Kemudian, peserta diberikan arahan serta instruksi oleh Ibu Hidayatul Nurjanah, M.A. selaku Dewan Pembimbing Lapangan mengenai berbagai larangan selama berada di lokasi, durasi waktu kunjungan, serta prosedur yang harus dipatuhi.
Penulis bersama rekan dipandu oleh Ibu Martiati memasuki kompleks Puro Mangkunegaran. Setelah memasuki area tersebut, para pengunjung disambut dengan sebuah kolam ikan besar berhias bunga teratai serta sebuah patung berbentuk seorang anak kecil yang memegang seekor angsa.
Patung tersebut merupakan perlambangan dari R. M. Said atau yang juga dikenal sebagai Mangkunegoro I; pendiri keraton tersebut, sebagai seseorang yang memiliki keberanian besar.
Di belakang kolam terdapat sebuah pendopo agung seluas 3270 m2, juga merupakan pendopo terbesar di Indonesia berkapasitas 5 hingga 10 ribu orang. Memasuki bagian ini pengunjung tidak diperkenankan mengenakan alas kaki.Â
Berdominasi warna hijau dan kuning (pari anom) perlambang kemakmuran dan kejayaan, bangunan ini berfungsi sebagai tempat diselenggarakannya resepsi pernikahan Keluarga Keraton dan juga digunakan untuk mementaskan tarian.Â
Di pendopo terdapat tiang-tiang yang terbuat dari kayu jati Alas Donoloyo, Wonogiri dan didirikan tanpa penggunaan paku. Pada tengah pendopo, khas sebagai bangunan joglo terdapat 4 saka guru yang terbuat dari satu pohon besar setinggi 11,5 m yang dibelah menjadi 4 bagian. Jumlah soko guru ini melambangkan elemen-elemen kehidupan yakni air, tanah, api dan udara.Â
Ketika menengok ke atas, pengunjung akan menemukan atap bergambar Batik Kumudowati 8 warna dengan masing-masing filosofi:
1.Kuning berarti mencegah rasa kantuk
2.Biru mencegah musibah
3.Hitam mencegah kelaparan
4.Hijau mencegah frustasi
5.Putih mencegah birahi
6.Jingga mencegah perasaan takut
7.Merah mencegah perbuatan jahat
8.Dan ungu mencegah pikiran jahat
Pada bagian tepinya, terdapat gambar-gambar lambang horoskop (Aquarius, Pisces, Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Sagittarius, Scorpio dan Capricorn).Â
Di pendopo terdapat beberapa gamelan; Lipur Sari yang ditabuh setiap Hari Rabu untuk latihan tarian, Kiai Seton (Segoro Windu, Pamedarsih dan Baswara)Â yang ditabuh setiap Sabtu pagi, juga yang paling indah suaranya bernama Kiai Kanyut Mesem (berarti menghanyutkan seseorang dan membuatnya terseyum) yang ditabuh pada hari-hari spesial seperti pernikahan atau kenaikan takhta.Â
Bagian-bagian dari bangunan ini banyak yang berasal dari luar negeri sebagai pertanda bahwa kerajaan ini memiliki hubungan yang baik dengan bangsa-bangsa lain terutama Bangsa Eropa. Lampu-lampunya dibeli dari Belanda (1862), lantainya marmer dari Italia (1864), lukisan atap karya dari Soepomo yang berasal dari Solo juga Lin yang berasal dari China (1937), patung singa dari Jerman juga pada bagian bangunan lain jendela-jendelanya merupakan pemberian dari Pemerintah Belgia sebagai tanda persahabatan.