Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melanggar Etika, Siapa Takut?

3 Maret 2020   22:45 Diperbarui: 4 Maret 2020   08:09 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang anak kecil bertanya, "Apakah jika seseorang berbohong bisa dihukum?" Sang ayah tak tahu mesti menjawab apa, karena jika memperkenalkan kata-kata "dihukum" kepada anaknya yang masih terlalu kecil, khawatir sang anak akan trauma. Namun jika tidak memperkenalkan, risikonya si anak berpotensi menjadi penjahat di masa yang akan datang, dengan derajat kejahatan yang sulit diramalkan.   

Apalagi jika obyek yang dijadikan pertanyaan hanyalah sekedar kata "bohong", yang dalam kehidupan sehari-hari nyaris tak ada satupun individu yang mampu menghindar dari perbuatan tersebut.  

Coba saja ambil contoh, jika suatu hari seorang isteri memasak makanan yang kurang enak, apakah ada suami baik hati yang berani terang-terangan mengatakan rasa makanannya mengerikan jika sang isteri bertanya, oleh sebab secara tak sengaja melihat raut aneh wajah sang suami saat melakukan suapan pertama.

Banyak pendapat yang mengatakan, bahwa berbohong adalah sah-sah saja dilakukan jika kejujuran yang disampaikan mengakibatkan pihak lain tersakiti, atau dirugikan. Namun para filsuf yang menjunjung tinggi kebenaran, menepis semua pendapat tersebut dengan membuat pernyataan, "Sampaikanlah kebenaran, sepahit apapun itu.".  

Tak dijelaskan, apakah orang-orang tersebut masih akan menjunjung tinggi kejujuran, jika pada suatu hari ada seseorang datang ke rumahnya, membawa pedang terhunus dan dengan penuh amarah bertanya,  di mana gerangan isterinya berada.  Apakah sang filsuf masih akan jujur menjawab dengan tenang, "Tuh ada di dapur, sedang memasak makan malam.".

Kasus lain yang tak kalah peliknya adalah, dalam hal menjalankan kegiatan bisnis.  Dapat dipastikan tak ada pengusaha yang mampu berbisnis dengan jujur sejujur-jujurnya, dan untuk mengakomodasikan hal tersebut, dalam bisnis dikenal adanya istilah rahasia dagang dan rahasia perusahaan, di mana seseorang dibenarkan oleh hukum untuk merahasiakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam salah satu metode usahanya.  Tentunya sepanjang rahasia tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang. 

Kebohongan-kebohongan yang "dibenarkan"  lainnya, adalah kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah sepanjang menyangkut kepentingan negara, apalagi jika menyangkut hajat hidup orang banyak.  

Nyaris sama dengan rahasia dagang atau rahasia perusahaan, pemerintah dilindungi oleh hukum untuk mengesampingkan kejujuran dalam melindungi bangsa dan negaranya.  Dan jika ada seseorang atau sekelompok orang baik disengaja ataupun tidak melakukan pembocoran terhadap rahasia negara tersebut, maka akibatnya akan sangat mengkhawatirkan bagi sanak keluarga dan handai taulannya.

Seorang ayah, dan juga seorang ibu, adalah pembohong-pembohong sejati demi menyenangkan buah hatinya.  Betapa banyak orang tua yang mengatakan hidupnya baik-baik saja, tidak sengsara, senantiasa bahagia padahal apa yang dikatakannya bertolak belakang dengan kenyataan.  Namun mereka tak ingin anaknya ikut risau dengan penderitaan orang tuanya.  

Demikian juga sebaliknya, teramat banyak anak-anak yang berbakti memendam perasaan kecewa dan menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya, yang acapkali demi memuaskan ambisi orang tua yang kadang terlalu khawatir dengan masa depan anaknya.  

Contohnya, anak yang mengatakan hidupnya baik-baik saja, padahal ia harus kuliah sesuai dengan keinginan orang tuanya, sementara hatinya berkeinginan lain.  Namun anak yang berbakti tersebut, mengatakan tidak apa-apa, ia bahagia, sekaligus ia juga berbohong.

Beberapa jenis kebohongan yang dilakukan di atas pada dasarnya tidak melanggar hukum, tidak juga melanggar etika, namun tak bisa dihindari dari melanggar kebenaran.  Sementara untuk menjalani kehidupan di muka bumi, agar selamat dunia akhirat kita selalu diajarkan untuk menjunjung tinggi kebenaran.

Etika, Hukum dan Kebenaran

Etika adalah suatu norma yang berlaku di masyarakat tertentu, pada waktu tertentu.  Pelanggaran terhadap norma etika tidak mendapat sanski yang tegas, namun menerima sanksi sosial.  Aturan-aturan yang ada dalam etika juga tidak mengikat dan memaksa.  Sebaliknya, hukum merupakan norma yang berlaku di masyarakat tertentu dan pada waktu tertentu pula, namun bersifat mengikat dan memaksa.  

Pelanggaran terhadap norma hukum, berisiko mendapat sanksi tegas yang sudah jelas aturannya.  Tidak sekedar sanksi sosial.  Makanya orang lebih takut dengan norma hukum daripada norma etika, sebab orang paham semata, bahwa jika melanggar etika, belum tentu melanggar hukum, namun jika melanggar hukum sudah pasti melanggar etika.  Lagipula risiko melanggar hukum adalah masuk penjara, setidaknya harus mengganti kerugian jika perbuatannya merusak harta benda orang lain.

Pelanggaran-pelanggaran etika banyak dilakukan, terutama dalam dunia bisnis dan politik.  Mengambil keuntungan dengan prosentase berkali-kali lipat dalam suatu perdagangan adalah pelanggaran etika, namun bukan pelanggaran hukum sepanjang komoditas yang diperjual belikan tidak termasuk dalam golongan barang sembako, yang mempunyai harga eceran tertinggi.  

Perilaku koruptor yang tertangkap tangan, kemudian dengan tersenyum cerah melambai-lambaikan tangan kepada khalayak saat ditampilkan di layar kaca, bukanlah pelanggaran hukum, melainkan hanya melanggar etika.  Perilaku korupsinya baru melanggar hukum.  Betapa kasihan nasib rakyat di negeri tersebut, dipimpin oleh pejabat korup, yang tak segan melanggar hukum dan tak punya malu untuk melanggar etika. 

Lantas, apa yang dimaksud dengan kebenaran?  Adalah suatu dasar tentang sesuatu hal yang "seharusnya" dilakukan oleh masyarakat tertentu dan pada waktu tertentu pula.  Kebenaran merupakan dasar dari etika maupun hukum.  Etika dan hukum sejatinya adalah tentang upaya menegakkan kebenaran.  

Namun demikian, seberapa jauh ukuran kebenaran hingga hari ini masih menjadi perdebatan berkepanjangan.  Karena seperti halnya etika dan hukum, kebenaran juga bersifat relative karena menyangkut masyarakat tertentu, di tempat tertentu dan pada waktu tertentu.  

Bahkan ada anggapan bahwa kebenaran merupakan kesalahan yang diulang sebanyak delapan puluh dua ribu kali.  Jadi jika suatu kesalahan, dilakukan secara berjamaah dan diulang-ulang maka ia akan menjadi kebenaran.  

Di suatu negara antah berantah, pernah pada suatu masa perilaku korupsi dianggap suatu perbuatan yang lumrah.  Jadi andaikata, ada seorang pegawai negeri yang jujur, dan hanya bersedia hidup dengan gaji yang diperolehnya secara sah saja, maka oleh orang satu kampung termasuk oleh sanak kerabatnya, ia akan dianggap sebagai orang yang dungu tiada terperi.  

Bahkan pernah ada seorang anak sekolah yang memprotes kecurangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh guru dan para murid dalam suatu perhelatan Ujian Nasional,  berakhir dengan dibully oleh para orang tua murid dan terancam dikeluarkan dari sekolah.  Mungkin dianggap membocorkan rahasia sekolah.

Jadi kembali kepada pertanyaan anak kecil di awal cerita ini, bisakah suatu kebohongan dijatuhi hukuman?  Jawabnya sepanjang tidak ada pihak yang dirugikan dengan perbuatannya tersebut, kebohongan boleh-boleh saja melenggang bebas.  Namun jika kebohongan yang dilakukan sudah sedemikian massif dan mendarah daging, maka sudah saatnya hukum harus  diterapkan dan ditegakkan.  

Sebab bagaimanapun juga kebohongan harus dimusnahkan dari muka bumi, karena ia merupakan lawan dari kebenaran. Oleh karena itu janganlah pernah takut dan bosan melawan kebohongan demi menegakkan kebenaran, karena ada pepatah yang mengatakan, "Secepat apapun kebohongan berlari, suatu saat ia akan dikalahkan oleh kebenaran."

Hanya saja, mengenai kapan kebenaran akan mengalahkan kebohongan, hanya setan yang mampu menjawab, apalagi jika orang-orang di negeri tersebut sudah terbiasa mengabaikan etika dan hukum.

Tangerang, 03 Maret 2020   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun