Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Lebih Dekat "Cinderella-ism" dalam Dongeng Anak

18 April 2020   14:29 Diperbarui: 20 April 2020   02:13 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: princess.disney.com (official website)

Dongeng telah lama digunakan oleh para orangtua di berbagai belahan dunia sebagai media untuk menyampaikan pesan moral kepada putra-putri mereka. Selain itu, dongeng memiliki manfaat untuk membangun kedekatan antara anak dan orangtua bahkan dipercaya mampu meningkatkan kecerdasan emosional serta kemampuan analisa bagi anak.

Beberapa dongeng anak baik dongeng yang populer di Indonesia maupun di manca negara, memiliki ciri alur yang bersifat Cinderellaism. Mengapa disebut Cinderellaism? Sebab alur ceritanya mempunyai kemiripan dengan kisah Cinderella, pasti sudah pernah dengar 'kan? Karena kisah Cinderella ini juga merupakan salah satu dongeng terpopuler sepanjang masa. Kisah-kisah Cinderellaism biasanya memuat aspek-aspek berikut ini

1. Tokoh utama merupakan seorang anak perempuan yang penurut dan jujur

2. Biasanya tokoh utama memiliki Ibu tiri dan/atau saudari-saudari yang jahat

3.  Terdapat suatu keajaiban yang didapatkan oleh tokoh utama sebagai balasan atas kebaikan hatinya

4. Pada akhir cerita, tokoh utama bertemu dengan seorang pria tampan, baik hati dan kaya raya ataupun seorang pangeran dari sebuah kerajaan.

Di Indonesia, ada beberapa cerita anak yang mengandung unsur-unsur tersebut misalnya kisah Bawang Merah dan Bawang Putih atau kisah Klenting Kuning dan Ande-ande Lumut. Sedangkan di manca negara terdapat kisah Cinderella sendiri, kemudian ada juga Beauty and The Beast serta Snow White and The Seven Dwarfs.

Dengan adanya kisah-kisah ini, rasanya hampir semua anak perempuan selalu memimpikan kehidupan dewasanya akan seindah akhir cerita dalam buku mereka; menemukan keajaiban dan juga pangeran impian sebagai cinta sejati.

Melihat dari kisah-kisahnya, Cinderellaism erat kaitannya dengan sistem sosial patriarki; sistem sosial yang dianut kebanyakan orang di dunia terutama sebelum kehadiran feminisme ataupun emansipasi (kesetaraan gender). Apakah patriarki itu? 

Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti (Wikipedia).

Bagaimanakah hubungan antara fenomena Cinderellaism dengan sistem sosial Patriarki? Dalam Cinderellaism selalu tokoh utamanya yang merupakan seorang perempuan datang dari kalangan orang biasa atau pun putri yang kehilangan keluarga dan hidup menderita.

Sedangkan tokoh laki-laki merupakan sosok yang datang dari keluarga bangsawan; diasumsikan tokoh laki-laki inilah yang akan menanggung hidup si tokoh perempuan pada tahap kehidupan selanjutnya (setelah pernikahan) dan juga tokoh laki-laki ini secara otomatis mampu menarik strata sosial tokoh perempuan ke tempat yang lebih tinggi.

Kemudian juga di balik kisah-kisah Cinderellaism yang begitu populer di kalangan masyarakat, terdapat stigma negatif yang memandang fenomena Cinderellaism ini menyimbolkan kelemahan dan juga sikap diam dalam penindasan. Salah satunya dikutip dari The Daily Journal sebuah pernyataan dari Eka P. Lestari mengungkapkan
"I don't want to be a girl who depend on magic to find a true love. I don't want to be a girl who look so miserable and not doing anything to change her life. I don't want to be a girl who just dreaming while she--literally--can do something, make something, accomplished something, and make her life better than before"

artinya,

"Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang bergantung kepada keajaiban untuk menemukan cinta sejatinya. Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang tampak memelas dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah nasib. Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang hanya terus bermimpi sedangkan sebetulnya dia bisa melakukan sesuatu, membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu dan membuat hidupnya lebih baik dari sebelumnya"

Dari pandangan tersebut, bagi mereka menjadi baik bukan berarti menjadi lemah. Mereka memandang bahwa melalui dongeng seharusnya seorang anak ditanamkan keberanian bertindak dalam menghadapi ketidak adilan.

Dalam hal ini, bagaimanapun dongeng-dongeng yang mengandung Cinderellaism mayoritas berawal dari cerita turun-temurun, dipaparkan dari mulut ke mulut, dilerstarikan hingga mencapai generasi ini kemudian dikembangkan dalam berbagai bentuk produk sastra seperti halnya buku atau pun film, juga melihat ciri yang lain bahwa cerita tersebut tidak diketahui secara pasti siapakah pengarang aslinya; dapat disimpulkan bahwa artinya cerita tersebut telah ada sejak sangat lama. Hal tersebutlah yang menyebabkan alur ceritanya begitu simpel atau mungkin menyebabkan beberapa pertentangan atau perbedaan dalam pandangan nilai, tentu saja hal tersebut terjadi sebab adanya pengaruh dari aspek-aspek sosial budaya yang berkembang di masyarakat pada masa dongeng tersebut diciptakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun