RABU ABU, PUASA, DAN PANTANG, MENGERTI APA YANG AKU IMANI (SERIAL PENGETAHUAN SABDA)
Dalam gereja Kristen tradisi/ritus barat (termasuk Gereja Katolik Roma dan Protestanisme), Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paskah dalam liturgi tahunan gerejawi. Hari ini ditentukan jatuh pada hari Rabu, 40 hari sebelum hari Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu, atau 44 hari (termasuk hari Minggu) sebelum hari Jumat Agung.Â
Pada hari itu umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester, yaitu Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu":
"Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan."
Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil." Seringkali pada hari ini bacaan di Gereja diambil dari Alkitab bagian kitab 2 Samuel 11-12, perihal raja Daud yang berzinah dan bertobat. Banyak orang Kristiani  menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang. Pada hari ini umat Kristiani  berusia 18--59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.Â
Di banyak negara berkebudayaan Katolik Roma di Eropa dan Amerika, Rabu Abu didahului masa karnaval (termasuk misalnya Mardi Gras) yang berakhir pada hari Selasa, sehari sebelum Rabu Abu. Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka "40 selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).
1. Mengapa hari Rabu?
Nah, Gereja  menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu). Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.
2. Mengapa Rabu "Abu"?
Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo/Pendeta , "Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil" atau, "Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu" (you are dust, and to dust you shall return)."
3. Tradisi Ambrosian
Namun demikian, ada tradisi Ambrosian yang diterapkan di beberapa keuskupan di Italia, yang menghitung Masa Prapaskah selama 6 minggu, termasuk hari Minggunya, di mana kemudian hari Jumat Agung dan Sabtu Sucinya tidak diadakan perayaan Ekaristi, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.
SEJARAH DAN MAKNA RABU ABU
Umat Israel mengenal hari pengampunan yang disebut Yom Kippur. Ritus pertobatannya dalam bentuk berpuasa, menyobek pakaian, berpakaian karung kasar, menaburi kepala dengan abu dan belutut atau duduk di tanah sambil menangis di hadapan Yahwe. Sesudah itu seluruh umat duduk dalam diam sambil tetap berpuasa, meratap dan bersedih dalam penyesalan yang mendalam atas dosa-dosa.Â
Upacara liturgis itu disertai dengan kata-kata yang intinya umat menyerahkan diri sepenuhnya pada perlindungan Yahwe. Pada umumnya, terlebih sesudah masa pembuangan, waktu itu ada pula pengakuan kolektif atau pertobatan masal oleh seluruh umat atau diwakili oleh para pemimpinnya di mana mereka mengakui kesalahan dan mohon pengampunan dari Yahwe. . Dalam liturgi tobat pada perayaan Yom Kippur tersebut umat menyatakan diri lagi atau membarui niatnya untuk kembali kepada Yahwe. Mereka bertobat dengan sepenuh hati, sebab mereka percaya bahwa Allah mengampuni orang yang hatinya remuk redam (Mzm 51:9).Â
Pengampunan dosa dihayati atau dirasakan sebagai penyembuhan (Yer 3:22); sebagai pembersihan (Mzm 51:4) atau pentahiran (Yeh 36:25) dan sebagai penganugerahan hati yang baru (Yer 24:7; Yeh 36:26). Yom Kippur (Hebrew: atau , IPA: [jom kipur]), disebut hari pertobatan dan silih yang dirayakan dengan cara berpuasa dan berdoa. Yom dalam bahasa Ibrani artinya "hari" dan Kippur berasal dari akar kata yang artinya "menutup" atau "menyembunyikan" dan arti kedua adalah "menghapus" (dosa-dosa) sehingga disebut hari pengampunan. Ada pendapat lain yang menghubungkan Kippur dengan kapporet yang artinya "kursi kerahiman" Penggunaan abu sebagai ritus pertobatan terdapat di banyak bagian Kitab suci PL. Dalam Kitab Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).Â
Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, "Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu." (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6).Â
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340) menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Dalam abad kedelapan, mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu." Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah.Â
Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Sacramentarium Gregorianum diterbitkan sekitar abad kedelapan. Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita. Tidak terasa, sebentar lagi umat Kristiani akan kembali merayakan hari raya Rabu Abu yang merupakan awal dari masa berpuasa dan berpantang selama 40 hari bagi umat Kristiani utamanya umat Nasrani, tentu harus dipandang sebagai masa untuk memperbaiki, merenung, dan meresapi atas perjalanan hidup selama ini dan menjalani serta memikul salib kehidupan bersama-sama dengan Yesus.Â
Pada masa puasa dan pantang ini, umat Kristiani tidak hanya dituntut untuk berpuasa dan berpantang, namun juga menjadi lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya. Adalah memprihatinkan jika kita hanya menjadi baik pada masa puasa dan pantang, dan kembali berbuat tercela atau jatuh ke dalam pencobaan seusai ritual suci tersebut. Memikul beban salib Kristus sendiri tidak hanya wajib dilakukan pada masa puasa dan pantang, akan tetapi juga harus dilakukan sepanjang hidup kita sebagai umat Kristiani. Sebagai umat Kristiani kita dituntut untuk selalu berevolusi menjadi lebih baik lagi dari hari-hari kemarin, baik pada masa puasa dan berpantang, namun juga pada saat sesudahnya. Diakui, tidak mudah bagi kita semua untuk berevolusi menjadi lebih baik lagi, jangankan untuk menjadi lebih baik, sekedar berpantang dan berpuasa saja bagi sebagian orang sudah sangat berat. Padahal kita tidak dituntut untuk melakukan ritual puasa penuh 40 hari seperti yang dilakukan oleh beberapa orang atau kumpulan tertentu pada umat Kristiani. Namun kita tetap harus mau tidak mau untuk berusaha menjadi lebih baik dan jauh lebih baik lagi.Â
Kalau tidak janji baptis yang selalu diucapkan pada malam Paskah menjadi suatu kesia-siaan belaka. Tuhan meski tidak marah saat kita jatuh ke dalam pencobaan, namun Dia mengharapkan agar kita bisa bangkit kembali dan berusaha untuk memperbaiki diri serta tidak putus asa terhadap cobaan hidup yang terus mendera. Karena keputusasaan adalah awal dari kejatuhan iman, dan kejatuhan iman akan menyeret seseorang jatuh ke dalam jurang dosa yang tidak bertepi. Harus dipahami bahwa hidup itu adalah perjuangan. Dan di dalam berjuang mengarungi kehidupan ini, kita harus menghadapi berbagai pencobaan yang tidak kecil dan tidak sedikit. Oleh karena itu, kita sebagai umat Kristiani, dituntut untuk selalu berusaha, berjuang dan beriman meski berbagai cobaan hidup datang mendera.Â
Dengan berjuang di dalam kuasa nama Nya, niscaya tidak ada masalah yang tidak dapat dihadapi. Karena Tuhan tidak pernah memberikan cobaan kepada umat Nya yang lebih berat dari yang umat Nya mampu hadapi. Hari ini, umat Kristiani seluruh dunia memulai retret agung. Retret agung itu lebih dikenal dengan nama masa Prapaskah, yaitu masa persiapan untuk menyambut Misteri Paskah. Masa persiapan itu berjalan selama 40 hari. Di mulai dari hari Rabu Abu sampai dengan Jumat Agung. Selama masa retret agung itu, umat Kristiani  diajak untuk bermati raga melakukan olah rohani dengan aksi pantang dan puasa serta aksi puasa pembangunan sebagai bentuk nyatanya. Pertama, olah rohani dalam bentuk aksi pantang dan puasa. Dalam hukum Gereja disebutkan demikian: "Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Pengajaran iman  hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus." Menurut hukum ini, hari Jumat menjadi hari pantang. Selama masa Prapaskah, hari pantang dan puasa adalah Rabu Abu dan Jumat Agung.Â
Rabu Abu menjadi awal masa pantang dan puasa dalam masa Prapaskah. Pada Pada hari Rabu Abu, umat Kristiani datang ke Gereja dan diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini pada dahinya. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel pada jaman dahulu di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan. Aturan pantang dan puasa dalam Gereja juga demikian ringan. Dalam pantang, umat Kristiani  diajak untuk melawan segala bentuk kesenangan diri. Misalnya seseorang yang sangat menikmati rokok, selama masa Prapaskah ia diajak untuk berpantang rokok. Setiap orang yang berumur di atas 14 tahun memiliki kewajiban untuk melakukan pantang. Sedangkan aturan puasa adalah makan kenyang sekali selama sehari.Â
Setiap orang yang berumur antara 18-60 tahun memiliki kewajiban untuk melakukan puasa. Jika kita melihat aturan mengenai pantang dan puasa, amat mudah kan? Kelihatannya sangat mudah, tetapi jika kita berani bertekun atasnya akan terasa betapa tidak mudah melakukan itu. Hakekat pantang dan puasa dalam Gereja bukan terletak pada menahan lapar atau haus. Hakekat pantang dan puasa adalah melawan diri sendiri. Dengan demikian, persoalannya bukan soal ritual pantang dan puasanya melainkan terletak pada bagaimana kita menghayati makna pantang dan puasa itu. Jika kita hanya menghayati pantang dan puasa sebatas ritual, maka kita akan semkian ingin melakukan hal-hal yang akan menjauhkan kita dari keselamatan. Pantang dan puasa akan semakin bermakna jika kita mampu memaknai pantang dan puasa sebagai sebuah sarana penyelamatan. Penilaian kita atas pantang dan puasa itulah yang akan mempengaruhi perbuatan kita selama masa retret agung ini.Â
Pantang dan puasa dari segala jenis daging tidaklah berarti banyak ketika kita membiarkan telinga kita mendengarkan hal-hal yang tidak benar. Ketika kita berpantang dan berpuasa, berpantang dan berpuasalah dengan telinga juga. Berpantang dan berpuasalah dengan mulutmu, dengan tangan dan kakimu, dan dengan seluruh tubuhmu. Apalah artinya tidak makan dan minum jika kita membiarkan mulut kita mengeluarkan kata-kata kotor, makian, gosip, dan menyebarkan kebohongan. Apa artinya kita tidak makan daging atau makanan yang serba enak, tetapi kita menggigit dan memangsa sesama kita? Apa artinya kita tidak makan daging atau makanan yang serba enak, tetapi kita menggigit dan memangsa sesama kita?Â
Kedua, Aksi Puasa Pembangunan. Selain melakukan aksi pantang dan puasa, kita juga diajak sampai kepada gerakan nyata. Gerakan itu disebut sebagai Aksi Puasa Pembangunan (APP). APP ini menyangkut dua aspek, yaitu aspek ke dalam dan keluar. Aspek ke dalam ditandai dengan usaha untuk semakin memperdalam iman dengan aneka bentuk pertemuan dan sarasehan.Â
Sedangkan aspek keluar merupakan tindakan nyata sebagai bentuk pertobatan. Pada bagian sebelumnya saya menyinggung bahwa aturan pantang dan puasa itu demikian mudah. Tetapi amat sulit untuk dilakukan. Saya akan memberikan contoh di sini. Ketika saya pantang merokok, maka selama masa Prapaskah uang untuk beli rokok itu akan saya masukkan dalam kotak APP. Andaikan sehari saya menghabiskan satu bungkus rokok, maka berapa yang akan saya masukkan ke dalam kotak APP? Jika saya melakukannya setiap Jumat, berarti saya memasukkan uang sebesar 10.000 x 7 (Jumat) = 70.000,- Jika saya melakukannya selama masa Prapaskah, berarti saya akan memasukkan uang sebesar 10.000 x 40 (hari) = 400.000. Contoh lain dalam hal puasa. Aturan puasa adalah makan kenyang sekali. Dalam sehari kita makan tiga kali.Â
Dalam keluarga ada 3 orang yang melakukan puasa. Katakanlah biaya untuk sekali makan Rp. 10.000,- Berarti pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung kita memasukkan uang sebesar (3 x 2 x 10.000) x 2 (Rabu dan Jumat) = 120.000. Banyak juga ya? Apakah kita mau mengeluarkan uang segitu banyak dan dimasukkan ke kotak APP. Itu baru untuk puasa, belum untuk pantangnya. Uang yang terkumpul selama masa Prapaskah itu akan digunakan untuk melakukan karya-karya karitatif, terutama untuk membantu mereka yang lemah, miskin, tersingkir, dan difable. Inilah wujud nyata dari gerakan pantang dan puasa. tergerakkah kita melihat saudara-saudari kita yang lemah, miskin, tersingkir, dan difable? Hakekat pantang dan puasa dalam Gereja  bukan terletak pada ritualnya yang harus begini atau begitu.Â
Hakekat pantang dan puasa adalah "koyakkanlah hatimu, bukan pakaianmu!" Nilai pantang dan puasa bukan terletak pada ritual karena itu hanyalah pakaian. Yang terpenting adalah bagaimana kita melawan diri sendiri dan masuk dalam suasana pertobatan yang terus menerus. Jika kita melakukan pantang dan puasa dengan membatasi pada tidak makan ini atau itu, maka sebenarnya kita telah merendahkan makna dari pantang dan puasa itu sendiri. Selamat berpantang dan berpuasa bagi saudara-saudari yang memeluk agama Kristiani. Kiranya Ia menuntun langkah kita sampai pada pemaknaan yang semakin dalam. Tuhan memberkati niat dan usaha kita. Amin. Â
Apa makna teologis dalam Rabu Abu bagi Gereja Protestant ? Di dalam Tata Gereja bbrp gereja protestant , di dalamnya tercakup Kebaktian Rabu Abu yang dikelompokkan dalam kebaktian hari raya gerejawi. Selaku jemaat, kita mengenal masa Pra-Paska selama 6 minggu. Dahulu masa Pra-Paska dilaksanakan selama 7 minggu. Perubahan ini sering membingungkan jemaat. Mengapa dari yang semula 7 minggu kemudian berubah menjadi 6 minggu? Penyebab perubahan adalah karena beberapa gereja Protestan di Indonesia belum mengenal Rabu Abu. Masa Pra-Paska yang seharusnya dimulai pada hari Rabu digeser ke hari Minggu yang terdekat, sehingga Pra-Paska menjadi 7 minggu. Masa Pra Paska di GKJ kini mengikuti jejak gereja-gereja lainnya, yaitu dengan memeringatinya selama enam minggu, atau tepatnya empat puluh hari.Â
Perhitungan ini tidak termasuk hari Minggu, sebab umat Tuhan tidak pernah berpuasa pada hari Minggu. Tiap hari Minggu adalah peringatan hari kebangkitan Tuhan. Dengan demikian, masa Pra Paska berjumlah 6 minggu (6 x 6 = 36 hari) ditambah empat hari. Jadi hari pertama masa Pra Paskah jatuh pada hari Rabu. Inilah yang diperingati sebagai Rabu Abu. Menurut kalender gereja secara ekumenis, Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" (Kej. 3:19) atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".Â
Gereja-gereja Tuhan di dunia dalam berbagai denominasi umumnya kini melaksanakan kebaktian Rabu Abu, sebab selain Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, juga karena makna teologisnya. Makna teologis yang terdalam dari rabu Abu adalah umat percaya mengungkapkan sikap penyesalan dan pertobatannya (2 Samuel 13:19, Yunus 3:5-6, Ratapan 2:10, Daniel 9:3-6). Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran akan kefanaannya sebagai makhluk. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja menggunakan abu untuk menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur 103:14, bdgk.Kejadian 2:7).Â
Sehingga jelaslah bahwa Rabu Abu dan Pra-Paska merupakan masa di mana gereja menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta kebergantungannya pada rahmat Tuhan. Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4: 1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42: 6). Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3).Â
Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarawan Gereja perdana menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan Dalam perayaan Rabu Abu, digunakan abu yang berasal dari hasil menyangrai daun-daun palma kering yang ditumbuk halus yang telah diberkati pada tahun sebelumnya. Menurut sejarah tradisinya, dalam ibadah Rabu Abu dilaksanakan upacara khusus pembubuhan abu di kepala sebagai simbol ungkapan pertobatan dan tanda penyesalan akan dosa-dosa. Pembubuhan abu di dahi dilakukan oleh Pendeta atau umat sendiri sebelum prosesi keluar.Â
Abu dibubuhkan di dahi dengan bentuk salib.. Dari hari Rabu Abu, minggu-minggu Pra-Paska sampai hari raya Paska ada waktu 40 hari, dipakai oleh umat untuk berpuasa secara khusus. Angka 40 hari ini diambil dari 40 hari Tuhan Yesus berpuasa. Sebagai milik Kristus (serupa dengan Kristus), maka jemaat diajak untuk memahami makna tersebut. Tradisi puasa umat Protestan juga bukan sekedar ibadah yang "ikut-ikutan" dengan saudara-saudara kita umat Katolik atau agama lainnya. Kita melaksanakan puasa karena sesungguhnya puasa dipakai oleh Tuhan untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita semakin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kekudusan hidup.Â
Itulah sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada pertobatan hati. Yoel 2:13 berkata: "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu". Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam ibadah puasa adalah "hati yang mau dikoyakkan" sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan dosa kita. Sering kali makna puasa hanya dihayati sebagai bentuk kesalehan pribadi. Padahal Tuhan menghendaki agar kita selaku pribadi dan selaku persekutuan umat konsisten dalam memberlakukan kekudusan hidup.Â
Itulah sebabnya sejak dahulu, selama masa Pra Paskah, gereja-gereja Tuhan senantiasa memotivasi dan memberlakukan puasa kepada seluruh anggota jemaat agar mereka, selaku persekutuan yang telah ditebus oleh Kristus, sungguh-sungguh mau setia untuk memelihara hidup kudus dengan sikap bertobat. Kita sungguh-sungguh berdamai dengan Allah yang akan memampukan kita untuk berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan sesama Bentuk puasa yang diusulkan adalah sikap menyangkal diri terhadap hal-hal yang begitu digemari oleh umat. Sehingga umat mulai Rabu Abu sampai menjelang Paska dapat menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi ketergantungan, misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan makanan lezat, sikap yang konsumtif.Â
Juga umat belajar menyangkal diri secara intensif terhadap kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas, nafsu syahwat, dan pelahap. Semua tindakan puasa tersebut diharapkan menghasilkan sikap pembaruan hidup. Karena ciri utama dari pengikut Tuhan Yesus adalah sikap pertobatan yang dinyatakan dalam pembaruan hidup. STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2017, TITUS ROIDANTO
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI