sangat takut dan tak mengerti akan berbuat apa, akhirnya kubuang mereka di danau dengan karung yang telah kuisi batu sebagai pemberat lalu kutenggelamkan. 

Kukatakan pada semua orang bahwa orangtuaku telah pergi dari rumah ketika dini hari. Aku juga menulis surat pamitan palsu untuk meyakinkan semua orang bila ibuku telah sengaja meninggalkan aku. Itulah mengapa aku benci danau, selama bertahun-tahun aku tak pernah menyambangi genangan air itu lagi.

Kekasihku terdiam. Pergi menenteng sepatu tingginya dengan tatapan hampa yang dibanjiri airmata. Aku tak kuasa melihatnya melangkah pergi, kupikir aku tak akan pernah melihatnya lagi. Demi nama cinta, dosa telah kuakui di hadapannya maka bukan hal baru jika kecewa menjadi kendatinya walaupun cintanya begitu besar pernah menyelamatkan aku dari kelamnya dunia. 

Aku tidak apa-apa bila ditinggalnya, yang utama adalah aku harus kembali kepada Tuhan kali ini. Tuhan telah menghadirkan satu bidadari yang melepaskan aku dari bisikan itu sehingga aku dapat kembali merasakan dunia yang tidak teramat-amat meresahkan. Sekarang saatku menebus dosa. Akan kuserahkan diriku kepada polisi serta mengakui perbuatan keji ini!

Pencarian dua jenazah di danau dilakukan, belulang yang mengenaskan ditemukan. Sontak seluruh warta kota mengabarkanku. Aku mendekam dalam kurungan. Kudekap erat dua kakiku untuk meredakan dinginnya lantai penjara.

Tap... tap... tap...

Suara langkah kaki mendekat. Saat kuangkat wajah, seorang wanita cantik menggandeng anak kecil. Mereka tersenyum.

"Kakak!" si kecil berlari menghampiri pembunuh ini. Adikku.

Sedang si cantik yang membawanya mengusap pipiku, tetap memperlakukan aku seperti bayi tak berbahaya. Dia mengecup keningku dan berkata;

"Aku tidak meninggalkanmu. Tidak sekali-kali pun."

Cinta! Jika mungkin kata kalian aku adalah orang yang beruntung, benar. Akulah orangnya. Aku memang seberuntung itu tetapi tidak kekasihku. Untuk apa dia tidak menikah hanya demi seorang pria yang dipenjara seumur hidup? Bukankah lebih baik aku segera mati, supaya dia dapat memulai kehidupannya lagi?

Cintaku, kekasihku. Aku tidak tahu harus dengan apa membalas kemurnian hatimu. Aku hanyalah pembawa derita yang mengungkungmu, biarlah aku membalasnya dengan membiarkan kamu terbebas dari darat derita. Kamu sudah lakukan tugasmu; mencintaiku sampai mati. Kamu tak perlu berkorban apapun lagi untuk pria ini. Selamat tinggal! Selamat tinggal!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun