Seorang pengacara di Tangerang, yang acapkali menangani kasus-kasus perceraian akan merasa riang bukan buatan, jika menerima perkara perceraian berupa gugatan cerai yang diajukan oleh seorang istri kepada suaminya, tak peduli alasan yang mendasari gugatan kadangkala tak adil bagi pihak suami. Â
Sebaliknya, ia akan merasa berdosa sekaligus berduka jika yang mengajukan permohonan cerai adalah pihak suami, dan serta merta membuat pihak istri menjadi pihak yang tersakiti.Â
Mengapa demikian? Â Tiada lain karena dirinya beranggapan bahwa wanita adalah mahluk lemah yang sejatinya harus dilindungi, dijaga dari segala bentuk "rasa sakit" oleh mahluk hidup yang mengaku dirinya sebagai pria yang tak jarang menganggap dirinya sebagai mahluk perkasa, gagah berani, tak gentar menghadapi segala jenis mara bahaya.Â
Berangkat dari gagasan di atas, lihatlah apa yang terjadi di kehidupan nyata. Â Seturut dengan kemajuan ekonomi yang dibarengi dengan semakin kerasnya kehidupan diperkotaan, banyak ditemui praktek-praktek kehidupan yang memarjinalkan kaum perempuan, dan membuat para wanita menjadi warga negara kelas dua. Â Kadang disejajarkan dengan anak-anak, dan para lansia. Â
Padahal jika mau jujur, nyaris tak ada pekerjaan kaum pria, yang tak bisa dikerjakan oleh kaum hawa. Â Bahkan dalam hal ketekunan dan ketelitian, para lelaki kalah jauh dibandingkan dengan mereka. Â Itulah sebabnya beberapa pekerjaan yang sifatnya monoton, dan melelahkan cenderung dikerjakan dengan lebih baik oleh pekerja wanita.Â
Di sebuah keluarga, acapkali jika seorang anak memiliki prestasi yang membanggakan, serta merta orang di sekitarnya akan menganggap bahwa sang ayahlah yang paling berperan dalam menunjang kesuksesan si anak. Â
Sehingga dengan bangga sang ayah yang tak tahu diri tersebut akan menepuk dada, sambil berkata angkuh, "Siapa dulu dong bapaknya...". Â Padahal jika lelaki jumawa ini mau sedikit membaca hasil penelitian, jelas disebutkan bahwa kecerdasan dan ketekunan anak diturunkan oleh si ibu, sang ayah hanya menurunkan sifat ketegasan dan kerja keras semata, itu pun jika dalam kehidupan sehari-hari si anak dipertontonkan dengan sosok ayah yang tegas dan pekerja keras. Â
Jika sang ayah mempertontonkan sebaliknya, misalnya pada saat waktu libur menghabiskan waktu seharian dengan bermalas-malasan dan nonton acara olah raga catur, jangan kecewa jika anak nantinya akan jadi pemalas juga.Â
Celakanya jika sang anak berperilaku tidak sesuai kehendak orang tua, masyarakat, atau bangsa dan negara, maka dengan enteng sang ayah berkata, "Tau tuh, jadi bandel, habis ibunya sih terlalu manjain...". Â Dan masyarakat sekitar, kontan ikut-ikutan menuduh sang ibu sebagai penyebab, apalagi jika si ibu masuk kategori ibu cantik lagi muda serta disukai oleh para lelaki sekampung.
Di kalangan masyarakat, kerap kali kita dengar ujaran yang mengatakan, "Di balik pria yang sukses, selalu ada wanita hebat yang mendukung.", dan sebaliknya, tak dapat dipungkiri, bahwa di balik para koruptor, atau bromocorah yang tertangkap dan menjadi pesakitan, juga ada peran wanita yang senantiasa menuntut dan abai dengan keselamatan pasangannya. Â
Kendatipun sampai saat ini tak jelas dalam hal kelakuan para koruptor dan bromocorah kurang ajar tersebut, apakah benar atas dorongan wanita sebagai pasangannya yang sah, atau wanita yang lain selain dari yang sah menurut hukum agama serta negara.
Kambing Hitam, Bantalan Dosa
Konon wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, bukan dari tulang-tulang lain yang lebih punya fungsi. Â Entah karena alasan kehilangan satu tulang rusuk, tak membuat kaum pria menjadi penyandang disabilitas atau entah karena alasan lain, yang pasti tulang rusuk berada di dalam naungan kedua tangan dan berada di depan. Â
Sehingga filosofinya, setidaknya hasil daur ulang dari tulang yang berada di depan tersebut, sejatinya harus dilindungi dan diayomi oleh pemilik lengan.Â
Memang tak bisa dipungkiri juga, dengan adanya tuntutan hidup, kebutuhan untuk berkembang biak, nasib kaum hawa selain bertugas membantu mencari makan, juga berkewajiban untuk mengurus anak sebagai penerus generasi. Â
Di dalam momen inilah perjalanan hidup kaum yang seharusnya dilindungi dan dimanjakan serta disayangi sepenuh jiwa dan raga tersebut, beralih menjadi mitra hidup yang memiliki dua kemungkinan, jika tidak disayangi dan dimanja, kemungkinan terberat tentunya dieksploitasi atau disia-siakan.
Mengapa kaum wanita rawan untuk diekspolitasi dan disia-siakan oleh kaum pria, semata-mata karena mereka pada umumnya berada pada posisi yang lebih lemah, baik itu dari segi fisik, perasaan, maupun ekonomi. Â
Tanpa bermaksud "seksisme" fisik kaum perempuan kebanyakan lebih lemah dibanding pria, sehingga pada jaman primitive di mana otot masih menjadi prioritas dan jaminan kelangsungan hidup, mereka kalah. Â
Tatkala jaman berubah, di mana otot tak terlalu dominan lagi, kaum perempuan tetap kalah, karena perasaan dan hati mereka masih tetap kalah keras dibandingkan dengan kaum pria, akibatnya pada periode ini pun mereka kalah. Â
Manakala jaman berganti menjadi jaman "ekonomi", oleh sebab untuk mencapai tingkat ekonomi tertentu dibutuhkan fisik dan kekerasan hati, sebagian besar perempuan masih tetap kalah.Â
Akhirnya karena kekalahan demi kekalahan tersebut, oleh kaum pria yang tak tahu diuntung tersebut, kendatipun selama hayat masih dikandung badan kehidupannya tak akan sempurna tanpa dukungan perempuan, kaum wanita acapkali dijadikan kambing hitam atas segala kegagalan dan keterpurukan para pria. Â
Tak jarang dijadikan bantalan atas dosa yang diperbuat kaum pria. Â Segala perbuatan lancung yang dilakukan kaum pria, dianggap hasil atau akibat bujuk rayu dan tuntutan para wanita. Â Bahkan di Rusia, ada pepatah yang mengatakan, jika setan sudah tak berdaya, maka mereka mengutus perempuan.
Kini, di era kemajuan jaman, yang ditingkahi tingginya tingkat pendidikan, sudah banyak kaum wanita yang memiliki kemampuan jauh melebihi kaum pria. Â Baik dari segi fisik, perasaan maupun tingkat perekonomian. Â Ada banyak para wanita memiliki fisik yang cantik rupawan, dan memiliki posisi tawar yang tinggi. Â
Akibatnya jika sang suami macam-macam, depak saja dan silahkan menduda. Â Para wanita yang pintar lagi kaya, juga sudah tak terhitung, dan jika sang suami merasa minder, dengan berat hati terpaksa mengundurkan diri menjadi pendamping hidup. Â
Atau sebaliknya, jika sang wanita srikandi tersebut kurang berkenan akibat sang suami tak menjadi pahlawan lagi, maka gugatan cerai akan dilayangkan atau setidaknya disuruh kembali ke rumah orang tuanya. Â
Lumayan bikin malu hati sang pemilik anak, oleh sebab sang anak kebanggaan ditolak menantu wanita yang tatkala masih baru dikenal santun dan rupawan.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi, apakah karena kaum perempuan menyimpan dendam akibat tekanan pria sejak dulu kala? Â Jawabnya bukan, melainkan memang demikianlah insting umat manusia dalam kehidupan. Â
Siapapun orangnya, jika memiliki kekuasaan atau kekuatan akan cenderung memperlakukan kaum yang lebih lemah sekehendak hatinya. Â Kaum lelaki salah satunya. Â
Jika mereka sedang berada di puncak kejayaan, tidak sedikit pendamping hidupnya yang nota bene sudah mendukung kehidupannya dari tingkat terbawah hingga ke tangga kesuksesan disia-siakan. Â
Tak sedikit yang diceraikan tanpa alasan yang prinsip, tak sedikit yang diabaikan dan diduakan dengan istri kedua, ketiga atau selingkuhan. Â Bagi yang mampu bertahan, kadang demi anak-anak, kaum wanita ini rela hidup menderita kendatipun sang suami memiliki istri lebih dari satu. Â Tak sedikit juga yang memilih hidup sendiri, menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya.
Jadi sang pengacara di awal kisah di atas, selaku pria pemilik dua orang putri dewasa, kadang kala tersenyum-senyum seperti orang hilang ingatan, jika mendapati kasus atau cerita tentang wanita yang "mendepak" suaminya dengan alasan apapun, karena nyaris seumur hidupnya telah menyaksikan dan mendengar kaum wanita yang tersisihkan oleh perilaku "tengil" para kaum pria yang memiliki kuasa.
Akhir kata, dari golongan manapun kita, baik pria maupun wanita ataupun jenis kelamin di antara keduanya, baik-baik sajalah saat menjadi manusia. Â Manakala kita memiliki kekuasaan atau kekuatan, mohonlah petunjuk dan bimbingan, agar senantiasa menggunakan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki dengan penuh belas kasih. Â
Sebab, tatkala kita menindas orang lain, maka dapat dipastikan orang tersebut akan tersakiti, dan lebih celaka lagi, jika yang kita tindas tersebut kaum yang secara kodrati memang  lebih lemah dari kita.Â
Mungkin juga ada yang berpendapat, bahwa pria lebih kuat dari wanita, sehingga wajar-wajar saja jika wanita menindas pria, salah sendiri kenapa menjadi lelaki lemah. Â
Hal inilah salah satu alasan mengapa pengacara kita di atas tersenyum seperti orang kurang waras jika melihat pria tertindas, namun tetap saja hal tersebut salah. Â
Tunggu saja nanti, apakah sang pengacara masih bisa tersenyum, jika suatu hari karir sang istri makin meroket dan dirinya dipulangkan ke orang tuanya, sementara kedua orang tuanya sudah sejak lama berada di alam baka.
Tangerang, 26 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H