Dalam keluarga ada 3 orang yang melakukan puasa. Katakanlah biaya untuk sekali makan Rp. 10.000,- Berarti pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung kita memasukkan uang sebesar (3 x 2 x 10.000) x 2 (Rabu dan Jumat) = 120.000. Banyak juga ya? Apakah kita mau mengeluarkan uang segitu banyak dan dimasukkan ke kotak APP. Itu baru untuk puasa, belum untuk pantangnya. Uang yang terkumpul selama masa Prapaskah itu akan digunakan untuk melakukan karya-karya karitatif, terutama untuk membantu mereka yang lemah, miskin, tersingkir, dan difable. Inilah wujud nyata dari gerakan pantang dan puasa. tergerakkah kita melihat saudara-saudari kita yang lemah, miskin, tersingkir, dan difable? Hakekat pantang dan puasa dalam Gereja  bukan terletak pada ritualnya yang harus begini atau begitu.Â
Hakekat pantang dan puasa adalah "koyakkanlah hatimu, bukan pakaianmu!" Nilai pantang dan puasa bukan terletak pada ritual karena itu hanyalah pakaian. Yang terpenting adalah bagaimana kita melawan diri sendiri dan masuk dalam suasana pertobatan yang terus menerus. Jika kita melakukan pantang dan puasa dengan membatasi pada tidak makan ini atau itu, maka sebenarnya kita telah merendahkan makna dari pantang dan puasa itu sendiri. Selamat berpantang dan berpuasa bagi saudara-saudari yang memeluk agama Kristiani. Kiranya Ia menuntun langkah kita sampai pada pemaknaan yang semakin dalam. Tuhan memberkati niat dan usaha kita. Amin. Â
Apa makna teologis dalam Rabu Abu bagi Gereja Protestant ? Di dalam Tata Gereja bbrp gereja protestant , di dalamnya tercakup Kebaktian Rabu Abu yang dikelompokkan dalam kebaktian hari raya gerejawi. Selaku jemaat, kita mengenal masa Pra-Paska selama 6 minggu. Dahulu masa Pra-Paska dilaksanakan selama 7 minggu. Perubahan ini sering membingungkan jemaat. Mengapa dari yang semula 7 minggu kemudian berubah menjadi 6 minggu? Penyebab perubahan adalah karena beberapa gereja Protestan di Indonesia belum mengenal Rabu Abu. Masa Pra-Paska yang seharusnya dimulai pada hari Rabu digeser ke hari Minggu yang terdekat, sehingga Pra-Paska menjadi 7 minggu. Masa Pra Paska di GKJ kini mengikuti jejak gereja-gereja lainnya, yaitu dengan memeringatinya selama enam minggu, atau tepatnya empat puluh hari.Â
Perhitungan ini tidak termasuk hari Minggu, sebab umat Tuhan tidak pernah berpuasa pada hari Minggu. Tiap hari Minggu adalah peringatan hari kebangkitan Tuhan. Dengan demikian, masa Pra Paska berjumlah 6 minggu (6 x 6 = 36 hari) ditambah empat hari. Jadi hari pertama masa Pra Paskah jatuh pada hari Rabu. Inilah yang diperingati sebagai Rabu Abu. Menurut kalender gereja secara ekumenis, Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" (Kej. 3:19) atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".Â
Gereja-gereja Tuhan di dunia dalam berbagai denominasi umumnya kini melaksanakan kebaktian Rabu Abu, sebab selain Rabu Abu sebagai pembuka masa Pra-Paska, juga karena makna teologisnya. Makna teologis yang terdalam dari rabu Abu adalah umat percaya mengungkapkan sikap penyesalan dan pertobatannya (2 Samuel 13:19, Yunus 3:5-6, Ratapan 2:10, Daniel 9:3-6). Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran akan kefanaannya sebagai makhluk. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja menggunakan abu untuk menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur 103:14, bdgk.Kejadian 2:7).Â
Sehingga jelaslah bahwa Rabu Abu dan Pra-Paska merupakan masa di mana gereja menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta kebergantungannya pada rahmat Tuhan. Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4: 1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42: 6). Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3).Â
Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarawan Gereja perdana menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan Dalam perayaan Rabu Abu, digunakan abu yang berasal dari hasil menyangrai daun-daun palma kering yang ditumbuk halus yang telah diberkati pada tahun sebelumnya. Menurut sejarah tradisinya, dalam ibadah Rabu Abu dilaksanakan upacara khusus pembubuhan abu di kepala sebagai simbol ungkapan pertobatan dan tanda penyesalan akan dosa-dosa. Pembubuhan abu di dahi dilakukan oleh Pendeta atau umat sendiri sebelum prosesi keluar.Â
Abu dibubuhkan di dahi dengan bentuk salib.. Dari hari Rabu Abu, minggu-minggu Pra-Paska sampai hari raya Paska ada waktu 40 hari, dipakai oleh umat untuk berpuasa secara khusus. Angka 40 hari ini diambil dari 40 hari Tuhan Yesus berpuasa. Sebagai milik Kristus (serupa dengan Kristus), maka jemaat diajak untuk memahami makna tersebut. Tradisi puasa umat Protestan juga bukan sekedar ibadah yang "ikut-ikutan" dengan saudara-saudara kita umat Katolik atau agama lainnya. Kita melaksanakan puasa karena sesungguhnya puasa dipakai oleh Tuhan untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita semakin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kekudusan hidup.Â
Itulah sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada pertobatan hati. Yoel 2:13 berkata: "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu". Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam ibadah puasa adalah "hati yang mau dikoyakkan" sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan dosa kita. Sering kali makna puasa hanya dihayati sebagai bentuk kesalehan pribadi. Padahal Tuhan menghendaki agar kita selaku pribadi dan selaku persekutuan umat konsisten dalam memberlakukan kekudusan hidup.Â
Itulah sebabnya sejak dahulu, selama masa Pra Paskah, gereja-gereja Tuhan senantiasa memotivasi dan memberlakukan puasa kepada seluruh anggota jemaat agar mereka, selaku persekutuan yang telah ditebus oleh Kristus, sungguh-sungguh mau setia untuk memelihara hidup kudus dengan sikap bertobat. Kita sungguh-sungguh berdamai dengan Allah yang akan memampukan kita untuk berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan sesama Bentuk puasa yang diusulkan adalah sikap menyangkal diri terhadap hal-hal yang begitu digemari oleh umat. Sehingga umat mulai Rabu Abu sampai menjelang Paska dapat menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi ketergantungan, misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan makanan lezat, sikap yang konsumtif.Â
Juga umat belajar menyangkal diri secara intensif terhadap kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas, nafsu syahwat, dan pelahap. Semua tindakan puasa tersebut diharapkan menghasilkan sikap pembaruan hidup. Karena ciri utama dari pengikut Tuhan Yesus adalah sikap pertobatan yang dinyatakan dalam pembaruan hidup. STT BAPTIS INJILI, CEPOGO, BOYOLALI, JATENG, 2017, TITUS ROIDANTO