Karakter berbeda dengan kepribadian dan temperamen. Kepribadian adalah respon kita atau biasa disebut etika yang kita tunjukkan ketika berada di tengah-tengah orang banyak, seperti cara berpakaian, berjabat tangan, dan berjalan. Temperamen adalah sifat dasar kita yang dipengaruhi oleh kode genetika orang tua, kakek nenek, dan kakek buyut dan nenek buyut kita. Sedangkan karakter adalah respon kita ketika sedang ‘diatas’ atau ditinggikan. Apakah kita putus asa, sombong, atau lupa diri. Bentuk respon itulah yang kita sebut karakter.
Dalam membahas pendidikan karakter, setidaknya ada tiga terminologi yang hampir sama. Yaitu pendidikan moral, pendidikan akhlak dan pendidikan karakter. Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Misykawih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, terlihat bahwa pendidikan akhlak mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi.
2. Perlunya Pendidikan Karakter
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan Perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).
Masih menurut Bapak Jakoep Ezra, MBA, CBA, karakter dibentuk tidak diciptakan, harus melalui proses. Benar ada karakter dasar yang memuat kekuatan dan kelebihan kita. Untuk mengembangkan karakter, diperlukan pendidikan karakter. Kita tidak dapat bertumbuh sendiri dalam karakter yang baik. Perlu seorang pembina, coach, mentor yang mengarahkan dan memberitahukan kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karakter kita.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur Berkowitz menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu.
Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Nilai-nilai yang Diajarkan Dalam Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral Knowing; terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu:
1) moral awereness,
2) knowing moral values,
3) persperctive taking,
4) moral reasoning,
5) decision making dan
6) self-knowledge.
Moral Feeling; terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni :
1) conscience,
2) self-esteem,
3) empathy,
4) loving the good,
5) self-control dan
6) humility.
Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu :
1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will) dan
3) kebiasaan (habit).
Untuk itu dalam Deklarasi Aspen dihasilkan enam butir nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1) dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
2) memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3) bertanggungjawab (responsible),
4) adil (fair),
5) kasih sayang (caring) dan
6) warganegara yang baik (good citizen).
Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
PENDEKATAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER
Hasil penelusuran penulis dari berbagai sumber, ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam membangun karakter seseorang. Pendekatan disini lebih penulis identikkan dengan metode pendidikkan karakter. Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan:
1. Pendekatan Melalui Pembelajaran Kontekstual
Menurut beberapa sumber yang telah penulis baca pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa. Model-model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan keterlibatan aktif siswa dalam belajar. Baik dalam tugas-tugas mandiri maupun kelompok.
Di samping itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuan dan komponen yang sangat mendukung bagi terlaksannya nilai-nilai karakter, diantaranya:
a) Pertama, construcivism.
Guru meyakinkan pada pikiran siswa bahwa ia akan belajar lebih bermakna jika ia mampu bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan membentuk atau membangun pengetahuan atau keterampilan barunya sendiri.
b) Kedua, inquiri.
Guru dan siswa melaksanakan proses penemuan pengetahuan secara mandiri, dan menjadi inti dari pembelajaran kontekstual. Komponen ini sangat mendorong tumbuhnya nilai kemandirian pada siswa.
c) Ketiga, questioning.
Guru dan siswa senantiasa mengembangkan pertanyaan agar menumbuhkan rasa ingin tahu. Komponen ini mendorong terwujudnya nilai orientasi pada keunggulan. Hal ini juga merupakan alat bagi siswa untuk dapat menyelesaikan masalah belajar ketika mendapati tantangan.
d) Keempat, learning community.
Komponen ini sangat penting bagi upaya terwujudnya nilai demokratis, menghargai, gotong royong, bertanggung jawab, dan orientasi pada keunggulan.
e) Kelima, modeling.
Komponen ini dapat melahirkan nilai-nilai berakhlak mulia, iman, dan taqwa, cinta tanah air, dan kreatif.
f) Keenam, reflection.
Komponen ini dapat melahirkan kesadaran untuk senantiasa berinteropeksi diri setiap kali telah melakukan sesuatu.
g) Ketujuh, authentic assessment.
Proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, baik oleh guru maupun siswa. Khususnya bagi siswa, komponen ini membiasakan siswa untuk dapat mengukur diri apakah sudah baik? Apakah sudah maju? Apakah sudah berhasil? Adakah hambatan? Atau bagaimana cara mengatasi hambatan?
Cepat atau lambat jika kita merasa bertanggung jawab untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, maka para pendidik senini mungkin harus menyisipkan nilai-nilai karakter bangsa. Nilai-nilai karakter ini bisa ditanamkan dalam pembelajaran dan juga dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan pramuka, haiking, penghijauan, olah raga, dan lain-lain. Karena di sekolah, melalui wahana itulah kita dapat membangun karakter bangsa.