Sedangkan tokoh laki-laki merupakan sosok yang datang dari keluarga bangsawan; diasumsikan tokoh laki-laki inilah yang akan menanggung hidup si tokoh perempuan pada tahap kehidupan selanjutnya (setelah pernikahan) dan juga tokoh laki-laki ini secara otomatis mampu menarik strata sosial tokoh perempuan ke tempat yang lebih tinggi.
Kemudian juga di balik kisah-kisah Cinderellaism yang begitu populer di kalangan masyarakat, terdapat stigma negatif yang memandang fenomena Cinderellaism ini menyimbolkan kelemahan dan juga sikap diam dalam penindasan. Salah satunya dikutip dari The Daily Journal sebuah pernyataan dari Eka P. Lestari mengungkapkan
"I don't want to be a girl who depend on magic to find a true love. I don't want to be a girl who look so miserable and not doing anything to change her life. I don't want to be a girl who just dreaming while she--literally--can do something, make something, accomplished something, and make her life better than before"
artinya,
"Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang bergantung kepada keajaiban untuk menemukan cinta sejatinya. Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang tampak memelas dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah nasib. Saya tidak ingin menjadi seorang wanita yang hanya terus bermimpi sedangkan sebetulnya dia bisa melakukan sesuatu, membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu dan membuat hidupnya lebih baik dari sebelumnya"
Dari pandangan tersebut, bagi mereka menjadi baik bukan berarti menjadi lemah. Mereka memandang bahwa melalui dongeng seharusnya seorang anak ditanamkan keberanian bertindak dalam menghadapi ketidak adilan.
Dalam hal ini, bagaimanapun dongeng-dongeng yang mengandung Cinderellaism mayoritas berawal dari cerita turun-temurun, dipaparkan dari mulut ke mulut, dilerstarikan hingga mencapai generasi ini kemudian dikembangkan dalam berbagai bentuk produk sastra seperti halnya buku atau pun film, juga melihat ciri yang lain bahwa cerita tersebut tidak diketahui secara pasti siapakah pengarang aslinya; dapat disimpulkan bahwa artinya cerita tersebut telah ada sejak sangat lama. Hal tersebutlah yang menyebabkan alur ceritanya begitu simpel atau mungkin menyebabkan beberapa pertentangan atau perbedaan dalam pandangan nilai, tentu saja hal tersebut terjadi sebab adanya pengaruh dari aspek-aspek sosial budaya yang berkembang di masyarakat pada masa dongeng tersebut diciptakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H